Nama lengkapnya, Abdul Muis Mandra. Beliau seorang budayawan dan sejarawan. Lahir 27 Agustus 1938 di Desa Ulidang, Kec. Sendana Kab. Majene. Menulis sejumlah buku tentang Sejarah dan Kebudayaan Mandar, artikel budaya, agama, pendidikan, dan ilmu pengetahuan sosial lainnya di surat-surat kabar, dan majalah edisi daerah Mandar, Makassar/Ujung Pandang, dan Jakarta.
Pernah menjadi wartawan. Mempunyai dua orang isteri dan lima belas orang anak. Pendidikan: Mengaji pondokan 1948-1954 di Ulidang, SR Somba, SGBN Majene, Pesantren Ashriah Majene (1954-1959), SGAN Majene, PGSLPN Ujung Pandang, Sarjana Muda Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang Jurusan Tafsir Quran-Hadist, dan Sarjana (S 1) Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang (1992).
Pekerjaannya, 1959 mulai menjadi Guru Sekolah Rakyat, Kepala Sekolah Rakyat di Pellattoang (1960-1965), Guru SMPN Somba (1965-1968), Kepala SMPN Tappalang, Kab. Mamuju (1968-1976), dan Penilik Kebudayaan Kec. Sendana Kab. Majene sampai pensiun (1976-1998). Masa sebelum dan sesudah pensiun tak ada beda, Muis Mandra tetap aktif dalam gerakan-gerakan kebudayaan dan pendidikan, suatu yang jarang dilakukan orang-orang (itulah kehebatan Muis Mandra).
Ada banyak karya tulisannya, sehingga kepadanya layak disematkan sebagai penulis paling produktif di tanah Mandar. Dari sekian puluh karya-karyanya, yang bisa dilacak antara lain: Pattuqduq dari Mandar (1975), Cerita Rakyat dari Mandar (1984) Inventarisasi Transkripsi Penerjemahan dan Penulisan Latar Belakang Naskah Kuno Lontar Mandar (1985), Buraq Sendana (1985) kumpulan puisinya berbahasa Mandar, Silsilah Pattola Adaq/Pattola Payung di Mandar (1985), Tomanurung di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam (1985), Transkripsi Terjemahan dan Analisis Tui-Tuing di Sendana (1985), Lontar Mandar (1986), Masuknya Agama Islam di Mandar (1987), Istilah Ata Mateqne dalam Lontar Gowa yang Dikaitkan Mandar (1987), Suku Mandar dalam Hubungan Kekerabatan (1987), Semangat Bahari di Mandar (1987), Lingkungan Hidup dalam Pandangan Pemerintahan Tradisional Mandar (1987), Siriq di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam (1987), Masalah Mahar di Mandar (1987), Beberapa Perjanjian dan Hukum Tradisi Mandar (1987), Pengaruh Kebudayaan Islam di Mandar (1988), Berbagai Kajian Masalah Budaya dan Agama di Mandar (1988), Sejarah Perjanjian Tamajarra dan Lahirnya PUS (1988), Balao anna Posa (Dongeng Anak-Anak, 1988), Hubungan Sejarah Mandar Lembah Kaili (1988), Sejarah Pertemuan Mandar Bone dan Kompeni di Ujung Pandang (1989), Rumah Tradisional Mandar (1989), Pembinaan Budaya Mandar (1989), Ditirakkaqna Alang (Sastra Tradisional Mandar) (1989), Peranan dan Pengaruh Timbal Balik Syariat Islam dan Budaya Mandar dalam Perkawinan Adat Mandar (1989), Permainan Rakyat Siseppaq di Kel. Totoli (1989), Kewarisan Harta Bersama Suami Isteri dalam Rumah Tangga (1989), Pembinaan Budaya Mandar dalam Rangka Peningkatan Budaya Nasional (1989), Budaya Messawe Totammaq di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam (1990), Perkawinan Tradisional Mandar (1990), Mottiana Mandar (1990), Adat Istiadat Sendana (1990), Saqadawang (1990), Lolitang Mandar (1990), Mandar dan Bone dalam Lontar Mandar (1990), Sendana Sejemput Tahu (1991), Budaya Berzanji di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam (1992), Lontar Mandar (1992), Adat Istiadat Sendana (1994), Caeyana Mandar (1994), Sistim Sapaan dalam Bahasa Mandar (1995), Suro Tannipasanna To Mamunyu (1996), Dongeng dari Mandar (1996), Pameo dari Sendana (1996), Tomatindo di Sappalatteq (1996), Lontar Tappalang (1997), Loa Mapia Jilid I, II, III, IV, V, VI (Buku Pelajaran Bahasa Mandar dari Kelas I s.d. VI SD; 1997), dan Kerajaan Sendana (2001).
Sebagai seorang budayawan besar Mandar, bila ada diskusi atau seminar tentang Mandar, tak sempurna bila tak menghadirkan Muis Mandra sebagai salah satu pembicara. Beliau adalah kamus berjalan tentang kebudayaan Mandar. Dalam kegiatan nasional pun beliau juga sering diundang, misalnya pertemuan masyarakat adat Nusantara, mewakili Mandar.
MM adalah pahlawan bangsa Mandar! Dengan penanya beliau menuliskan sejarah dan kebudayaan Mandar. Dengan lisannya, beliau melakukan dakwah dan melawan ketidakadilan. Beliau pemimpin (tanpa mahkota) yang diidealkan Mandar: tak nyenyak tidur memikirkan Mandar. Sampai sakitnya pun beliau terus menekuni aktivitasnya, dibantu anak-cucunya.
Sumber : http://ridwanmandar.com
Disebar luaskan : http://luyokita.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar