Pages

Si Rempe Api Ri Pongka - Asmat Riady Lamamllongeng

SI REMPE API RI PONGKA
Oleh ; Drs. Asmat Riady Lamallongeng
I - PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menggali nilai-nilai luhur masa lalu sebagai upaya menemukan kearifaan-kearifan lokal yang berorientasi pada kemanusiaan, adalah merupakan tuntutan bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai konsep kultural yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, nilai-nilai luhur berfungsi sebagai implementsi jatidiri yang bersifat pragmatis bagi komunitas pendukungnya. Oleh karena itu, menjadi salah satu kewajiban bagi generasi masa kini untuk mengaktualisasikan kembali dalam kehidupan kekinian dan keakanan sebagai nilai budaya yang tetap dijunjung tinggi dan terus terpelihara.
Setiap kelompok masyarakat (komunitas) memiliki konsep kultural tersendiri yang merupakan rangkaian pemikiran yang bersifat abstrak yang lahir dari warga terbanyak komunitas tersebut. Konsep kultural yang tampak lewat tingkah laku individual  yang berpola, terutama dalam sistem sosial atau tata cara pergaulan yang lebih tepat dikatakan adat kebiasaan. Disini akan nampak bagaimana warga masyarakat terbanyak komunitas tersebut membuat dan melakukan upacara-upacara dalam menyambut suatu peristiwa, seperti ; kematian, pernikahan, kelahiran, pesta panen, naik rumah baru dan sebagainya.
Dilihat dari sudut perspektif antropologi kebudayaan, pranata-pranata sosial dalam bentuk tradisi, upacara-upacara atau adat kebiasaaan, peranan dan fungsinya menjadi pedoman dalam setiap denyut nafas kehidupan manusia dalam menghadapi berbagai persoalannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh warga masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya dengan tradisi-tradisi lokal yang dimilikinya.
Tradisi atau adat kebiasaan yang tetap terpelihara dalam masyarakat, adalah bahagian dari kebudayaan dengan ciri-cirinya yang khas. Kekhasan itulah yang akan menjadi identitas sosial bagi masyarakat pendukungnya sekaligus menjadi gambaran kemajemukan bangsa Indonesia.
Dalam hubungan kekhasan ini, Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam kebudayaan itu sedikitnya terdapat tiga wujud, yaitu ; wujud ideal seperti adat dan tata kelakuan, wujud sosial yang timbul karena manusia beraktivitas sosial dan wujud konkret/fisik sebagai hasil karyanya berupa gedung dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1972). Dengan demikian untuk lebih mengenal suatu masyarakat dalam rangka upaya pelestarian nilai budayanya, tentu  dapat ditelusuri melalui tiga wujud sebagaimana digambarkan oleh Koentjaraningrat diatas.
Tentang hubungannya dengan adat kebiasaan yang telah menjadi pedoman dan mengatur tata kehidupan manusia dalam berbagai komunitas yang intinya terdapat pada masa lalu, tercermin pada nilai-nilai luhur yang tetap dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai luhur yang berlaku abadi seperti dalam pribahasa “tak lekan karena panas dan tak lapuk karena hujan”, ini berarti nilai-nilai kebudayaan tersebut akan tetap tumbuh subur di bumi tempatnya berakar.
Namun dalam perkembangannya, sejalan dengan sejarah kehidupan manusia yang memperlihatkan timbulnya kedinamisan sesuai dengan perkembangan cara berpikir yang semakin rasional, nilai-nilai luhur tersebut ikut terpengaruh.
Sutan  Takir  Alisyahbana  dalam bukunya ; “Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia”, mengatakan adat itu bukan saja lebih luas, tetapi teristimewa lebih dalam, segala yang kita namakan hukum sekarang termasuk didalamnya, malahan lebih daripada hukum ia mengatur keperluan dan perbuatan individu, maupun masyarakat. Seperti upacara pekawinan, lahir dan mati, waktu membuat rumah, bagaimana meminta hujan dan banyak lagi (Sutan Takdir Alisyahbana, 1988).
Kerangka konsep yang digunakan mengacu kepada tradisi atau adat istiadat berbagai kelompok masyarakat di Sulawesi Selatan, berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan keagamaan. Dijelaskan oleh M. Yamin Sani dalam bukunya ; “Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan di Sulawesi Selatan” menyebutkan sedikitnya ada empat kelakuan (mores) yang mengatur berbagai perilaku untuk mengejar nilai dalam masyarakat. Keempat tata kelakuan (mores) tersebut, adalah ; 1). kejujuran, 2). ketegasan, 3). kewajaran atau kepantasan, dan 4). kerja keras. Agar lebih efektif, selanjutnya perlu ditambahkan tata kelakuan lagi, yaiu ; 5). sirik, 6). keterbukaan dan 7). keikhlasan. Dengan demikian, seluruhnya ada tujuh tata kelakuan yang harus beroperasi mengatur berbagai perilaku dalam upaya mengejar nilai-nilai yang dianut, dipertahankan dan dikembangkan suatu masyarakat secara lokal maupun nasional. (M. Yamin Sani, 2005)
Pada hakekatnya tata kelakuan yang digambarkan oleh M. Yamin Sani diatas, adalah nilai-nilai luhur yang telah menjadi ciri khas dan jatidiri masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan dan juga masyarakat Mandar di Sulawesi Barat. Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat Sulawesi Selatan  dan   Sulawesi  Barat  senantiasa  mengedepankan prinsip-prinsip tersebut, bahkan masih tetap dijunjung tinggi dan tetap menjadi wujud-wujud kebudayaan dalam komunitas etnis yang mendiami jazirah selatan pulau Sulawesi tersebut.
Sejalan dengan perkembangan zaman, tentu saja nilai-nilai luhur tersebut memerlukan pemikiran, interpretasi dan reinterpretasi tentang sejauh mana relevansinya untuk menunjang konteks kehidupan masyarakat masa kini. Dalam kerangka itu, tugas yang dihadapi oleh generasi kini dan generasi mendatang adalah merevitalisasi secara substansial fungsi-fungsi konsep tradisional sedemikian rupa, sehingga tidak sampai bertentangan dengan adat kebiasaan yang telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat pendukungnya.
Kehidupan manusia selalu berinteraksi tidak saja terhadap dengan warga kelompoknya, tetapi juga terhadap warga kelompok lain dalam artian masyarakat yang lebih luas dan lebih kompleks. Sementara kemajuan dibidang informasi sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia yang pada gilirannya akan membuat tata kelakuannya berubah. Semua itu dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya pergeseran tatanan  yang berlaku dalam segenap aspek kehidupan masyarakat, termasuk tradisi dan adat kebiasaan yang telah berlangsung secara turun temurun.
Salah satu bentuk tradisi dan adat kebiasaan yang selalu dilakukan oleh warga masyarakat pendukungnya adalah “sire’mpek api” (saling melempar api) di Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Tradisi tersebut telah berlangsung bagi masyarakat Desa Pongka  secara  turun  temurun dan dilakukan satu kali dalam tiga tahun.
Menurut  keterangan Jannabe, S.Ag. Kepala Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge bahwa pada mulanya tradisi tersebut dilaksanakan setiap tahun, yaitu setiap selesai panen tahunan. Tetapi dengan pertimbangan masalah biaya dan faktor kesempatan, maka kesepakatan masyarakat hanya dilakukan satu kali dalam tiga tahun.
Bila ditelusuri lebih jauh, tradisi yang sakral tersebut bukan saja merupakan ajang permainan dengan maksud untuk mempertontonkan ketangkasan saling melempar api, atau menguji kekebalan tubuh dari jilatan api, akan tetapi dari sejarah awal dilakukannya tradisi yang penuh resiko luka bakar tersebut, ternyata memiliki latar belakang yang sangat prinsipil dan makna yang sangat dalam.
Latar belakang yang dimaksud adalah merupakan bentuk pemulihan harga diri yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah “sirik na pesse’”. Tradisi yang telah menjadi kebiasaan bagi warga masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone tersebut, pada awalnya merupakan ungkapan rasa syukur bagi serombongan pengungsi dari Baringeng Soppeng, atas keselamatannya sampai di tempat tersebut. Wilayah baru yang subur dan memberinya hasil panen yang berlimpah yang membuatnya dapat hidup lebih baik bersama sanak keluarga.
Ungkapan dari rasa syukur itulah yang kemudian diwujudkan dalam berbagai permainan rakyat, seperti ; masse’mpek (olahraga dengan tendangan kaki), mappe’re’k (berayun-ayun) dan yang menjadi intinya adalah sire’mpek api atau saling melempar api yang terbuat dari suluh daun kelapa yang kering.
Tradisi ini dilakukan oleh mereka dalam rangka memperingati suatu kejadian  yang pernah dialami  pengungsi   tersebut,  baik  sebelum   meninggalkan Baringeng yang sekarang berada dalam wilayah hukum Kecamatan Lili Rilau Kabupaten Soppeng, maupun dalam perjalanannya menuju ketempat yang diberinya nama Pongka, salah satu desa dalam wilayah hukum Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone.
Menurut kisahnya, adalah Petta Makkuli Lajengnge bersama dengan Petta Pabbaranie dan seorang saudara perempuannya yang bernama Puang Moncong, memimpin pengungsian tersebut sebagai wujud rasa ketidak senangan melihat tindakan sewenang-wenang Datu Baringeng yang tidak lagi mengenal adek “sipakatau – sipakalebbi”, sehingga rakyatnya hidup dalam kesengsaraan. Menurut berbagai sumber, antara Datu Baringeng dengan Petta Makkuli Lajengnge masih bersaudara kandung, yaitu Datu Baringeng merupakan adik dari Petta Makkuli Lajengnge. Cuma saja Petta Makkuli Lajengnge memiliki sifat “sipakatau – sipakalebbi” dan sangat menghargai yang namanya adek pangadereng.
Setelah berupaya melakukan berbagai pendekatan kekeluargaan dengan memberi peringatan kepada Datu Baringeng agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang yang membuat rakyat Baringeng menderita dan ternyata peringatan tersebut tidak ditanggapi, maka dipilihlah jalan lain yaitu “malle’kkek dapureng” (meninggalkan kampung halaman) bersama keluarga. Petta Makkuli Lajengnge bersama Petta Pabbaranie dan seluruh rakyat pengikutnya, memilih meninggalkan Baringeng Soppeng, menuju kearah timur yang tidak ditekahui wilayah mana tempat tujuannya.
Sebelum meninggalkan Baringeng, Petta Makkuli Lajengnge dan Petta Pabbaranie menggerakkan massa pengikutnya melempari istana Datu Baringeng dengan api yang terbuat dari suluh daun kelapa yang kering. Tindakan ini dilakukan agar Datu Baringeng menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak diterima baik oleh sebagian besar rakyatnya.
Suluh yang menyala dilemparkan oleh massa pengikut Petta Makkuli Lajengnge, dikembalikan pula oleh pengawal istana Datu Baringeng, sehingga terjadilah peristiwa sire’mpek api pada malam itu. Suatu pemandangan yang langka bagi rakyat Baringeng, sekaligus membuat perasaan tegang yang luar biasa.
 Konon dari peristiwa itulah sehingga para pengungsi yang telah menempati suatu wilayah yang kini bernama Pongka setiap selesai panen tahunan, memperingatinya dengan cara saling melempar api yang kemudian lebih populer dengan istilah “sire’mpek api”. Penduduk setempat menamakannya “sijukjuk sulo” (saling menyulut dengan suluh), yaitu alat penerang yang terbuat dari daun kelapa yang kering.

2. Identifikasi Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang diatas, maka penulisan buku “Menelusuri Sejarah Tradisi Sirempek Api di Pongka” berupaya untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang timbul, seperti berikut ini;
a.    Sejauh mana pengaruh nilai-nilai siri’ (harga diri) dan pesse’ (kepedihan) yang melekat pada diri orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan Mandar di Sulawesi Barat, sehingga dapat menjadi pemicu bagi pribadi atau kelompok masyarakat untuk melakukan pembelaan dan pertahanan dengan berbagai bentuk serta akibatnya ?
b.    Sejauh mana tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penguasa (Datu Baringeng)  Soppeng dimasa yang lampau, sehingga menimbulkan siri’ dan psse’ bagi sebahagian rakyatnya yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perlawanan dan pengungsian yang dipimpin oleh Petta Makkuli Lajenge dan Petta Pabbaranie yang tidak lain adalah saudara kandungnya sendiri ?
c.    Benarkan tradisi “Sirempek Api di Pongka” yang dilakukan satukali dalam tiga tahun di Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, pada awalnya  merupakan peringatan bagi pengungsi dari kerajaan Baringeng Soppeng bersama keluarganya sebagai bentuk protes dari tindakan kesewenang-wenangan oleh penguasa (Datu Baringeng) pada waktu itu yang cenderung meninggalkan adat “sipakatau dan sipakalebbi”?

3. Tujuan Penulisan
Penulisan buku “Menelusuri Sejarah Tradisi Sire’mpek Api ri Pongka” bertujuan ;
a.    Menggali, menyelamatkan dan memelihara unsur-unsur tradisi lokal sebagai unsur kebudayaan daerah yang merupakan upaya transformasi dari generasi ke generasi berikutnya dalam rangka melestarikan dan memperkaya kebudayaan nasional.
b.    Menginventarisasi dan mendokumentasikan tradisi “sire’mpek api” yang telah menjadi kebiasaan bagi penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone sebagai konsep kebudayaan daerah yang pada gilirannya dapat memperkaya kebudayaan nasional.
c.    Meransang dan membangkitkan minat generasi muda utamanya pelajar dan mahasiswa unuk lebih giat menggali nilai-nilai budaya lokal sebagai warisan leluhur yang bernilai tinggi.
d.    Mengangkat tradisi “sire’mpek api ri Pongka” yang selalu dilakukan oleh masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone sebagai sebuah permainan rakyat yang langka dan jarang ditemukan di daerah lain. Artinya tradisi tersebut dapat lebih dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
e.    Agar buku ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang tradisi lokal sebagai aset daerah dibidang kebudayaan dan kepariwisataan.

4. Kegunaan Penulisan
Tradisi   “sire’mpek api”   di Desa Pongka   yang telah berlangsung secara turun temurun sebagai warisan kebudayaan yang bernilai tinggi, diharapkan dapat menjadi perekat sosial ekonomi dan ekologis masyarakat secara mendasar.   Oleh   karena   itu,   buku   “Menelusuri  Sejarah Tradisi Sire’mpek Api ri Pongka” dapat memiliki kegunaan sebagai berikut;
a.    Menambah bahan bacaan tentang tradisi atau kebudayaan lokal yang dewasa ini terasa masih sangat kurang.
b.    Sebagai bahan dan sumber penelitian pada bidang-bidang lain, seperti ; sejarah, antropologi, soiologi, linguistik dan lain-lain.
c.    Sebagai bahan pembanding muatan lokal diberbagai lembaga pendidikan terutama dalam kaitannya dengan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat.

5. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan buku ini digunakan metode kualitatif yang bersifat eksploitasi diskriptif yang berusaha menggambarkan serta mengungkapkan sebuah realitas dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengingat sumber-sumber tertulis baik berupa lontarak maupun manuskrip lainnya tidak ditemukan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut ;
a.    Observasi, yaitu pengamatan langsung di lapangan agar dapat melihat bagaimana tradisi “sire’mpek api” itu dilakukan  oleh  penduduk  Desa  Pongka   Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, termasuk alat-alat yang menjadi pendukungnya.
b.    Wawancara/intervieu, yaitu untuk memperoleh data atau informasi sebagai pelengkap data yang diperoleh dari observasi.  Wawancara dilakukan secara  mendalam kepada sejumlah informan yang ditentukan keriterianya, seperti ; pemuka masyarakat, unsur pemerintah, pendidik (guru) dan tokoh agama.
c.    Data sekunder yang digunakan adalah gambaran umum atau selayang pandang Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, seperti ; asal muasal nama Pongka, letak geografis, penduduk, sosial ekonomi, keagamaan dan sebagainya.

II. DESA PONGKA SELAYANG PANDANG

1. Dari Kata “Pong Engka” (Permulaan Ada)
Asal muasal penamaan Pongka yang pada mulanya merupakan sebuah kampung menurut sejumlah informan, adalah dari kata “pong engka” artinya permulaan ada, yaitu permulaan adanya penghuni pada tempat tersebut. Kemudian kata “pong engka” mengalami evolusi kata sehingga pada akhirnya menjadi “pongka” seperti yang kita dikenal sekarang. Hal mana mengingatkan kita tentang asal muasal penamaan Sengkang ibu kota Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan yang menurut lontarak (catatan yang tertulis diatas daun lontar) bahwa nama Sengkang ibukota Kabupaten Wajo berasal dari kata “siengkang” artinya bersamaan datang di tempat itu.
Cerita lisan yang banyak dituturkan oleh penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, mengatakan bahwa asal usul penamaan “pong engka” yang kemudian berubah menjadi Pongka untuk tempat tersebut, bersamaan datangnya rombongan pengungsi dari Kerajaan Baringeng Soppeng yang meninggalkan kampung halamannya lantaran tidak puas dengan sistem pemerintahan  Datu Baringeng yang tidak lagi mengikuti apa yang disebut adat istiadat.
Hal tersebut oleh sejumlah informan diakui kalau tidak diketahui tahun kejadiaannya, termasuk nama datu (raja) yang memerintah di Kerajaan Baringeng saat itu. Cuma ada yang memperkirakan bahwa peristiwa pengungsian besar-besaran dari Kerajaan Baringeng Soppeng terjadi setelah berlangsungnya “Lamumpatue’ ri Timurung” yaitu perjanjian tiga kerajaan bertetangga (Bone, Wajo dan Soppeng) untuk saling mempersaudarakan kerajaannya dalam tahun 1582.
Dalam lontarak diketahui bahwa Lamumpatue’ ri Timurung yang juga dikenal dengan “mattellumpoccoe’” dilakukan oleh tiga kerajaan bertetangga Bone, Wajo dan Soppeng dalam rangka mengantisivasi serangan dari luar, antara lain Gowa dan Luwu. Setelah ketiga kerajaan tersebut mempersaudarakan diri, maka ketiganya berdiri sama tegak, Bone menjadi saudara tertua, Wajo anak tengah dan Soppeng sebagai anak bungsu.
Sebelum Lamumpatue’ ri Timurung, diketahui bahwa Baringeng berada dalam kekuasaan Wajo. Tetapi saat itu La Paleppe Patolae’ sebagai Datu Soppeng keberatan dan merasa tidak layak untuk mempersaudarakan kerajaannya karena wilayahnya kecil. Oleh karena itu, atas inisiatif Arung Matowa Wajo La  Mungkace To Uddamang memberinya tambahan wilayah yaitu Lompulle dan Baringeng. Begitu pula Arumpone (raja Bone) La Tenri Rawe Bongkange’  memberinya tambahan wilayah kepada Soppeng yaitu Gowagowa dan Citta.
Setelah kedua kerajaan tetangga Soppeng (Bone dan Wajo) memberinya tambahan wilayah, barulah perjanjian “mattellumpoccoe” dilangsungkan di Kampung Bunne dalam Wanuwa Timurung. Perjanjian tersebut merupakan terbentuknya  suatu  aliansi  tiga kerajaan untuk saling  bahu membahu dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk mengantisivasi ancaman musuh dari luar antara lain Gowa dan Luwu. Perjanjian yang ditandai dengan upacara menenggelamkan batu (mallamumpatu) dipimpin oleh cendekiawan Kerajaan Bone yang bernama Kajao Laliddong dipersaksikan kepada Dewata Seuwae’ (Tuhan Yang Maha Esa).
Menurut cerita lisan yang banyak diuturkan warga masyarakat di Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge’ Kabupaten Bone, rombongan pengungsi dari Baringeng memilih tempat tersebut sebagai pertahanan terakhir, lalu mereka membuat perkampungan, membuka tanah untuk persawahan dan perkebunan. Dengan demikian mereka dianggap sebagai penghuni awal dan dikatakan “pong engka” artinya permulaan adanya penduduk ditempat tersebut. Pengungsi dari Baringeng itulah yang memulai adanya penduduk dan sistem perkauman (anang) di tempat tersebut.
Masih menurut cerita lisan di Desa Pongka, sebelum kedatangan rombongan pengungsi dari Baringeng tempat itu masih merupakan sebuah wilayah yang berhutan lebat tanpa dihuni oleh siapa-siapa. Kecuali binatang liar seperti babi hutan, rusa, ayam hutan dan sebagainya. Hal mana  membuat tempat tersebut menjadi sangat angker dan menyeramkan. Tidak ada yang berani memasuki wilayah tersebut, kecuali dengan rombongan besar seperti pada saat diadakan perburuan babi hutan dan rusa. Itupun orang tidak berani tinggal berlama-lama dan mereka pada pulang sbelum matahari terbenam.

2. Beberapa Nama Tempat Terbentuk

Sejumlah informan penduduk Desa Pongka dan sekitarnya mengisahkan bahwa bukan hanya nama Pongka yang terbentuk dari peristiwa pengungsian dari Baringeng tersebut. Tetapi sejumlah tempat yang dilewati mereka, terbentuk namanya dan melekat sampai sekarang.
Konon nama tersebut terbentuk berdasarkan bunyi gendang ajaib yang selalu ditabuhnya sepanjang perjalanan mereka dari Baringeng. Mungkin berdasarkan keadaan cuaca sehingga bunyi gendangnya selalu berubah-ubah yang menjadi inspirasi bagi penduduk setempat dalam pemberian nama tempat itu.
Menurut informan penulis, ada beberapa tempat antara Baringeng yang sekarang telah menjadi sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Lili Rilau Kabupaten Soppeng dengan Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone yang berhubungan dengan peristiwa pengungsian tersebut. Tempat-tempat tersebut masih melekat sampai sekarang, ada yang berstatus sebagai dusun atau kampung dan ada pula yang berstatus sebagai sebuah desa.
Seperti diceritakan oleh warga Desa Pongka bahwa tempat yang pertama terbentuk dari peristiwa pengungsian dari Baringeng, adalah Leppangeng. Dalam bahasa Bugis “leppangeng” artinya persinggahan. Ketika rombongan pengungsi singgah sejenak disuatu tempat untuk melepas lelah dan juga untuk makan. Sejak itu melekatlah nama Leppangeng yang sekarang merupakan sebuah kampung dalam wilayah Kecamatan Dua Boccoe’ Kabupaten Bone.
Tempat berikutnya adalah Panynyilik yang sekarang merupakan sebuah  desa  yaitu  Desa  Panynyilik Kecamatan Dua Boccoe’ Kabupaten Bone. Dikisahkan oleh informan penulis bahwa ketika rombongan pengungsi dari Baringeng melewati tempat tersebut, penduduk setempat tidak ada yang berani keluar. Mereka hanya mengintip (Bugis ; manynyilik) dari balik jendela atau tempat yang tersembunyi dari pandangan rombongan tersebut.
Pada saat suruhan Datu Baringeng yang mengejar rombongan tersebut tiba ditempat itu dan menanyakan kepada penduduk tentang rombongan pengungsi, mereka hanya menjawab ; “Kami semua disini hanya mengintip (manynyilik) dari tempat tersembunyi”. Sejak itu, tempat tersebut dinamakan Kampung Panynyilik, kemudian pada saat pembentukan desa-desa di Sulawesi Selatan, Kampung Panynyilik berubah status menjadi sebuah desa yaitu Desa Panynyilik Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.
Kemudian rombongan pengungsi tersebut berjalan ke arah selatan dan tiba pada suatu tempat. Ditempat tersebut mereka singgah untuk beristirahat melepas lelah dan menghibur diri dengan menabuh gendang. Seperti halnya di kampung Panynyilik, penduduk setempat tidak berani untuk mendekat. tapi dari tempat persembunyiannya hanya mendengarkan bunyi gendang yang nyaring (Bugis ; macennok). Tidak lama kemudian suruhan Datu Baringeng tiba lagi ditempat tersebut dan menanyakan tentang rombongan pengungsi yang lewat. Penduduk setempat hanya menjawab dengan kalimat terbata-bata ; “Baru beberapa saat mereka meninggalkan tempat ini, kami semua hanya mendengarkan dari jauh bunyi gendangnya yang nyaring (macennok)”  Sejak itu, dinamakanlah termpat tersebut Kampung Lacennok yang sekarang  telah menjadi sebuah  dusun dalam wilayah Desa Mario Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.
Selanjutnya tempat yang disinggahi oleh rombongan pengungsi dari Baringeng adalah Mario. Menurut kisahnya ketika mereka tiba ditempat tersebut, baik pengungsi maupun penduduk setempat larut dalam suasana suka cita. Penduduk setempat mengelu-elukan dengan sambutan yang penuh kegembiraan (Bugis ; Mario). Maka sejak itu, tempat tersebut dinamakan Mario yang sekarang merupakan sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten Bone.
Dari tempat yang bernama Mario rombomgan tersebut melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Seperti biasa, setiap singgah disuatu tempat mereka selalu menabuh gendang yang dibawanya. Pada saat itu bunyi gendangnya kedengaran serak atau kurang nyaring yang dalam bahasa Bugis disebut “mapenre’ng”. Maka sejak itu, tempat yang sekarang berada antara Desa Mario dengan Desa Pongka dinamakan Kampung Lapenre’ng.
Akhirnya rombongan pengungsi dari Baringeng tiba pada suatu tempat yang sejuk dan nyaman, dipenuhi oleh tumbuhan yang rimbun. Tempat tersebut tanpak subur yang terdiri dari pembukitan, tanah datar serta dialiri oleh sebuah sungai. Merekapun sepakat untuk menjadikan tempat tersebut sebagai pertahanan terakhir apabila orang-orang suruhan Datu Baringeng menyusulnya.
Karena malam telah tiba, maka mereka membuat suluh dari daun kelapa yang kering sebagai alat penerang. Hal ini dilakukan untuk menjaga barang-barang bawaannya, termasuk ternak-ternaknya seperti kerbau, kuda, kambing dan ayam.
Ternyata setelah beberapa saat beristirahat ditempat itu, orang-orang Datu Baringeng betul-betul datang menyusul mereka. Perangpun tidak terhindarkan, masing-masing menyerang dengan penuh keberanian. Kedua belah pihak melemparkan api yang terbuat dari suluh daun kelapa kering, sehingga terjadilah semacam perang api pada malam itu.
Tetapi karena orang-orang Datu Baringeng kewalahan menerima gempuran api dari rombongan pengungsi dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge’ bersama Petta Pabbaranie’, akhirnya mereka kembali ke Baringeng dengan tangan hampa.
Konon dari sinilah awalnya sehingga warga masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone melakukan tradisi sire’mpek api (saling melempar api) yang pada mulanya diadakan setiap tahun, kemudian berubah menjadi satu kali dalam tiga tahun.
 Tradisi yang termasuk langka dan menegangkan tersebut dilakukan dalam rangka memperingati suatu peristiwa yang pernah dialami oleh leluhur mereka. Tradisi yang sampai sekarang tetap dipertahankan oleh penduduk setempat, merupakan bukti kekayaan budaya yang bernilai tinggi, sekaligus merupakan kebanggan orang Bugis.

3. Letak Geografis dan Penduduk
Desa Pongka adalah salah satu dari 15 desa dan dua kelurahan dalam wilayah Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Ulo sejak tahun 1992, Desa Pongka memiliki tiga buah dusun, yaitu ; Dusun Ajangkalung, Dusun Alaugalung dan Dusun Tengngatengnga. 
Desa Pongka terletak  pada ujung  sebelah  barat daya Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone dengan batas-batas sebagai berikut ;
-    Sebelah utara ; Desa Mario Kecamatan Dua Boccoe
-    Sebelah timur ; Desa Ulo Kecamatan Tellu Siattinge,
-    Sebelah selatan ; Desa Palongki Kecamatan Tellu Siattinge
-    Sebelah barat ; Desa Paramaju dan Desa Wellulang Kecamatan Amali.
Keadaan alamnya terdiri dari tanah bergelombang dengan bukit-bukit kecil yang tingginya bervariasi. Dengan demikian Desa Pongka merupakan wilayah yang cocok untuk persawahan dan perkbunan.
Jenis tanaman jangka pendek yang menjadi andalan bagi penduduknya adalah ; padi, jagung, kedelai, kapas dan jenis palawija lainnya. Sedangkan untuk tanaman jangka panjang adalah ; kelapa, coklat, sukun dan mangga dalam jumlah kecil. Kesemua jenis tanaman tersebut merupakan hasil pertanin yang membuat penduduknya hidup sejahtra.
Menurut sejumlah penduduk Desa Pongka, ketika pasaran tembakau masih baik, wilayah ini pernah menjadi penghasil tembakau terbesar di kabupaten Bone. Tetapi karena pasaran tembakau kini lesu, sehingga penduduk lebih banyak beralih kejenis tanaman lain seperti coklat, kapas, jagung dan lain-lain.
Brdasarkan data statistik tahun 2008, jumlah penduduk Desa Pongka adalah 1.619 jiwa, yang terdiri dari 770 lki-laki dan 849 perempuan. Penduduk Desa Pongka 90 % hidup sebagai petani, 7 % pedagang, dan 3 % sebagai pegawai dan sector jasa lainnya. Dari 5.00 Km2 luas wilayah Desa Pongka, terdapat 50 % merupakan lahan perkebunan, 40 % persawahan. Selebihnya adalah hutan termauk hutan produktif yang juga berfungsi sebagai penahan debit air tanah yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam pemanfaatannya.

4. Sarana dan Prasarana

Sarana transportasi yang menghubungkan Desa Pongka dengan Tokaseng ibukota Kecamatan Tellu Siattinge dengan jarak 16 Km. boleh dikata sudah cukup memadai. Dari Tokaseng melalui Desa Lanca, Desa Lappae hingga Dusun Mattirowalie Desa Ulo dengan status jalan kabupaten sepanjang 11 Km. telah beraspal, membuat kendaraan roda dua dan roda empat berjalan lancar. Hanya saja dari Dusun Mattirowalie Desa Ulo belok kearah barat sampai Desa Pongka denan status jalan desa sepanjang 5 Km. masih bergelombang karena baru tahap pengerasan. Dua buah jembatan semi permanen dibangun dengan swadaya murni masyarakat Desa Pongka dengan masyarakat Desa Ulo, merupakan faktor utama bagi kelancaran sarana transportasi menuju ke Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge’ Kabupaten Bone.
Sedangkan untuk sarana transportasi yang dapat menghubungkan kota Watampone ibukota Kabupaten Bone, disamping melewati Tokaseng juga dapat melewati Taccipi ibukota Kecamatan Ulaweng dari arah selatan. Jarak Desa Pongka dengan Watampone lewat Taccipi yakni 39 Km., sedangkan lewat Tokaseng 36 Km. dengan kecepatan kendaraan sedang (60 Km. /jam) dengan waktu sekitar setengah jam.
Untuk sektor pendidikan, termasuk  keagamaan Desa Pongka memiliki 2 buah Sekolah Dasar (SD), 1 buah Madrasah Ibtidaiyah (MI). Di Desa Pongka telah ada sekolah lanjutan sederajat SMP yaitu Madrasah Tsanawiyah (M.Ts.) dibawah naungan Yayasan As’adiyah Sengkang. Sedangkan sekolah lanjutan sederajat SMA yaitu Madrasah Aliyah (MA) yang berada dibawah naungan Yayasan Nurul Akbar. Dengan demikian anak-anak yang tamat SMP/M.Ts. tidak perlu lagi melanjutkan pendidikannya ke daerah lain, misalnya ke Tokaseng atau ke Taccipi ibukota Kecamatan Ulaweng.
Tentang sarana peribadatan, Desa Pongka memiliki satu buah masjid dan dua buah mushollah. Mengingat penduduk Desa Pongka yang terdiri dari 100% beragama Islam, maka sarana peribadatan lainnya seperti gereja tidak ditemukan di desa ini.
Menurut H. Muh. Nawir seorang pensiunan Kepala SD di Desa Pongka, masyarakat Desa Pongka adalah masyarakat yang taat dalam melaksanakan ibadah. Hal ini disebabkan tersedianya sarana peribadatan yang cukup memadai, ditambah lagi sarana pendidikan bagi anak-anak lebih dominan pendidikan keagamaan. Selain itu, penduduk Desa Pongka telah banyak pula yang menunaikan ibadah haji di Mekah. Ini semua merupakan indikasi makmurnya kehidupan masyarakat Desa Pongka kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone.
Untuk sarana perekonomian rakyat, Desa Pongka belum memiliki pasar rakyat. Oleh karena itu, penduduk Desa Pongka memasarkan hasil-hasil pertaniannya ke Pasar Mattirowalie Desa Ulo, Pasar Lakukang di Kecamatan Amali, Pasar Taccipi di Kecamatan Ulaweng, Pasar Tajong dan Pasar Tokaseng di Kec. Tellu Siattinge.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa penduduk Desa Pongka memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Ditunjang dengan sarana transportasi yang cukup memadai, membuat penduduk Desa Pongka dapat memasarkan hasil-hasil pertaniannya yang melimpah itu dengan mudah. Dengan hasil pertanian berupa coklat, padi dan jagung, membuat sebahagian besar penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone hidup sejahtera. Banyak diantaranya yang telah berhasil membuka usaha di kota-kota seperti Ujung Pandang dan Watampone.

III. TRADISI DENGAN SEMANGAT INTERNAL

1. Legitimasi yang Kuat dari Masyarakat
Tradisi yang diartikan sebagai adat istiadat, upacara-upacara sakral, sistem kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan dalam komunitas masyarakat tertentu, merupakan unsur budaya yang bepola dan memiliki nilai yang tinggi. Dalam pengertian yang universal, unsur budaya tersebut memiliki prinsip-prinsip yang mengikat dalam makna yang esensial bagi suatu kelompok masyarakat pendukungnya, dalam upaya mengimplementasikan kebenaran dari individu-individu yang berakar pada realitas.
Sebagai konsep kebudayaan, tradisi dalam bentuk upacara-upacara yang disakralkan, akan mendominasi keseimbangan eksistensi secara personal maupun secara kelompok masyarakat yag lebih besar untuk menjaga kesinambungan kekerabatan. Dalam hubungan  ini  menurut  Colletta (1987) bahwa pranata lokal menjadi media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung dengan sukses, paling tidak ada tiga alasan ; 1) menjadi sasaran pembangunan, 2) unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan bentuk komunikasi paling berharga bagi penduduk lokal, 3) unsur-unsur budaya memiliki aneka ragam fungsi dalam menata dan mengembangkan kehidupan masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan yang sangat pesat dibidang teknologi dan informasi, memang muncul nada-nada miring yang menganggap bahwa unsur-unsur budaya yang bersifat mitis dan statis yang masih tetap didukung oleh sebahagian kelompok masyarakat termasuk pranata-pranata sosial, tidak lagi relevan dengan tuntutan kehidupan kekinian dan keakanan masyarakat kita. Anggapan seperti ini jelas akan menggiring masyarakat tradisional kepada kerangka berpikir yang cenderung realistis, individualistis dan materialis. Pada gilirannya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sebagai akar kearifan-kearifan lokal yang bernilai tinggi, semakin tergusur ke posisi yang semakin terpinggirkan dan kelam.
Sesungguhnya pranata budaya dalam bentuk tradisi lokal bukanlah sesuatu yang bersifat statis, melainkan sangat dinamis dan tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Tradisi lokal tersebut merupakan mobolisasi semangat manusia secara internal dan mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat pendukungnya sebagai suatu bentuk pertahanan dan eksistensi jatidiri dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya.
Anhar Gonggong seorang sejarahwan terkemuka memberi  makna  tentang  kandungan  nilai-nilai tradisi bagi masyarakat Bugis – Makassar sebagai “sumangek ininnawa” yang dapat diartikan sebagai dorongan batin yang dapat diyakini kebenarannya. Menurut Anhar Gonggong sumangek ininnawa tanpaknya merupakan “dua daya” yang menjadi kekuatan utama manusia untuk memanusiakan dirinya dan juga sekalugus merupakan “dua pengikat” utnuk mempertahankan hidup bersama orang Bugis (baca; Sulawesi Selatan) sekaum, baik yang menetap di dalam negeri kelahirannya maupun yang hidup di negeri rantauannya. Kedua hal itu “sumangek ininnawa” yang dilapisi “sirik” dan “pesse” telah menjadi kekuatan secara individual maupun bersama (Anhar Gonggong, 2003).
Dalam upacara tradisional secara terpadu terkandung dua wujud, wujud sosial dan wujud konkret (material) suatu kebudayaan. Keterpaduan tersebut dapat dilihat dari tampilan simbol-simbol yang sarat dengan makna kultural, sekaligus makna moral yang dapat memberi rangsangan (sugesti) sumangek ininnawa baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain untuk selalu berada pada jalur yang sakral. Bila ada pelanggaran, resikonya adalah sanksi berupa bencana atau hal-hal lain yang merugikan baik pribadi maupun masyarakat yang lebih besar.
Sistem upacara tradisonal selalu menampilkan berbagai simbol berupa ; 1. materi (benda), 2. ungkapan (bahasa) baik berbentuk lisan maupun berbentuk isyarat atau gerakan. Dr. H. Ajiep Padindang, SE, MM dalam bukunya “Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan” mengatakan bahwa ; Pada suatu sisi simbol merupakan cara mengungkapkan sesuatu yang sulit dinyatakan secara langsung. Namun dilain sisi simbol dapat pula menunjukkan suatu obyek, kejadian maupun sifat yang perupakan formulasi nyata dari pengalaman-pengalaman yang tetap dalam bentuk yang dapat ditangkap. Dengan demikian simbol mempunyai makna kultural atau sesuatu yang mengandung unsur-unsur atau pola-pola budaya. (Ajiep Padindang, 2001). Menurut Ajiep, sebuah tradisi yang dilakukan dalam benuk upacara yang ditandai dengan berbagai ritual, senantiasa didominasi oleh simbol-simbol yang sarat berbagai makna.
Tradisi “sire’mpek api” (saling melempar api) di Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone yang dilakukan satu kali dalam tiga tahun, adalah sebuah warisan kebudayaan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang khas.
Jannabe, S.Ag. Kepala Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone mengatakan bahwa dalam pelaksanaan tradisi sire’mpek api, dirinya selaku pemerintah hanya berfungsi sebagai penasehat dan pelindung yang bertanggungjawab tentang ketertiban dan keamanan saja. Segala sesuatu yang berhubungan dengan permainan rakyat, ditangani oleh suatu panitia yang pembentukannya berdasarkan dengan sistem pemilihan yang demokratis. Menurut Jannabe, S.Ag, dalam pelaksanaan tradisi ini belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perkelahian dan bentuk kekacauan lainnya.
Walaupun tradisi sire’mpek api (sijukjuk sulo) kelihatannya sangat rentang dengan resiko, seperti luka bakar bagi pelakunya, namun hal tersebut belum pernah terjadi, seperti yang dituturkan oleh sejumlah penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kab. Bone.

2. Bunyi Gendang Ajaib Sebagai Peringatan

Menurut berbagai sumber, bentuk permainan rakyat tersebut telah berlangsung secara turun temurun dan tetap dipertahankan sebagai sebuah tradisi yang mengandung nilai-nilai kultural yang sakral. Penduduk Desa Pongka yang pada umumnya adalah masyarakat petani meyakini bahwa apabila tradisi “sire’mpek api” itu tidak dilakukan atau terlambat dilakukan, maka akan ada bencana yang menimpa masyarakat berupa ; gagalnya panen tahunan, datangnya wabah penyakit, musibah kebakaran dan bencana lainnya.
Dengan demikian, tradisi sire’mpek api telah merupakan penjelmaan semangat internal (individu) yang mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat luas.  Oleh karena itu, apabila waktunya telah tiba, maka warga masyarakat sendiri yang mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara yang sakral tersebut. Mulai dari penyediaan bahan-bahan yang diperlukan seperti ; pembuatan suluh dari daun kelapa yang kering, penyediaan hewan-hewan ternak seperti ayam, kambing, kuda dan sejenisnya. Termasuk padi yang terikat (Bugis ; ase’ mabbesse’), jagung, ubikayu, dan lain-lain hasil bumi untuk diarak keliling kampung pada saat akan dimulainya acara tradisi sire’mpek api.
Menurut keyakinan sebahagian besar warga masyarakat Desa Pongka, apabila tradisi sire’mpek api (ada juga yang mengatakan sijukjuk sulo) tidak diadakan atau terlambat diadakan, akan mendatangkan bencana besar bagi penduduk. Bencana yang dimaksud menurut pengalaman yang lalu, adalah kekeringan atau musim kemarau yang panjang, sehingga panen tahunan gagal yang juga sangat rentang terjadinya kebakaran. Disamping itu, biasa juga terjadi mewabahnya penyakit (Bugis ; saik) baik terhadap hewan maupun terhadap manusia.
Tanda-tanda yang masih dipercayai oleh penduduk tentang waktu pelaksanaan acara tradisi tersebut telah tiba, adalah bunyi gendang ajaib sebagai suatu peringatan. Bunyi gendang ajaib yang biasanya terdengar pada malam hari dengan tempat yang berpindah-pindah.
Sebahagian besar penduduk Desa Pongka mengaku pernah mendengar bunyi gendang ajaib bukan hanya dimalam hari tetapi juga pada siang hari. Bunyi gendang ajaib itu terdengar di berbagai tempat secara misterius, karena tempatnya sangat sulit sekali ditemukan. Misalnya, sering didengarkan di sebelah barat, tetapi setelah dikunjungi, berubah tempat disebelah timur atau arah lain. Sebenarnya agak sulit untuk dipercaya, namun itulah pengakuan dari sebahagian besar penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone.
Oleh tokoh-tokoh masyarakat Desa Pongka dikatakan bahwa apabila telah ada penduduk yang mendengarkan bunyi gendang ajaib tersebut, maka warga masyarakat lainnya telah bersiap-siap untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya yang ditetapkan oleh panitia yang dibentuk berdasarkan pemilihan secara demokratis.
Masih menurut tokoh masyarakat Desa Pongka, orang-orang yang ditempatkan dalam kepanitiaan adalah tokoh-tokoh masyarakat baik dari kalangan tokoh pendidik, tokoh agama, termasuk sanro wanuwa (dukun kampung). Dengan demikian, tugas-tugas yang dibebankan kepadanya terlaksana dengan baik dan berjalan sesuai dengan ketentuan adat istiadat di desa ini. Panitia yang telah dibenuk berdasarkan musyawarah dan mufakat tersebut masing-masing bekerja sesuai bidangnya, sehingga pelaksanaan acara tradisi “sirempe’ api” berjalan dengan lancer dan tertib.
3. Tontonan Mengasyikkan dan Menegangkan
Pada umumnya informan di Desa Pongka dan Desa Ulo Kecamatan Tellu Siattinge menuturkan bahwa pada mulanya upacara sire’mpek api dilakukan setiap tahun, yaitu setiap selesai panen padi. Tetapi melihat perkembangan yang semakin diminati oleh bukan saja warga masyarakat Desa Pongka dan Desa Ulo, maka dilakukan satu kali dalam tiga tahun. Pertimbangannya adalah masalah pendanaan dan efesiensi waktu.
Tentang hubungannya dengan bunyi gendang ajaib tadi, menurut sumber memang pada awalnya terdengar setiap tahun, yaitu setiap orang selesasai panen padi. Tetapi setelah diantisipasi dengan ritual-ritual dari sanro wanuwa (dukun kampung), maka bunyi gendang ajaib tersebut ikut pula berubah yang hanya terdengar setiap tiga tahun setelah waktunya sudah akan dimulai.
H. Muh. Nawir sorang pensiunan kepala SD di Desa Pongka mengatakan, bahwa sejarah awal dari tradisi sire’pek api itu hanya dilakukan oleh rombongan pengungsi dari Baringeng setiap selesai panen padi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan tanaman padi mereka, sekaligus memperingati suatu peristiwa yang dialaminya tentang pengungsiannya dari Baringeng.
Masih menurut H. Muh. Nawir, setelah beberapa tahun bediam ditempat itu, hasil pertanian mereka baik sawah maupun kebun berlimpah, ternak-ternaknyapun berkembang biak. Mereka sudah merasakan suatu kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Sistem kekerabatan dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge’ bersama Petta Pabbaranie’ terbentuk dalam pola kekeluargaan yang harmonis. Oleh karena itu, ketika selesai musim panen tahunan (pattaungeng), mereka sepakat untuk memperingati sejarah perjalanan mereka yang berliku-liku dan penuh suka duka, sampai akhirnya terdampat ditempat yang subur dan sejuk, aman dan damai yang sekarang telah bernama Pongka.
Dilakukanlah berbagai aktraksi seperti ; mappe’re’ (berayun), masse’mpek (olahraga tendangan kaki), termasuk sire’mpek api sebagai intinya. Hal itu dilakukan oleh mereka sebagai wujud dari rasa syukur atas keselamatan dan keberhasilan yang diraihnya bersama segenap sanak keluarganya di tempat yang baru tersebut.
Demikianlah sekelumit sejarah tradisi sire’mpek api di Pongka yang pada awalnya hanya dilakukan oleh rombongan pengungsi dan keluarganya dari Baringeng Soppeng, setiap selesai panen tahunan. Tetapi karena tradisi ini merupakan pertunjukan yang menarik bagi orang-orang luar, maka akhirnya menjadi suatu yang menarik untuk dilakukan oleh penduduk setempat setiap waktunya.
Bahkan beberapa tahun terakhir ini, tamu-tamu yang datang bukan hanya dari desa-desa tetangga Desa Pongka, tetapi juga dari beberapa kecamatan dalam Kabupaten Bone, termasuk dari Soppeng, Wajo dan lain-lain. Orang-orang Pongka yang berada diperantauan, banyak yang kembali untuk menyaksikan permainan rakyat yang mengasyikkan dan sekalus menegangkan tersebut. Disamping itu, mereka juga menggunakan kesempatan untuk bersilatur rahmi dengan keluarga yang sudah lama ditinggalkannya.
Oleh karena tradisi sire’mpek api nanpaknya semakin diminati bukan saja warga masyarakat Desa Pongka, tetapi juga masyarakat dari luar, maka dalam pelaksanaannya dibentuk suatu panitia yang dipilih oleh warga masyarakat sendiri. Peranan Sanro Wanuwa hanyalah menyangkut upacara-upacara ritual sebagai doa keselamatan bagi pelaku dan penontonnya.
Karena atraksi ini kelihatannya berbahaya baik bagi pelaku maupun bagi penonton, maka Sanro Wanuwa membuat ramuan berupa minyak kelapa yang telah diberi mantera-mantera tertentu. Ramuan tersebut disapukan kepada para pelaku termasuk para penonton yang akan menyaksikan permainan tersebut dari jarak dekat.
Mlihat bentuk pertunjukannya, maka tradisi sire’mpek api yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge’ Kabupaten Bone sekali dalam tiga tahun, dapat digolongkan sebagai permainan rakyat yang penuh dengan resiko. Betapa tidak, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya saling melempar api yang menyala yang terbuat dari daun kelapa kering dengan jarak 10 meter.
Dari pengamatan penulis setelah beberapa kali menyaksikan langsung dari lokasi permainan, para pemain seperti tidak merasakan panasnya api yang mengenai tubuhnya yang rata-rata tidak memakai baju. Mereka membiarkan api yang menjilat tubuhnya sampai padam sendiri. Menurut informan penulis, mereka yang bukan turunan orang Pongka dilarang untuk ikut bermain, karena bisa mengalami resiko terbakar, cidera dan sebagainya.
Setelah tiba waku yang ditetapkan oleh panitia dengan persetujuan Sanro Wanuwa dan tokoh-tokoh masyarakat, maka bahan-bahan yang merupakan kebutuhan acara tersebut dikumpul pada suatu tempat yaitu di depan rumah Ketua Panitia atau rumah Sanro Wanuwa. Pada pukul 19.30 (selesai shalat Isya) warga masyarakat baik anak-anak maupun orang tua berarak keliling kampung dengan membawa bahan-bahan tersebut berupa hasil-hasil pertanian, ternak-ternak seperti ayam, itik, kambing, bahkan ada juga yang membawa kerbau dan kuda. Arak-arakan yang pesertanya terdiri dari laki-laki dan perempuan mengelilingi kampung-kampung dalam Desa Pongka diikuti oleh tabuhan gendang. Penabuh gendang yang terdiri dari tiga orang yang memang sudah terlatih sebagai penabuh gendang untuk acara tradisi sire’mep api tersebut.
Informan penulis di Desa Pongka menuturkan bahwa pada masa lampau gendang yang ditabuh dalam arak-arakan tersebut adalah gendang yang dibawah oleh rombongan pengungsi dari Baringeng. Tetapi gendang yng dianggap ajaib tersebut, sekarang tidak lagi diketahui keberadaannya. Hanya saja menurut sejumlah penduduk Desa Pongka, bunyi gendang ajaib tersebut masih sering terdengar terutama pada saat menjelang pelaksanaan tradisi sire’mpek api. Secara logika memang sulit untuk dipercaya, tetapi hal tersebut adalah suatu kenyataan yang selalu dialami oleh penduduk setempat. Pada umumnya penduduk Desa Pongka mengakui kalau bunyi gendang ajaib tersebut pernah mereka dengar. Anehnya, tempat asal bunyi gendang tersebut dikunjungi, tidak seorangpun yang mampu menemukannya.
Pertama arak-arakan berjalan menuju ke Dusun Ajangkalung sebuah dusun yang terletak pada bagian bara Desa Pongka. Di Dusun Ajangkalung mereka melakukan atraksi sire’mpek api beberapa saat, sebagai awal dari pada permainan rakyat yang menegangkan itu. Selanjutnya arak-arakan menuju ke Dusun Alauggalung sebuah dusun yang berada di bagian timur Desa Pongka. Seperti halnya di Dusun Ajangkalung, disinipun mereka melakukan atraksi sire’mpek api beberapa saat. Akhirnya arak-arakan berjalan menuju ke Dusun Tengngatengnga sebuah dusun yang terletak ditengah-tengah Desa Pongka yang juga merupakan pusat dari pemerintahan desa tersebut.
Di Dusun Tengngatengnga itulah yang merupakan acara puncak tradisi sire’mpek api. Di tempat itu telah menunggu ribuan penonton termasuk undangan-undangan penting untuk menyaksikan jalannya permainan rakyat yang mengasyikkan sekaligus menegangkan itu.
Ditengah lapangan, panitia membuat garis pembatas antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain yang akan melakukan permainan lengkap dengan suluh daun kelapa kering yang menyala. Disamping itu, dibuat pula garis pembatas bagi penonton yang memenuhi lapangan untuk menyaksikan permainan sire’mpek api. Menurut aturan yang diteapkan oleh panitia, tidak ada yang bisa melewati pembatas tersebut. Begitu pula penonton tidak dibenarkan untuk mengambil tempat yang terlalu dekat, karena dikhawatirkan terkena api.
Pertunjukan sire’mpek api dilaksanakan selama tiga malam berturut-turut yang dimulai pukul 19.30 sampai pukul 11.00 termasuk prosesi arak-arakan mengelilingi dusun-dusun dalam wilayah Desa Pongka. Informan penulis mengatakan, dimasa lampau acara sire’mpek api dirangkaikan dengan permainan tradisional yang lain, seperti ; masse’mpek (olahraga dengan tendangan kaki), mappe’re’k (berayun-ayun) dan lain-lain. Namun beberapa tahun terakhir ini hal itu tidak lagi dilakukan dan digantikan dengan pertandingan sepak bola.
Kepala Desa Pongka Jannabe, S.Ag. menjelaskan bahwa pelaksanaan atraksi sire’mpek api sekarang ini hanya dirangkaikan dengan pertandingan sepak bola antara klub-klub sepak bola baik dalam wilayah Kecamatan Tellu Siattinge, maupun dari luar  yang berminat. Oleh karena itu, jauh-jauh hari sebelum permainan rakyat sire’mpek api dimulai, telah dilaksanakan pertandingan sepak bola. Menurutnya, pertandingan sepak bola biasanya memakan waktu selama setengah bulan. Jadi selama itu, keadaan Desa Pongka nanpak ramai dari tamu-tamu yang datang untuk menonton.
Dalam pelaksanaan tradisi sire’mpek api tersebut, partisipasi masyarakat Desa Pongka memang patut dibanggakan. Mengapa tidak, pasalnya disamping keramahtamahannya menerima tamu-tamu dari daerah lain, juga kerelaannya menyiapkan berbagai makanan. Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi setiap pemilik rumah untuk menyiapkan makanan kepada tamu yang lewat ataupun singgah. Tak ubahnya dengan perayaan hari Idul Fitri atau Idul Adha bagi umat Islam.
Menurut sejumlah informan, hal demikian telah berlangsung secara turun temurun. Tidak ada penekanan, apalagi yang namanya paksaan untuk menyiapkan semua itu. Semata-mata merupakan kesadaran warga masyarakat yang menganggapnya sesuatu yang bernilai pahala apabila rumah mereka disinggahi oleh tamu-tamu dari luar.
Pada saat berlangsungnya acara sire’mpek api, biasanya warga masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone dengan kesadaran sendiri memotong hewan ternak berupa ; ayam, kambing, sapi dan kuda. Biasanya setiap tiga buah rumah tangga sepakat untuk menyiapkan satu ekor kuda untuk disembelih sebagai persiapan untuk menyuguhkan kepada tamu-tamu yang datang.

IV – WUJUD PENEGAKAN “SIRIK NA PESSE’ “

1. Bila Harga Diri Terinjak-injak
Tradisi sire’mpek api yang selalu dilakukan oleh penduduk Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone satu kali dalam tiga tahun, ternyata bukanlah sekedar pertunjukan biasa. Bila ditelusuri lebih jauh tentang asal muasal kejadiannya, maka akan ditemukan persoalan-persoalan lebih mendasar yang merupakan latar belakang tradisi tersebut.
Tradisi sire’mpek api yang dilakukan secara turun temurun oleh penduduk Desa Pongka tersebut, bukan semata-mata sebagai ajang ketangkasan untuk saling melempar api dan mempertontonkan kekebalan para pemainnya dari jilatan api. Tetapi ada hakekat dasar yang sangat dominan yang melatar belakanginya yaitu sebagai upaya penegakan harga diri yang dalam bahasa Bugis disebut “sirik na pesse’”. Penegakan harga diri (martabat) yang terinjak-injak oleh suatu kekuasaan yang telah jauh meninggalkan nilai-nilai kultural (pangadereng) yang telah menjadi ciri khas dan watak asli orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan juga orang Mandar di Sulawesi Barat.
Tidak diketahui secara pasti tentang kapan seungguhnya tradisi sire’mpek api itu mulai dilakukan. Pasalnya, upacara yang sakral dan telah menjadi kebiasaan penduduk di Desa Pongka tersebut, tidak ditunjang oleh bukti-bukti tertulis seperti lontarak (catatan yang tertulis pada daun lontar) dan manuskrip-manuskrip lainnya. Namun menurut sejumlah informan baik yang ada dalam wilayah Desa Pongka maupun yang ada diluar wilayah tersebut menjelaskan bahwa tradisi sire’mpek api diperkirakan dimulai sejak kedatangan pengungsi dari Baringeng Soppeng.
Dalam lontarak Bone (Matthes, Boeg. Chrestomathie I) hanya menyebutkan bahwa sebelum “lamumpatue ri Timurung” yaitu perjanjian tiga kerajaan (Bone, Wajo dan Soppeng) dalam tahun 1582, untuk mempersaudarakan wilayah kerajaannya, Baringeng masih berada dibawah kerajaan Wajo. Menurut lontarak tersebut, pada saat Lamumpatue ri Timurung akan dilakukan, La Paleppek Patolae selaku Pollipue ri Soppeng merasa sangat keberatan untuk bergabung mempersaudarakan daerahnya dengan Bone dan Wajo. Alasannya bahwa wilayah Soppeng sangat kecil dibanding kedua kerajaan tetangganya itu.
Oleh karena itu, La Tenri Rawe Bongkange selaku Mangkauk (raja) Bone berkenan memberikan tambahan wilayah, yaitu Gowagowa dan Citta. Sedangkan La Mungkace To Uddamang selaku Arung Matowa Wajo berkenan pula memberikan tambahan wilayah yaitu Lompulle dan Baringeng.
Catatan dalam lontarak Akkarungeng Bone ini sedikitnya telah dapat memberi sedikit  gambaran bahwa pengungsian besar-bsaran dari Baringeng terjadi setelah Lamumpatue ri Timurung. Alasan yang paling mendasar adalah sesuai cerita lisan masyarakat Desa Pongka yang mengatakan bahwa rombongan pengungsi tersebut berasal dari Baringeng Soppeng.
Dapat diperkirakan bahwa terjadinya peristiwa pengungsian dari Baringeng terjadi setelah tahun 1582 atau bisa jadi pada akhir masa pemerintahan La Tenri Rawe Bongkangnge Raja Bone - VII dalam tahun 1584. Atau mungkin pula pada masa pemerintahan Raja Bone ke – VIII La Iccang Matinroe ri Addenenna (1584 – 1595).
Tokoh-tokoh masyarakat di Desa Pongka memperkirakan bahwa atraksi saling melempar api atau sire’pek api pada mulanya dilakukan antara rombongan pengungsi dari Baringeng dibawah pimpinan Petta Makkulim Lajengnge bersama Petta Pabbaranie dengan orang-orang Datu Baringeng yang selalu mengikutinya untuk melakukan pengejaran.
Rombongan pengungsi yang terdiri dari sanak keluarga meninggalkan Baringeng sebagai bentuk perlawanan dan protes atas tindakan Datu Baringeng yang cenderung menganut politik kekuasaan yang absolut dan kesewenang-wenangan tanpa batas. Tidak menghargai hak-hak kepemilikan warga masyarakat, semua harus tunduk dibawah perintahnya.
Tindakan kesewenang-wenangan tersebut yang sepertinya sudah terlalu jauh meninggalkan “adek pangadereng” (sistem hukum) di Tana Bugis yang dilakukan oleh Datu Baringeng dan pengusa-penguasa bawahannya menimbulkan penderitaan lahir batin dikalangan rakyat kecil. Hal yang demikian itulah yang membuat sekelompok rakyat Baringeng dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge yang konon adalah kakak kandung Datu Baringeng sendiri bersama Petta Pabbaranie mencoba untuk melakukan langkah pencegahan.
Langkah yang pertama dilakukannya adalah memperingati Datu Baringeng untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan rakyat banyak, atau tindakan yang bertentangan dengan “adek pangadereng” Tana Ugi. Peringatan tersebut dilakukannya berulang-ulang dengan maksud agar penguasa Baringeng tersebut mau merubah sikapnya dan kembali menghargai makna  “adek pangadereng” yang telah dijunjung tinggi oleh orang Bugis, Nakassar dan Mandar.
Tetapi karena Datu Baringeng yang memang masih berusia muda, tidak mengindahkan peringatan dari kakanya, bahkan semakin menjadi-jadi, maka Petta makkuli Lajengnge bersama Petta Pabbaranie melakukan perlawanan. Bersama rakyat pendukungnya, Petta Makkuli Lajengnge dan Petta Pabbaranie mengepung istana Datu Baringeng dan melemparinya dengan api yang terbuat dari suluh daun kelapa kering.
Tindakan Petta Makkuli Lajengnge bersama Petta Pabbaranie dan rakyat pendukungnya mendapat perlawanan sengit dari pengawal istana Datu Baringeng yang bertahan mati-matian. Dengan demikian, para demonstran dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge gagal untuk melengserkan penguasa tersebut dari kedudukannya yang disalah gunakan selama ini.
Oleh karena itu, Petta Makkuli Lajengnge kakak kandung dari Datu Baringeng sendiri bersama Petta Pabbaranie memilih perlawanan dalam bentuk pengungsian (Bugis ; malle’kkek dapureng). Pada saat yang telah disepakati, seluruh rakyat yang setuju dengannya diikutkan untuk meninggalkan Kerajaan Baringeng. Dikisahkan bahwa di Kerajaan Baringeng saat itu tidak ada lagi norma-norma adat, budaya “sipakatau” (pengakuan terhadap hak azasi manusia) diabaikan, kekuasaan raja mendominasi seluruh tatanan kehidupan dan pemerintahan.
Tradisi lisan yang selalu dituturkan oleh tokoh-tokoh masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone menyebutkan bahwa datu (raja) yang memerintah di Kerajaan Baringeng waktu itu, tidak diketahui tentang namanya. Dia hanya dikenal dengan gelar “Datu Lolo” (Datu yang muda). Datu Lolo tersebut adalah seorang penguasa yang sangat kejam dan tidak pernah mengakui tentang hak-hak dasar kemanusiaan. Anak-anak gadis orang dijadikan pemuas napsu, suka meniduri isteri orang  lain dan masih banyak lagi tindakannya yang bertentangan dengan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan orang Mandar di Sulawesi Barat.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat Kerajaan Baringeng memilih untuk hijrah ke daerah lain, dalam artian mencari tempat yang tenang dan aman bersama sanak keluarganya. Perinsip “polo papa polo pannik nare’kko e’lok ajjoareng” (tidak ada kekuatan dan kekuasaan yang melebihi kekuatan dan kekuasaan raja) tidak lagi befungsi sebagai alat legitimasi bagi Datu Baringeng untuk bertahan dari kedudukannya pada saat itu. Pernyataan kesetiaan rakyat “angikko ki raukkaju – riyako miring riyakkeng mutappalireng” (anginla engkau dan kami semua daun kayu- kemana engkau berhembus kesana pula kami terbawa), memang hanya berlaku selama sang penguasa (raja) dapat memegang teguh nilai-nilai pangadereng. Nilai-nilai sipakatau yang dapat melindungi rakyatnya agar tidak kepanasan, menyelimuti agar tidak kedinginan, menjaganya agar merasa aman dari segala gangguan.
Pengakuan rakyat yang dikenal berbunyi ; “makkedako mutenri bali – mette’kko mutenri sumpala” (berkatalah engkau dan kami tidak akan membantah – memanggillah dan kami akan datang) memang hanya berlaku sepanjang raja (penguasa) mampu berlaku adil terhadap rakyatnya. Terjadinya kesepakatan (Bugis ; assamaturuseng) bagi sekelompok masyarakat di Baringeng untuk meninggalkan kampung halamannya menuju ke suatu tempat yang dianggap aman dan bisa memberinya ketenangan merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap perlakuan kesewenang-wenangan.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan berliku-liku, naik dan turun gunung, menyeberangi sungai serta menyusuri hutan belantara, akhirnya rombongan pengungsi terebut sampailah pada suatu tempat yang sejuk dan nyaman. Mereka tidak mengetahui nama tempat itu, namun menurutnya tempat tersebut subur dan menjanjikan untuk dikelola sebagai lahan persawahan dan perkebunan. Keadaan alamnya nanpak sangat asri, dialiri sebuah sungai yang jernih.
Ditempat itulah mereka membuat perkampungan baru, membuka lahan perkebunan dan persawahan, serta memelihara ternak-ternaknya. Dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge, mereka sepakat untuk memberi nama tempat barunya tersebut “pong engka” (mulai ada). Dari kata “pong engka” kemudian mengalami evolusi kata sehingga menjadi Pongka seperti yang kita kenal sekarang.
Oleh karena wilayah tersebut berada dibawah kekuasaan Datu Ulo di Kerajaan Bone, maka Petta Makkuli Lajengnge bersama Petta Pabbaranie mengutus orangnya untuk menemui Datu Ulo. Harapannya adalah agar Datu Ulo berkenan menyampaikan kepada Arumpone tentang kedatangannya serombongan untuk meminta perlindungan dan diperkenankan menempati tempat tersebut.
Dikisahkan bahwa setelah Datu Ulo menerima utusan Petta Makkuli Lajengnge dan Petta Pabbaranie selaku pimpinan rombongan pengungsi dari Baringeng, iapun segera menyampaikan kepada Arumpone. Lalu Arumpone menyetujui dan memberi pengakuan kepada rombongan pengungsi tersebut untuk berdiam di wilayah itu. Pengakuan Arumpone yang disampaikan oleh Datu Ulo diterima oleh Petta Makkuli Lajengnge dan Petta Pabbaranie dengan sebuah “akkulu adang” (perjanjian) yang berbunyi sebagai berikut ;
Petta Makkuli Lajengnge ;
“ata me’suk puanna – mallak mailik – makkatenni marunrung – mareppak pinceng – tennacokkongi jorikjorik paccappurenna”
(hamba yang melampaui rajanya – yang diinjak akan runtuh – yang dipegang akan terlepas – pecah bagaika beling – tidak akan ada kebaikan bagi turunannya)
Datu Ulo atas nama Arumpone ;
“puang me’suk atanna – mallak mailik – makkatenni marunrung – mareppak pinceng – tennacokkongi jorikjorik paccappurenna”
(raja melampaui hambanya – yang diinjak akan runtuh – yang dipegang akan terlepas – pecah bagaikan beling – tidak akan ada kebaikan bagi turunannya)

Dari “akkulu adang” (perjanjian) itulah yang membuat rombongan pengungsi dari Baringeng dibawah pimpinan Petta Makkuli Lajengnge bersama Petta Pabbaranie mulai diakui sebagai “lisek Bone” (warga Kerajaan Bone). Sejak itu pula mereka menyatakan diri keluar dari kekuasaan Baringeng yang dianggapnya sebagai pemerintahan sewenang-wenang.
Sebagai bukti peninggalan sejarah tentang peristiwa tersebut, di Desa Pongka masih dapat disaksikan makam Petta Makkuli Lajengnge, Petta Pabbaranie dan seorang saudara perempuannya yang bernama Puang Moncong. Konon ketiga tokoh inilah yang merupakan pimpinan rombongan pengungsi tersebut. Ketiga tokoh itu pulalah mendatangi Datu Baringeng dan seluruh jajarannya agar tidak melakukan tindakan yang melanggar adat istiadat orang Bugis. Ketiga tokoh ini pulalah yang merupakan cikal bakal turunan orang-orang Pongka yang telah beranak pinak sampai sekarang.

2. Sirik dan Pesse’ Menurut Pandangan Orang Bugis
Dalam lontarak menggambarkan bahwa falsafah hidup orang Bugis, Makassar dan Mandar dapat dilihat sebagai suatu prinsip yang berlaku secara tegas , seperti dibawah ini ;
“ajak mupakasiriki – mate’itu. (jangan dipermalukan sebab dia lebih memilih mati)
“ajak mualebbaiwi – nabokoriotu” (jangan dikecewakan sebab dia akan meninggalkanmu)

Menurut Shelly Errington, seorang antropolog berkebangsaan Amerika berdasarkan penelitian yang dilakukan di Luwu (1977), mengemukakan bahwa bagi orang Bugis tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi atau lebih penting dari pada menjaga sirik dan kalau mereka merasa tersinggung (ripakasirik) dipermalukan, maka mereka lebih senang memilih mati dengan perkelahian guna memulihkan sirik mereka dari pada hidup tanpa sirik (H.M. Laica Marzuki, dalam Sirik Bahagian Kesadaran Hukum rakyat Bugis-Makassar, 1995)
Pandangan Errington tentang “sirik” bagi orang Bugis adalah sesuatu yang paling dihargai dan dipertahankan. Orang Bugis, Makassar dan Mandar lebih mempertahankan “sirik” (harga diri) dari pada segala-galanya. Bagaimanapun tingginya nilai kekayaan yang dimilikinya, namun tidak akan mungkin dipertukarkan dengan harga dirinya. 
Leonard Y. Andaya dalam tulisannya yang berjudul ; A Village Perception of Arung Palakka and the Macassar War of 1666 – 69 (1979 ; 366) serta bukunya ; Heritage of Arung Palakka (1981 ; 6) mengemukakan ; “Kata sirik seakan-akan mengandung dua makna yang berlawanan, yakni sirik bermakna “malu” juga mengandung makna sebagai “harga diri”. Menutut pengamatan Leonard Y. Andaya, konsepsi sirik harus difahami secara tidak terlepas dari konsep budaya Bugis-Makassar lainnya yang lazim disebut “pacce’” (Makassar) “pesse’ “ (Bugis).
Pacce’/pesse’ bermakna mengenai kepedihan atau keperaihatinan  sebagai ungkapan perasaan sedih, iba hati yang sangat mendalam (Bugis ; esse’ babuwa) baik pada saat melihat atau merasakan sendiri suatu penderitaan dalam lingkungan masyarakat. Dengan pacce’ / pesse’ membuat hati nurani terpanggil guna melibatkan diri dengan sikap dan perbuatan dalam menegakkan kebenaran.
Salah satu konsep sirik yang diamati oleh Andaya sebagai sebuah refleksi pemulihan harga diri, adalah sejarah perlawanan La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka beserta pengikut-pengikutnya yang menentang tindakan kesewenang-wenangan Sultan Hasanuddin selaku Raja Gowa kepada orang Bone dan Soppeng.
Dalam lontarak disebutkan bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka Raja Bone ke – 15 (1672 – 1669) dengan langkah berani membebaskan kurang lebih 10.000 orang Bone dan Soppeng yang bekerja paksa menggali parit dan membuat benteng untuk kepentingan pertahanan Gowa. Pada saat itu, La Tenri Tatta To Unru anak bangsawan tinggi Bone dan Soppeng menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang Bone dan Soppeng mengalami penderitaan luar biasa akibat perlakuan kasar dan sewenang-wenang dari mandor-mandor kerajaan Gowa.
Peristiwa yang memilukan hati tersebut, terjadi ketika proyek pembuatan parit dan benteng di Tallo dan Somba Opu dikerjakan. Dikisahkan bahwa orang Bone dan orang Soppeng yang dipekerjakan di tempat tersebut, diperlakukan bagai hewan, banyak yang meninggal dunia lantaran sakit dan kelaparan. Bahkan La Potto Bune Arung Tanatengnga yang tidak lain adalah ayah kandung La Tenri Tatta To Unru juga mengalami nasib yang sangat memilukan. Dia dibunuh dengan cara yang sangat keji, yaitu ditumbuk dengan alu di atas lesung oleh lascar-laskar kerajaan Gowa. Konon, tindakan itu dilakukan oleh lakar-laskar kerajaan Gowa karena La Potto Bune memiliki ilmu kebal tingkat tinggi, tahan dengan senjata tajam.
Peristiwa-peristiwa itulah yang membuat hati nurani La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikut-pengikutnya memutuskan untuk melakukan perlawanan dan membebaskan orang-orang Bone dan Soppeng dari tindakan sewenang-wenang laskar-laskar kerajaan Gowa dibawah komando Karaeng Karunrung.
Walaupun harus dibayar mahal dengan gugurnya sejumlah orang Bone dan Soppeng, termasuk Tobala Arung Tanete Riawang yang pada saat itu menjadi Jennang Bone atas penunjukan Raja Gowa Sultan Hasanuddin. Tekad La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya, seperti Aung Belo, Arung Bila, dan Arung Appanang telah “mabbulo sipeppak” untuk melakukan perlawanan sebagai bentuk pemulihan sirik dan pesse’ (harga diri). Perinsip ; “lebbik mate’ maddarae’ na mate’ sirik e’” (lebih baik mati berdarah dari pada mati sirik) merupakan denyut nadi yang menjadi irama langkahnya mengantar perjalanannya kembali ke kampung halamannya (Bone dan Soppeng).
Dalam diri orang Bugis, Makassar dan Mandar melekat sangat kuat, tertancap sangat dalam suatu nilai esensial yang bernama kehormatan (martabat). Apabila nilai-nilai tersebut diinjak-injak atau dilecehkan oleh orang lain, misalnya dihina atau dipermalukan, termasuk dalam hal anggota keluarga perempuannya diperkosa atau dilarikan, maka dapat dikatakan sirik (ripakasirik).
Pada saat terjadinya sirik (ripakasirik) senantiasa diikuti oleh suatu gejala batin yang namanya pesse’ (kepedihan). Apabila sirik dan pesse’ sudah menyatu dalam suatu kesenyawaan, maka disinilah timbulnya luapan perasaan (emosi) untuk melakukan langkah pemulihan dalam bentuk perlawanan.
Dalam sastera klassik Bugis La Galigo terdapat sebuah mitos bahwa sirik merupakan bawaan dari langit (botillangik). Menurut pengertin ini, sirik merupakan konsepsi kultur warisan leluhur orang Bugis, Makassar dan Mandar yang mengarah kepada tujuan yang baik. Jadi pada hakekatnya sirik adalah suatu kehormatan, nilai harga diri yang dijunjung tinggi dan dikeramatkan oleh pemiliknya. Hal ini tercermin dalam ungkapan bijak yang berbunyi ; “sirik e’mmi rilolangeng ri linoe’ “ (hanya kerana sirik kita hidup di dunia). Bahkan ada pandangan yang lebih ekstrim tentang sirik bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (baca ; Bugis, Makassar dan Mandar) bahwa orang yang tidak memiliki sirik (de’k sirikna), maka tak ubahnya dengan seekor binatang.
Tentang pemulihan harga diri (sirik) dalam bentuk perlawanan, adalah gambaran bahwa sirik itu telah menimbulkan gejala batin yang bernama “pesse’ “ kemudian menyatu dan membentuk luapan perasaan (emosi). Seperti dilukiskan oleh Mattulada dalam bukunya “Latoa ; Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis” dengan jelas diungkapkan tentang itu. Menurut Mattulada, sirik berdasarkan “paseng” (pesan leluhur) berbunyi ; “utettong ri adek e’ – ujagaimi sirikku” (Saya taat kepada adat, hanya karena melindungi sirikku)
Mattulada berpendapat bahwa untuk mendekati batasan sirik, tak mungkin orang hanya memandang satu aspeknya saja atau hanya memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimengerti, karena sirik adalah sesuatu yang sifatnya abstrak dan hanya akibat konkretnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mngobservasi orang-orang Bugis, Makassar dan Mandar yang memiliki sifat cepat tersinggung perasaannya, lekas mempergunakan kekerasan dan membalas dendam dengan pembunuhan (Mattulada, 1995).
Sejumlah ungkapan tradisional dalam lontarak attoriolonge’ (catatan-catatan dalam lontarak) yang memiliki makna penting tentang prinsip hidup orang Bugis, diantaranya ; “panre’i pe’neddinna padammu rupatau nasabak pasiturue’ngngi pappujinna” (berilah makan perasaan sesamamu dengan mengikuti keinginan hatinya). Ungkapan tradisional orang Bugis, termasuk orang Makassar dan orang Mandar yang berhubungan dengan pemulihan sirik dan pesse’ sebagai mana yang dialami oleh sekelompok masyarakat yang melakukan pengungsian dari Baringeng Soppeng yang kemudian terdampar pada sebuah tempat yang diberinya nama “pong engka” (pongka), adalah sebagai berikut ; “pauno sirik e’ – mappale’le ri pammassareng esse’ babuwae’ “ (sirik itu bisa mematikan – kepedihan hati bisa membawa ke liang lahad).
Begitu perlunya pemahaman mengenai srti sirik dalam kehidupan kekinian dan keakanan masyarakat Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, Komando Daerah Kepolisian (KODAK) XVIII Sulselra bekerja sama Universitas Hasanuddin telah mengadakan seminar masalah sirik (11-13 Juli 1977) di Makassar. Hasil dari seminar tersebut melahirkan definisi mengenai sirik sebagai berikut ; “Sirik adalah suatu sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat”.

3. Beberapa contoh kasus ;
 Perlawanan Petani Unra
Peristiwa perlawanan petani Kampung Unra dalam Onder Distrik Jaling Afdeling Bone pada tahun 1943 terhadap kebijakan Pemerintah Jepang, dapat dikatakan sebagai bentuk perlawanan yang berlatar belakang pemulihan sirik dan pesse’. Seperti diketahui bahwa untuk membiayai perangnya di Asia Timur Raya, pemerintah Jepang di Indonesia mengeluarkan kebiajakan yang mewajibkan petani untuk mengeluarkan 300 liter beras dalam satu keluarga/rumah tangga. Beras tersebut harus diserahkan kepada Pemerintah Jepang melalui aparat bawahannya yang terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri.
Kebijakkan ini dinilai sangat mmberatkan petani, apalagi situasi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu sangat memperihatinkan. Pada saat itu banyak rakyat yang mati kelaparan, kurang sandang dan terserang penyakit.  Oleh karena itu, sebahagian besar petani menolak kebijakan Pemerintah Jepang tersebut, termasuk petani Kampung Unra dalam Onder Distrik Jaling Afdeling Bone.
Pada mulanya petugas-petugas dari Pemerintah Jepang yang terdiri dari orang-orang Bone sendiri berlaku lemah lembut terhadap petani agar bersedia  menyerahkan 300 liter berasnya untuk satu keluarga/ rumah tangga. Tetapi karena para petani di Kampung Unra menolak dengan alasan bahwa untuk diri dan keluarganya saja tidak cukup dimakan bersama sampai datangnya panen berikutnya.
Oleh karena merasa tidak diikuti perintahnya, petugas-petugas Jepang mulai berlaku kasar. Mereka menaiki loteng-loteng rumah rakyat dan menendang padi-padi itu turun ke tanah. Perlakuan yang demikian itu, menimbulkan esse’ babuwa (kepedihan hati) bagi petani Kampung Unra dan merasa harga dirinya teraniaya. Apalagi saat itu masih sangat kuat kepercayaan masyarakat bahwa padi adalah penjelmaan “sangiang seri” (dewi padi) yang harus disakralkan dan dihormati. Padi adalah benda yang menjadi simbol dari khidupan manusia yang apabila diperlakukan tidak wajar, seperti ditendang dari loteng rumah, akan mendatangkan malapetaka yaitu bakal gagal panen pada tahun berikutnya.
Oleh karena iu, dengan dijiwai oleh semangat “masseddi sirik – masseddi peddik” para petani di Kampung Unra baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak dan orang tua, bangkit menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan. Dengan perinsip “lebbi mate’ maddarae’ – namate’ makkapopangnge’ (lebih baik mati berlumuran darah dari pada mati kelaparan), mereka mengangkat senjata dan melakukan perlawanan.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa Andi Mannuhung Kepala Onder Distrik Jaling bersama putranya Andi Dambu tewas akibat amukan petani yang sudah kalap dan tidak terkendali. Disamping Andi Mannuhung dan putranya Andi Dambu, tewas pula Andi Ukkase (polisi), Tune Daeng Pawawo (polisi), Andi Abdullah Arung Ponceng dan beberapa yang lain mengalami luka-luka.
Sementara dari pihak petani Kampung Unra, para tokohnya seperti ; H. Temmale’, I Pagga, I Tepu, Mante, Beddu Kepo dan lain-lain ditangkapi oleh serdadu Jepang kemudian dipenjara di Watampone. Mereka disiksa sampai banyak diantaranya meninggal dunia dan tidak diketahui kuburannya. Salah satunya adalah H. Temmale’ seorang tokoh masyarakat Kampung Unra yang dikenal sebagai guru silat dan memiliki ilmu kebal. Konon, untuk mengakhiri hidup H. Temmale’ terpaksa dimasukkan dalam drum kemudian dibakar.
Sebenarnya tragedi kejadian di Kampung Unra saat itu, mungkin tidak akan demikian tragisnya seandainya para petugas Jepang memperlakukan para petani sesuai sesuai dengan prinsip “pangadereng” yaitu mematuhi “adek sipakatau – sipakalebbi”. Sebab dari berbagi informasi bahwa yang membuat petani-petani Kampung Unra kalap dan bertindak tanpa pertimbangan, adalah karena tindakan petugas-petugas Jepang yang tidak lain adalah orang-orang yang boleh dikata masih sekampung dan bahkan masih memiliki hubungan darah, menendang padi-padi dari atas loteng rumah turun ke tanah.
Sementara petani-petani Kampung Unra masih mempercayai bahwa padi adalah penjelmaan “sangiang seri” yang harus dihormati dan disakralkan. Dengan melihat padi-padi mereka diperlakukan demikian, maka mereka tidak mampu lagi membendung “esse’ babuwa” (kepedihan hatinya), akhirnya terjadilah tindakan yang membabi buta terhadap petugas-petugas Jepang yang datang di tempat tersebut.
Dalam perjalanan sejarah Tana Bone, memang pendudukan tentara Jepang dianggap sebagai masa yang paling kelam bagi kehidupan masyarakat. Banyak yang membandingkan dengan masa kekuasaan Gowa dalam abad ke – 17 yang dikenal dengan istilah “ripoatani Bone pole’ ri Gowa” (terjajahlah Bone dari Gowa) selama kurang lebih 17 tahun. Namun pendudukan tentara Jepang yang hanya berlangsung selama tiga setengah tahun, penderitaan rakyat masih lebih besar dibanding dengan masa kekuasaan Gowa tersebut. Dimasa pendudukan Jepang, rakyat disamping kekurangan makanan, juga sandang sangat sulit didapatkan. Hal ini menyebabkan banyak rakyat yang terpaksa menggunakan “karoro” atau karung sebagai pengganti busana. Anak-anak kecil terserang penyakit busung lapar lantaran kekurangan gizi dan obat-obatan.
Bahaya kelaparan yang menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup rakyat, tidak ditanggapi oleh Pemerintah Jepang. Namanya saja penjajah, dalam pikirannya hanya ada niat pemerasan, penindasan dan pemerkosaan. Kesemuanya itu menjadi penyebab timbulnya dendam yang membara di hati rakyat.
Andi Mappanyukki yang oleh Pemerintah Jepang tetap diakui sebagai Mangkauk (Raja Bone), namun fungsi dan wewenangnya hanya sebagai simbol belaka. Beliau ditempatkan sebagai lambang dalam kekuasaan dan pemerintahan Jepang dengan maksud menarik simpati rakyat Bone. Oleh karena iu, secara administratif hirarki kekuasaan Andi Mappanyukki selaku raja dengan rakyat Bone menjadi terputus dan beku. Demikian pula aparat pemerintah ditingkat bawah, seperti ; Kepala Distrik, Kepala Onder Distrik dan pembantu-pembantu lainnya harus tunduk untuk kepentingan politik Jepang.
Tragedi kjadian di Kampung Unra dalam Onder Distrik Jaling Afdeling Bone pada tanggal 16 April 1943, telah menjadi catatan hitam bagi perjalanan sejarah Tana Bone. Banyak kalangan yang memandang peristiwa tersebut sebagai malaptaka yang menelan banyak korban. Sementara bagi petani-petani Unra menganggapnya sebagai benuk pemulihan harga diri atau penegakan sirik dan pesse’.
Tentang bagaimana sesungguhnya kedudukan peristiwa tersebut dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, sejarahlah yang akan mencatatnya. Suatu bukti bahwa petani-petani Kampung Unra telah menorehkan lukisan yang sekaligus membuktikan bahwa orang Bugis lebih memilih mati berlumuran darah dari pada harga dirinya terinjak-injak.



Sepak Terjang La Iccang Matinroe ri Addenenna
Kedaulatan konsep sirik dan pesse’ terhadap tindakan kesewenang-wenangan, termasuk tindakan penguasa yang tidak memikirkan kepentingan rakyatnya, kelihatan sekali dalam berbagai kasus yang pernah terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Bugis dimasa lampau. Kesemuanya itu telah menunjukkan bahwa kedaulatan konsep sirik dan pesse’ lebih dominan dibanding dengan yang kita kenal “adek mappura onro” (norma-norma yang telah ditetapkan bersama).
Walaupun kedudukan raja memiliki legitimasi yang kuat dalam bentuk “adek mappura onro” atau hukum dasar yang berlaku abadi, tetapi disatu sisi konsep sirik dan pesse’ masih lebih kuat pengaruhnya dalam kelanjutan kekerabatan. Implementasinya tercermin dalam ungkapan “paseng” (pesan leluhur) seperti yang berbunyi ; “sirikkumi ki poata” (hanya karena aku menjaga sirik, sehingga aku tunduk). Bahkan yang lebih ekstrim lagi, berbunyi begini ; “timukkumi makke’ puang – gajakku tenna isseng makke’ puang” (hanya mulutku yang menghamba, tetapi ujung kerisku tidak dapat menghamba). Ini artinya, orang Bugis dapat berlaku sopan dan santun selama perasaannya atau harga dirinya tidak diinjak-injak (dipermalukan).
La Iccang Matinroe ri Addenenna Raja Bone – VIII (1548 – 1595) yang dibunuh oleh rakyatnya, salah satu contoh betapa konsep sirik dan pesse’ itu dapat membatalkan yang namanya “adek mappura onro dan menjadi suatu keputusan yang tak terbantahkan. Seperti yang dikenal dalam falsafah Bugis yang berbunyi ; “rusak taro arung tenrusak taro adek – rusak taro adek tenrusak taro assituruseng” (batal kehendak raja, tapi tak batal kehendak adat – batal kehendak adat, tapi tak batal kehendak orang banyak).
La Iccang dikenal sebagai seorang raja (mangkauk) yang memiliki sifat-sifat yang tidak terpuji. Disamping kejam, juga sering melakukan tindakan asusila yaitu meniduri isteri orang lain, bahkan sering melakukan perampasan harta milik orang dengan dalih tidak pantas memilikinya. Oleh karena orang banyak menganggap tindakannya itu sebagai perbuatan sewenang-wenang dan malaweng (perzinahan), maka mulailah mengatur siasat untuk melengserkan dari kedudukannya sebagai Mangkauk (raja) di Bone.
Bagi orang Bugis sangat meyakini bahwa perbuatan “malaweng” merupakan pantangan berat yang dapat menimbulkan malapetaka yang luar biasa bagi negeri berupa ; “sapak tana – tula pattaungeng – tepparanruk tanettaneng – teppapole’ wise’sa” (pantangan bagi negeri – gagal panen tahunan – segala tanaman akan kering – tidak akan ada hasil).
Dalam lontarak Attoriolonge’ ri Bone ditemukan catatan tentang tindakan berutal La Inca yang benar-benar diluar kewajaran. Suatu ketika La Iccang murka besar kepada salah seorang raja bawahannya yang bernama La Patiwongi To Pawawoi. Karena sangat murkanya, raja bawahannya tersebut diasingkan ke Sidenreng. Ketika La Patiwongi kembali ke Bone dengan maksud meminta pengampunan, namun apa yang terjadi hukumannya malah ditambah. La Patiwongi disuruh meninggalkan Tana Bone untuk pergi ke Bukie’. Rupanya La Iccang belum juga puas, lalu dengan kemurkaannya menyusul La Patiwongi ke Bukie’ dan membunuhnya disana.
Bukan cuma itu, sejumlah raja bawahannya yang lain, seperti Arung Paccing, Arung Awampone, Maddanreng Palakka yang bernama To Saliwu Riwawo mengalami nasib yang sama dengan La Patiwongi yaitu dibunuh tanpa alasan yang jelas. Tindakan yang sewenang-wenang tersebut tanpaknya tidak ada seorangpun yang berani untuk mencegahnya, termasuk anggota Dewan Hadat Tujuh yang memang tidak difungsikannya. Hal yang demikian karena apabila ada orang yang berani memperingatinya, maka dia juga akan mendapat perlakuan yang sama. Oleh karena itu, semua orang Bone lebih memilih diam dan membiarkan Raja Bone itu bertindak semena-mena.
La Iccang dikenal pula sebagai seorang raja yang suka merampas harta orang yang dinilainya tidak pantas untuk memilikinya. Disamping itu, La Iccang tidak lagi memfungsikan Dewan Hadat Tujuh sebagai partner dalam pelaksanaan pemerintahan. Dengan demikian, ia bebas saja mengangkat dan memberi kedudukan kepada orang yang tidak memiliki kemampuan dalam tugas yang diembannya. Salah satu contohnya, salah seorang hamba pribadinya diangkat sebagai pejabat penting dalam pemerintahan. Sementara orang yang memiliki kelayakan diabaikan dan bahkan dibencinya.
Tetapi kekuatan dan kekuasaan manusia tetap ada batasnya. Suatu saat La Inca Raja Bone yang lalim tersebut didapati sedang meniduri isteri orang yang membuat orang banyak marah. Kemarahan rakyat yang selama ini bagaikan api dalam sekam, saat itu meluap tak tertahankan. Perlawanan dari rakyat yang tidak terduga tersebut serentak berkobar bagaikan api ditiup angin ditengah padang rumput kering.
Karena merasa dirinya tertantang, La Inca mengamuk bagaikan serigala kelaparan dan memburu orang-orang yang ada didepannya. Rumah-rumah penduduk dibakarnya mulai dari Matajang sampai ke Macege. Tindakan La Inca tersebut benar-benar keterlaluan dan telah jauh meninggalkan adek sipakatau dan sipakalebbi yang selama ini menjadi pola dasar dalam masyarakat Bugis.
Lalu orang banyak ramai-ramai melaporkan kepada Arung Majang yang tidak lain adalah kakek La Iccang sendiri. Menerima laporan tersebut, Arung Majang menyuruh salah seorang untuk memanggil I Dammalaka kemanakannya di Mampu. Setelah I Dammalaka datang, Arung Majang berkata ; “Bawalah saya ke Bone, saya akan melawan cucuku hingga mati. Dia bukan lagi mangkauk (raja), jadi saya harus melawannya”.
I Dammalaka bersama orang banyak menemani Arung Majang menuju Saoraja (istana) Raja Bone di Watampone. Didapatinya La Iccang seorang diri di depan Saoraja dalam keadaan kelelahan. Rupanya tidak seorangpun yang berani mendekatinya, sebab apabila ada orang yang dilihatnya pasti akan diburunya untuk dibunuh.
Pada saat La Iccang melihat Arung Majang datang bersama I Dammalaka serta orang banyak, emosinya kembali terbakar. Lalu La Iccang menyerang secara berutal dan memburu siapa saja yang ada di depannya. Melihat keadaan semakin genting dan sangat berbahaya, Arung Majang memerintahkan orang banyak untuk melakukan taktik menyerang dan menghindar. Artinya sekelompok orang yang melakukan serangan, sementara sekelompok lagi yang menghindar. Hal ini betul-betul membuat La Inca semakin kehabisan tenaga.
Akhirnya La Iccang naik di tangga Saoraja sambil menyandarkan kepalanya dengan napas terengap-engap tanda kelelahan. Dalam kesempatan itulah Arung Majang mendekat dan mencekik leher cucunya hingga tak bernyawa. Hal ini dilakukan karena “adek pura onro” di Bone mengatakan bahwa bangsawan tinggi dan keturunannya tidak bisa diberi hukuman dengan cara mengeluarkan darahnya.  Karena La Inca Raja Bone – VIII meninggal di tangga istananya, maka ia digelar Matinroe’ ri Addenenna, artinya yang wafat di tangga istananya.
Kematian La Iccang yang demikian, membuktikan bahwa kekuasaan raja tidaklah berlaku mutlak, tetapi tetap dibatasi oleh sistem norma yang bernama adek (pangadereng). Pangadereng sebagai konsep kultural orng Bugis, Makassar dan Mandar, memberi peluang yang sangat luas terhadap eksistensi jatidiri masyarakat baik secara individual maupun secara kelompok masyarakat.
Kasus I Tepukaraeng Daeng Parabbung
Kasus lain dapat dilihat pada I Tepukaraeng Daeng Parabbung Raja Gowa – XIII yang memerintah antara tahun 1590 – 1593. I Tepukaraeng Daeng Parabbung diangkat menjadi Raja Gowa menggantikan ayahnya I Manggorai Daeng Mameta yng meninggal dunia lantaran dibunuh di atas perahunya oleh I Lallo Tamakanang yang tidak lain adalah saudara sesusunya sendiri, pada saat ada pesta panen di Lipukasi Marusu. Dalam lontarak Pattoriolong ri Gowa diketahui bahwa Raja Gowa ini hanya memerintah kurang lebih dua tahun, karena dimakzulkan oleh Dewan Kerajaan Gowa (Bate’ Salapang). Adapun sebabnya sehingga raja ini dimakzulkan, karena berbagai tindakannya yang dianggap kejam dan merugikan orang banyak.
Dikisahkan bahwa I Tepukaraeng Daeng Parabbung dalam era pemerintahannya senantiasa bertindak sewenang-wenang. Walaupun orang tidak bersalah tetap dihukum bunuh atau diperlakukan tidak wajar. Disamping itu, Dewan Kerajaan Gowa (Bate’ Salapang) diubah menjadi separuh bate’ (sipue’ bate’) tanpa melalui musyawarah dengan anggota Bate’ Salapang. Pemecatan terhadap I Daeng Tamacinna sebagai Tumailalang Gowa dan mengalihkan jabatan penting di Kerajaan Gowa kepada salah seorang hamba pribadinya, merupakan tindakan yang bertentangan dengan adat kebiasaan di Gowa.
Ia memerangi orang-orang Bone yang ada di Meru, mnaklukkan Daeng Marewa di Kaluku dan menaklukkan Bulu Lowe. Karena kekejamannya, orang-orang Jawa, Sumatera dan Melayuyang ada dalam wilayah Kerajaan Gowa diusir untuk kembali ke negerinya masing-masing.
Stelah dimakzulkan oleh Bate’ Salapang Gowa atas nama orang banyak, I Tepukaraeng Daeng Parabbung meninggalkan Kerajaan Gowa dan menetap di Luwu. Kemudian pindah ke Buton dan disanalah ia meninggal dunia pada tanggal 5 Juli 1617. Ia digelar Tunipassuluk artinya orang yang dimakzulkan dari jabatannya.

V. P E N U T U P

A. Kesimpulan

Sesuai dengan pokok-pokok masalah dalam penulisan buku ini, akhirnya disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ;
1. Nilai-nilai tradisional berupa sirik (harga diri) dan pesse’ (kepedihan hati) yang dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, begitu pula  orang Mandar di Sulawesi Barat (bahkan pada kenyataannya termasuk orang Toraja), pada dasarnya sama.
Demikian suku-suku bangsa besar tersebut memandang sirik dan pesse’ sebagai satu-satunya milik yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Beberapa contoh kasus yang diangkat sebagai substansi pembahasan buku ini, merupakan bukti bahwa sirik dan pesse’ adalah sistem sosial dan sistem kepribadian bagi masyarakat yang mendiami jazirah selatan pulau Sulawesi tersebut. Dalam wujudnya yang konkret, terlihat pada akal budi orang-orang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan harga diri.
2. Pengungsian besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari Baringeng Soppeng yang dipimpin oleh Petta Makkuli Lajengnge’ bersama Petta Pabbaranie dan seorang wanita yang bernama Puang Moncong, adalah bukti bahwa pemulihan sirik dan pesse (harga diri) adalah pilihan terakhir yang tidak dapat dihindari. Pengakuan “angikko kiraukkaju” (engkau angin dan kami semua daun kayu) tidak lagi dipatuhi dan menjadi legitimasi bagi penguasa untuk menjalankan pemerintahannya.
Sirik adalah nilai utama bagi orang Bugis yang secara umum selalu diterima oleh anggota masyarakat yang bersifat moral dan sakral. Fungsi nilai sebagai milik bersama, diungkapkan secara verbal dan juga non verbal yang ditandai dengan adanya konsistensi dan sanksi bagi pendukungnya.
3. Atraksi “sire’mpek api” (saling melempar api) yang telah menjadi sebuah tradisi bagi warga Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, adalah implementasi dari semangat yang konstruktif didalam konsep sirik untuk mendapatkan rasa aman dan rasa tenteram dalam kehidupan baik secara pribadi maupun secara kelompok masyarakat yang lebih besar.
Memang tidak terlalu banyak orang yang mengetahui tentang latar belakang lahirnya tradisi sire’mpek api bagi masyarakat Desa Pongka tersebut. Termasuk mereka yang masih merupakan penduduk asli dan memiliki hubungan langsung dengan rombongan pengungsi dari Baringeng Soppeng berabad-abad yang lampau. Mereka rata-rata memahami bahwa tradisi tersebut hanyalah sebagai ajang ketangkasan dan uji kekebalan dari jilatan nyala api.
Oleh karena itu, penulisan buku ini sedikitnya dapat memberi gambaran tentang asal muasal terjadinya tradisi yang boleh dikata sangat langka dan sakral. Artinya, tradisi sire’mpek api tidak hanya difahami sebagai bentuk permainan rakyat belaka, tetapi dapat lebih dimaknai sebagai sebuah perwujudan konsep sirik dan pesse’ dalam wilayah kebudayaan daerah.
4. Selain itu, atraksi sire’mpek api yang secara turun temurun telah menjadi tradisi bagi masyarakat Desa Ponka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi lokal yang masih tetap dipertahankan oleh warga masyarakat pendukungnya.
Tradisi sire’mpek api sebagai bentuk permainan rakyat yang langka, dapat menjadi asset pemerintah daerah dalam rangka pengembangan kepariwisataan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.

B. Saran-saran
Seiring semakin berkembangnya cara berpikir oleh sebahagian masyarakat, ditambah lagi semakin pesatnya kemajuan teknologi dibidang informasi, maka timbul suatu kekhawatiran akan tergesernya tatanan sosial secara menyeluruh. Termasuk tradisi-tradisi lokal dan adat istiadat yang merupakan konsep kebudayaan daerah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya berupa langkah-langkah penyelamatan, sebagai berikut ;
1. Melestarikan dan mendokumentasikan kembali adat leluhur berupa tradisi-tradisi lokal seperti sire’mpek api yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Desa Pongka Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone. Selanjutnya dengan upaya refitalisasi dalam kehidupan kekinian dan keakanan sebagai bentuk kepedulian terhadap unsur-unsur budaya daerah yang pada gilirannya memperkaya khasanah kebudayaan nasional.
2. Menggali nilai-nilai positif yang terkandung dalam adat istiadat dan menselaraskan dengan pola kehidupan sekarang yang semakin berkembang sejalan dengan arus teknologi informasi. Menanamkan nilai-nilai adat terutama kepada generasi muda agar lebih kenal akan dirinya, sehingga timbul rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap budaya nenek moyangnya.
3. Tradisi sire’mpek api di Desa Pongka Kec. Tellu Siattinge Kab. Bone merupakan kekayaan budaya yang perlu dipertahankan. Oleh karena itu, diharapkan adanya upaya publikasi yang jelas, seperti penulisan-penulisan diberbagai media baik elektronik maupun media cetak. Disamping itu, diharapkan para generasi muda utamanya pelajar dan mahasiswa mengangkat tradisi tersebut dalam bentuk paparan yang bersifat ilmiah.

TENTANG PENULIS
Asmat Riady Lamallongeng, mulai menulis puisi dalam tahun 1965 ketika masih duduk dibangku SMEA. Puisi pertamanya berjudul ; “Kata Hati Buat Aisyah” dimuat di majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin H.B. Yassin seorang kritikus sastera saat itu.
Selanjutnya puisi-puisinya banyak yang mengisi ruangan Seni & Budaya surat-surat kabar dan majalah baik yang terbit di Makassar maupun di Jakarta.
Disamping menulis puisi, mantan wartawan dan pendidik ini juga banyak menulis essay, ulasan seni budaya dan naskah drama. “Polo Malelae ri Unra” adalah naskah dramanya yang pernah ditayangkan TVRI Pusat dalam programa Cakrawala Budaya Nusantara yang dimainkan sendiri bersama teman-temannya.
Bukunya yang telah diterbitkan ; Lamellong Kajao Laliddong – Pemikir Besar dari Tana Bugis, Catatan Harian La Temmassonge Raja Bone – XXII (terjemahan), Dinamika Perkawinan Adat Bugis, Kugeluti Dalam Mimpi (kumpulan puisi), Sejarah Bone (dalam Tim bersama Prof. DR Abu Hamid, DR. A. Suryadi Mappangara dan Anwar Ibrahim).
Asmat Riady Lamallongeng adalah salah seorang Pembina Dewan Kesenian Bone (DKB), Pembina Sekolah Bugis, sebuah  lembaga pengkajian dan pelestarian budaya Bugis yang didirikan bersama DR. H. Ajiep Padindang, SE,MM. di Watampone.

TENTANG EDITOR
A.    Muhammad Khadafi, SE, lahir di Watampone pada tanggal 02 Juni 1987. Anak pertama dari empat bersaudara pasangan Andi Nirwan dengan Hj. Naharia, beralamat di BTN Ananda Coppoleang Jalan Gunng Kinibalu Watanpone Kabupaten Bone

Jenjang pendidikan dimulai dari SD Negeri 10 Watampne tahun 1999, SMP Neger 4 Watampone tahun 2002 dan SMA Negeri 4 Watampone tahun 2005. Selanjutnya S1 diselesaikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) LPI Makassar tahun 2010.

Sekarang aktif sebagai Ketua Yayasan Sulapak Eppa Cabang Watampone, sebuah Lembaga Pendidikan yang mengkaji tentang Budaya Bugis.

♦ ♦ ♦
Andi Dahliana, S.Pd, lahir di Bone pada tanggal 06 April 1990. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Andi Bakhri Petta Lolo dengan……..

Pendidikan mulai dari SD di Amali tahun ……., SMP juga di Amali tahun ………… dan SMA Amali tahun ………. Selanjutnya S1 diselesaikan pada STKIP Muhammadiyah Bone tahun 2013.

Sekarang aktif sebagai Pengurus Yayasan Sulapak Eppa Cabang Watampone, sebuah Lembaga Pendidikan yang mengkaji tentang Budaya Bugis.

Jika Anda ingin memiliki dan bertanya seputar Buku "Si Rempe Api Ri Pongka"  Anda boleh menghubungi Penulis Buku ini di No. 081342460047



Tidak ada komentar:

Posting Komentar