Pages

Mencurigai Mitos di Mandar

Mencurigai Mitos di Mandar

Oleh: Dahri Dahlan, mahasiswa Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, lahir di Pambusuang


Di Mandar terdapat sebuah mitos tentang gempa bumi. Mitos ini (berusaha) menjawab sebuah pertanyaan yang terkesan sainstifik: kenapa terjadi gempa bumi? Maka manusia Mandar masa lampau, yang tentu saja belum mengenal logika sains, menjawab pertanyaan itu dengan sebuah penjelasan sebagai berikut.

(Konon) dunia ini dipikul oleh malaikat. Sejak saat dunia diciptakan sejak saat itu pula malaikat itu memikul bumi di atas pundaknya. Malaikat yang memikul bumi di pundaknya itu menunggangi seekor kerbau yang juga tidak kalah kuatnya, dan kerbau besar dan lagi kuat ini juga menunggangi seekor ikan di bawahnya. Di atas punggung ikan itu ditumbuhi batu yang sangat besar yang menjadi tumpuan kerbau untuk berdiri.

Demikianlah, jika ikan yang ditunggangi oleh kerbau besar dan kuat itu bergerak, maka kerbau itu juga akan ikut bergerak, dan jika kerbau itu bergerak, maka bergerak pula orang yang menunggang di atasnya, dan jika bergerak orang yang menunggang di atasnya, maka bergerak pula dunia yang dipikulnya, dan jika dunia ikut bergerak, maka orang menamakan gerakan itu sebagai gempa bumi yang dalam bahasa Mandar disebut linor.

Di samping itu, konon terdapat iblis yang suka menganggu dan menggoda malaikat itu, hingga kadang ia bergerak sehingga bumi yang dipikulnya pun bergerak dan mengakibatkan gempa bumi. Di samping itu juga dikisahkan bahwa sang kerbau juga melakukan gerakannya sendiri jika lalat atau serangga-serangga kecil suka hinggap di tubuhnya: dengan demikian, kerbau itu akan merasa terganggu dan melakukan gerakan-gerakan untuk menghalau serangga-serangga pengganggu itu.

Tradisi mempercayai mitos secara tekstual sudah berakhir seiring berkembangnya cara berpikir manusia yang berafiliasi dengan terciptanya ilmu pengetahuan untuk melihat dunia dan alam sekitar. Keberadaan mitos di masa lampau adalah sebuah “fosil” untuk melacak cara atau sistem berpikir manusia masa lampau dalam melihat dunia di sekitar mereka. Dan bukanlah sebuah tindakan yang keliru jika membaca mitos masa lampau dengan cara yang kontekstual. Selain daya tarik yang muncul untuk memaknai mitos dengan menghubbungkan sesuatu di luar dirinya, hal yang tidak kalah menariknya yaitu dengan mendekati dan menganalisis “tubuh” mitos itu sendiri. Terdapat dua fenomena menarik yang tampak bagi penulis dari tubuh mitos ini, dan berikut ini adalah pemaparannya.

Mitos, sama halnya dengan dongeng adalah hasil dari imajinasi manusia. Sebagaimana sifat dasar imajinasi, maka apa pun dimungkinkan terjadi didalamnya; timbullah cerita-cerita yang fantastik dan serba ajaib seperti yang tampak pada mitos di atas. Seperti yang dikatakan oleh Levi Strauss, seorang antropolog struktural asal Prancis, Di dalam mitoslah, manusia (pernah) mendapatkan tempat ekspresinya yang paling bebas.

Jika diperhatikan, dan dihubungkann dengan fakta empiris, tampaknya mitos ini masih memiliki rangkaian yang tidak terkatakan atau tertuliskan. Kita bisa saja mengasumsikan bahwa ikan besar tersebut terdapat (berenang?) di (permukaan) air. Asumsi ini didukung dengan pendapat Levi Strauss bahwa sifat dongeng atau mitos seperti sesuatu yang terpotong-potong dan mengacaukan prinsip kausalitas.

Hal tersebut bisa ditemui pada dongeng “Tomenjari Luyung” yang terdapat di Mandar,  tiba-tiba saja terdapat ‘ekor tikus’, tiba-tiba saja Si Ibu harus berubah menjadi ikan duyung, dan sebagainya. Jika hal ini kita kembalikan pada  mitos di atas, maka bisa diperoleh sebuah kenyataan: tiba-tiba saja susunan mahluk-mahluk ajaib tersebut harus berhenti pada ‘ikan’.

Penulis tertarik menegaskan asumsi tentang air ini lebih dalam. Bagaimana jika pada zaman dahulu, pada saat mitos ini mulai dokonstruksi, terdapat ‘air’ dalam susunan hal-hal yang ajaib itu? Bagaimana kalau dalam transmisi atau penyebaran mitos tersebut, disebabkan oleh beberapa hal hingga unsur air yang menjadi tempat bepijaknya ikan itu hilang? Hal ini bisa disebabkan oleh sifat tradisi lisan yang kondisi datanya selalu bisa berubah, sebab tidak pernah dituliskan. Karena tidak dituliskan, sehingga tidak ada data akurat yang bisa dirujuk.

Asumsi-asumsi ini membuat penulis berpikir tentang Thales (624-546 SM). Thales adalah seorang filsuf awal Yunani kuno yang membuat pernyataan bahwa “yang terpenting adalah air.” Menurut Aristoteles, Thales berpendapat bahwa air adalah substansi dasar yang membentuk segala hal dasar lainnya; ia mengatakan bahwa bumi terapung di atas air (Russel, 2002).

Asumsi Thales tersebut tampaknya lebih cenderung pada ranah sains daripada sekadar filsafat (lihat Russel, 2002). Fakta ini menunjukkan bahwa orang Mandar masa lampau juga menyibukkan diri mereka dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Untuk menelisik lebih dalam tentang bagaimana hingga mereka bisa berpikir seperti itu, tentu membutuhkan ruang yang lebih besar daripada sekadar menyinggungnya di sini.

Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang dahulu, seperti di Yunani dan Mandar memiliki kecenderungan untuk melihat dunia dengan cikal bakal imu pengetahuan seperti yang mereka konstruksi dalam akal budi mereka. Thales, di abad yang sedini itu, telah mampu berpikir tentang pentingnya air. Sepertinya tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tidak terdiri dari air, dan belakangan terbukti, kata Russel, bahwa segala sesuatu terbuat dari hidrogen dan dua per tiga hidrogen tediri dari air.

Melalui mitos yang menggambarkan fakta imajinatif bahwa di bawah bumi sesungguhnya terdapat malaikat, di bawah malaikat sesungguhnya terdapat kerbau, dan di bawah kerbau sesungguhnya terdapat ikan (dan ikan pastilah berada di air?) ini, orang Mandar zaman dahulu  sesungguhnya ingin mengatakan bahwa yang terpenting adalah air, seperti yang pernah dikatakan oleh Thales.

Secara tekstual ‘air’ tidak muncul dalam mitos tersebut sebagaimana telah kita lihat sebuah fakta ilmiah bahwa, mitos atau dongeng sifatnya terputus-putus. Thales lebih ekstrim perihal air ini, sebab ia tiba pada gagasan tersebut tanpa tedeng aling-aling. Terdapat semacam dogma yang harus diterima bahwa memang yang terpenting adalah air: tidak ada penjelasan lanjut tentang itu. Sedangkan orang Mandar butuh sebuah logika, sebuah logika mitis seperti yang digambarkan dalam mitos tersebut.

Peursen, seorang ahli filsafat dan kebudayaan asal Belanda mengatakan bahwa, fungsi pertama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Jika Thales sudah memulai berpikir secara ilmiah, meski argumennya (pada waktu itu) belum dikuatkan dengan fakta pendukung, maka di Mandar gagasan tentang air ini harus didukung dengan fakta-fakta mitis,  dan ‘ajaib’ adalah salah satu cirinya. Maka dipilihlah sosok malaikat, kerbau, dan ikan untuk saling memikul, dan tentu saja mahluk-mahluk ini sungguh ajaib. Patutlah kita menduga bahwa orang Mandar kuno juga memiliki tradisi berfilsafat yang cukup kuat meski hal-hal mitis masih bersemayam di kepala mereka. inilah yang membedakan orang Mandar kuno dengan orang Yunani kuno.

Pada awalnya penulis mempercayai mitos ini sebagai (bentuk) cara berpikir yang hanya dimiliki oleh orang Mandar yang diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol dan perlambangan. Penulis tidak pernah menemukan mitos serupa sebelum akhirnya membaca sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Anton Kurnia yang berjudul Aku, Kau, Bahamut (Insomnia, 2004). Pada catatan kaki untuk cerita pendek tersebut dituliskan; menurut hikayat tradisional bangsa Arab, kisah Bahamut diperikan seperti ini:

Tuhan menciptakan bumi, tapi bumi tak memiliki dasar, maka di bawah bumi diciptakan sosok malaikat. Tapi malaikat tak punya tempat berpijak, maka di bawah kakinya diciptakan gunung batu rubi. Tapi gunung batu rubi itu tak memiliki dasar, maka di bawahnya diciptakan seekor benteng raksasa, bernama Kujata dengan empat ribu mata, telinga, cuping, hidung, mulut, lidah, dan kaki. Tapi benteng itu tak memiliki tempat berpijak, maka di bawah benteng itu diciptakan seekor ikan raksasa bernama Bahamut dan di bawah ikan itu diletakkan air, di bawah air diciptakan kegelapan tanpa batas dan apa yang ada di balik kegelapan ini tak terjangkau lagi oleh pengetahuan manusia.

Yang menarik dari kedua mitos ini, mereka memiliki persamaan yang sangat menonjol. Dari persamaan ini kita bisa mengasumsikan bahwa mitos yang dipercaya oleh orang Mandar di atas sesungguhnya berasal dari Arab. Asumsi semacam ini harus didukung dengan berbagai macam argumen, yang tentu saja bisa sangat ilmiah. Pertama, jika fenomena semacam ini ditarik ke dalam ranah sastra (mitos adalah [karya] sastra yang tergolong dalam ragam ilmu folklore) modern, maka Kristeva, seorang ahli sastra dari Prancis mengatakan bahwa, “teks apa pun adalah penyerapan dan transformasi dari teks lain.”

Kedua, di sisi lain, Levi Strauss menjelaskan bahwa, persamaan-persamaan mitos yang tampak pada masyarakat yang satu  dan lainnya, semata-mata disebabkan karena setiap dongeng adalah produk imajinasi manusia, sedangkan imajinasi adalah produk nalar manusia. Maka kemiripan tersebut adalah hasil dari mekanisme yang dimiliki oleh manusia di dalam nalarnya. Tetapi penjelasan Levi Strauss ini hanya menjangkau persamaan-persamaan pola yang tersirat di dalam mitos, bukan persamaan seperti yang terlihat secara tekstual pada kedua mitos di atas.

Jika kita menganggap bahwa mitos ini “diimpor” dari Arab, dengan merujuk pada penjelasan Julia Kristeva tersebut, hampir bisa dipastikan mitos ini timbul dan dipercayai oleh orang Mandar sejak orang Arab datang pertamakali di Mandar. Naga-naganya, kita bisa menuduh bahwa mitos ini dibawa oleh penyebar agama Islam ke Mandar di sekitar tahun 1600-an. Hanya saja, mitos tersebut telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga tampak terjadi sedikit perbedaan.

Perihal gempa bumi tersebut hanyalah kreasi individual orang Mandar; teks tersebut dimodifikasi dari mitos serupa dari Arab. Selain itu, ‘malaikat’ yang terdapat di dalamnya turut mengukuhkan kecurigaan penulis bahwa mitos tentang gempa bumi di Mandar ini memang di impor oleh penyebar Islam dari Arab, sebab telah diketahui bahwa kepercayaan terhadap malaikat terdapat dalam rukun iman, yang kedua dalam ajaran Islam, dan dalam tradisi asli Mandar tidak ada kepercayaan tentang itu sebelum Islam masuk. Apa yang bisa ditarik dari temuan ini? Penulis menyerahkannya kepada para pembaca yang budiman. 
Sumber : http://radar-sulbar.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar