Leluhur dan Asal Mula Suku Mandar

Leluhur dan Asal Mula Suku Mandar

     Mandar wilayah Territorial dari persekutuan kerajaan yang ada di wilayah Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan hulu) dan Pitu Ba’bana Binanga (Tujuh kerajaan hilir) yang diprakarsai oleh Mara’dia sebutan bagi Arayang (maharaja)Balanipa ke II Tomepayung di Assitalliangan (Perjanjian) Tammajarra pertama dan Allamungan Batu di Luyo Mengahasilkan Sipamandaq (saling memperkuat)kemudian diperkuat kembali oleh Mara’dia Balanipa ke VI Todziboseang dalam Assitalliangan (perjanjian )Tammajarra kedua,ini di landasi oleh kesepahaman yang berdasar pada letak geografis dan secara biologis(berdasarkan wilayah dan keturunan) asal usul yang sama dari Hulu Sungai Sa’dang yaitu Pongkapadang  yang dalam perjalanan perkawinannya dengan Torije’ne’sebagai nenek moyang orang Mandar yang berkembang Di Pitu Ulunna Salu’dan Pitu Ba’bana Binanga Serta Arrua Tapparittinna Uwai dan daerah Palili yang terdiri dari BinangaKaraeng di selatan,Basokang di timur dan pulau Sallisingan di barat serta Lalombi di utara

Asal Mula Kata Mandar

       Kata Mandar memiliki berbagai arti:(1) Mandar berasal dari konsep Sipamandaq yang berarrti saling kuat menguatkanpenyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya.(4)menurut orang Belanda yang sempat menjajah Indonesia termasuk Mandar termasuk salah wilayah Afdeling,Mandar terdiri dari dua kata Man dan Dare yang berarti manusia dan berani,ini di landasi dari gigihnya perlawanan rakyat Mandar saat kolonialisme Belanda di Indonesia khususnya di tanah Mandar sehingga Mandar di katakana manusia berani, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “Mandar” yang berarti “Sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai,Tinambung,Campalagiang,Mapilli,Karama,Lumu,Buding-Buding,Lariang dan Binuang (Paku)

       Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata Mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandaq yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin).Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.

      Apa itu Mandar, dan dimana? Leluhur orang Mandar atau asal mulanya Suku Mandar dan juga leluhur orang Balanipa secara keseluruhan yang terdiri dari Pitu Ulunna Salu’(tujuh kerajaan yang bermukim diseputaran hulu sungai / pegunungan)yang di singkat PUS yaitu disebut kelompok pertama dan Pitu Ba’bana Binanga(tujuh kerajaan yang bermukim diseputaran muara sungai) yang di singkat PBByaitu yang disebut kelompok kedua dan beberapa kerajaan lainnya,baik kerajaan besar maupun kerjaan kecil termasuk wilayah Palili atau Paliliyang keduanya berarti penyangga sebagai satu rumpun keluarga karena berasal dari satu leluhur,oleh karenanya itu dalam membincang leluhur orang Balanipa maka kita harus berbincang leluhur orang Mandar karena Balanipa adalah bagian integral dari Mandar itu sendiri sekaligus sebagai ketua perserikatan,ketua federasi Pitu Ulunna Salu’ dan Pitu Ba’bana Buinangayang kemudian mendapat gelarArajang(yang dibesarkan / Maharaja).

    Dalam salah satu naskah Lokal(Lontar) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang di Mandar adalah seorang yang mendarat di Hulu Sungai Saddang sementara ada pula pendapat lain menyatakan bahwa Tomakakayang pertama menetap di Ulu’Saddang. Keterangan lain ini memberikan petunjuk bahwa entitas di Mandar telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut(Masa Glasial).

      Konsep lain  tentang manusia pertama di Mandar adalah konsep To Manurung juga artinya orang yang turun dari langit atau orang yang tiba – tiba muncul tanpa diketahui dengan pasti dari mana ia datang akan tetapi mempunyai kelebihan bahkan ada yang mengatakan bahwa dia sangat Maissi Paissangan(Sakti Manraguna)

     Menurut kepercayaan disaat penduduk Mandar masih menganut paham Anisme dan Dinamisme dan konsep ini merupakan mitos yang menjadi kepercayaan orang Mandar dahulu hingga saat ini.Mitos tentang Tomanurungmengundang konsep pengakuan ketaatan terhadap kekuasaan Raja – raja yang berasal dari Langit atau ia adalah jelmaan Dewa yang menitis kedunia yang di tempatkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat dan membangun tatanan pemerintahan bersifat kerajaan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi akan tetapi pemerintahan yang bersifat Raja(Mara’dia)sebagai pemegang kendali kekuasaan namun tak mutlak sebagai layaknya seorang Raja yang berkuasa penuh karena selain pemerintah (kerajaan)di Balanipa khususnya dan Mandar pada umumnya,juga dibentuk pula Dewan Hadat(Lembaga Adat)yang berfungsi mengontrol kewenangan kendali pemerintahan

       Dalam beberapa Lontar di Mandar sepakat menunjuk bahwa Manusia pertama adalah yang berkembang di Mandar,ditemukan di HuluSungaiSaddangdan merekalah Tomanurung (orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan,titisan Dewa)dan Tokombongdibura bernama Tobanuapong yang memperistrikan Tobisse Di Tallang yang benama Pangkapadangyang melahirkan lima orang bersaudara,yang pertama bernama Ilandobeluak,dialah berdiam di Makassar kedua bernama Ilasokkepang,dialah yang berdiam di Beluak yang ketiga bernama Ilandoguttuwanita di Ulu Sadang,yang keempat bernama Usuksabambangdialah yang tinggal di Karonnangan kelima bernama Pakdorangdialah yang berdiam di Bittuang.

      Pendapat lain mengatakan bahwa Pangkapadangadalah salah satu dari tujuh orang anak hasil perkawinan Tomanurung(orang yang turun dari langit atau juga disebut turun dari kayangan.titisan Dewa)dan Tokombongdiburabernama Tobanuapong yang memperistrikan tobisseditallangmelahirkan sebelas orang anak yaitu:

1.   Daeng tumana

2.   Lamber susu (lombeng susu)

3.   Daeng mangana

4.   Sahalima

5.   Palao

6.   To andiri

7.   Daeng palulung

8.   Todipikung

9.   Tolambana

10. Topani bulu

11. Topalili


      Dari kesebelas anak tersebut diatas yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dalam wilayah Mandar dan yang paling menonjol keberadaannya adalah Topalili yang melahirkan Todipaturung Dilangi danLamber Sususyang menetap di Kalumpang Mamuju yang dalam catatan sejarah menurungkan 41 (empat puluh satu) Tomakakayang kembali menyebar dalam wilayah Mandar kemudian melakukan proses kawin mawin dengan keturunan Todipaturung Di Langiuntuk tampil sebagai pemimpin kemudian melahirkan generasi menjadi pemimpin dalam beberapa kerajaan di Mandar.

         Dalam catatan lain di sebut bahwa “Tomanurung yang turun di Hulu Sungai Saddang kemudian kawin dengan Tobisse Ditallang(orang yang turun dari kedalaman)yang melahirkan tujuh orang anak,salah satu di antaranya bernama Pangkopadangyang kawin mawin denagn Torijene’(orang yang datang dari kedalam air)ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Pangkopadangkawin mawin denagan Sanra Boneyang kemudian melahirkan anak berjumlah sebelas orang anakdiantaranya Tobabinna Ana’pangkopadang”(anak kesayangan Pangkopadang) dan dialah cikal bakal penduduk Pitu Ulunna Salu’ Pitu Ba’bana Binanga serta Arua Tapparittina Uwai dan Daerah Palili.

      Dalam catatan sejarah tersebut tidak di tulis kepada siapa Tobabinna Ana’pangkopadangkawin yang selanjutnya melahirkan anak yang disebut Pa’doran lalu kemudian Pa’doranmelahirkan anak bernama Lamber Susu(buah dada panjang) dan anak kedua dari Tobabinna Ana’pangkopadangyaitu yang disebut Topali yang kemidian melahirkan seorang yang bergelar To Dipaturung Di Langi(orang yang di turunkan dari langit) yang proses perkawinan dengan Tokommbangdi bura(orang yang lahir dari busa air) dari hasil perkawinan ini melahirkan generasi yang sampai pada seseorang yang di sebut Todiurra Urra lalu melahirkan dianataranya yaitu anak pertama bernama Luluaya yang artinya anak sulung dan adiknya Irerasi yang artinya berleher indah karena lehernya seakan bergaris – garis yang juga di sebut Memebaro Pamenangan( berleher bagaikan barang antik) Ibu kandung dari Karaeng Tumapparisi Kallona Sombaiyya Ri Gowa Ke Ix(Raja Gowa yang ke IX) dan yang berbungsu bernama Iweappasyang juga disebut Itta’bittoeng (orang yang bersinar bagai bintang dilangit) yang kawin dengan anak To Makakadi lemo yaitu Puang diGandang maka lahirlah Imanyambungiyang juga bernamaTomautra(manusia yang membuat khalayaksegerabubar) yang kemudian setelah wafat bergelar Todilalingdan ialah cikal bakal bangsawan di Balanipa Mandar.

      Dari sumber cerita rakyat ada juga manusia sebelas persi Tabulahan yang menurut sumber ini juga adalah anak cucu dari Pongkopadang yang menetap di Ulu Salu’yaitu Lima Orang terdiri dari :

1.     Daeng tumana

2.     Daeng matana

3.     Tammi

4.     Taajoang

5.     Sahalima

       Dan enam Orang di antaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga yaitu terdiri :

1.      Daeng mallullung di Tara manu”

2.      Tola’binna di Kalumpang

3.      Tokarambatu di simboro

4.      Tambulu bassi di tappalang

5.      Tokayyang pudung di mekkatta

        Dari beberapa versi yang terurai di atas yang masing – masing mempunyai dasar untuk layak dipercaya dan pada seminar sejarah Mandar yang berlangsung di Tinambung Balanipa Polewali Mandar(dahulu PolewaliMamasa) menetapkan bahwa Nenek Moyang orang Mandar Suku Mandar berasal dari Hulu Sungai Saddangyaitu Pongkopadang sebagai cikal bakal penduduk yang mendiami kawasan Mandar yang dalam perjalanan selanjutnya oleh generasi mereka terjalin kembali hubungan kekerabatan danperkawinan di antara satu dengan yang lain.

Demografi (Lokasi Lingkungan Alam)

         Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan.Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

       Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah Sulbar. Mungkin juga bisah diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup masyarakat Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Balanipa dan Polewali yang berada dalam wilayah Polewali Mandar, ada Mandar Majene (Sendana,Pamboang,dan Banggae) yang berada dalam wilayah kabupaten Majenedan ada Mandar Mamujudidalamnya terdapat daerah Tappalang. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Balanipa dan Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten Mamasa.

          Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.

Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :

    Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622.40 Km2
    Luas Kabupaten Majene : 1.932.00 Km2
    Luas Kabupaten Polewali Mamasa : 9.985.00 Km2

Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri : 9.985.00 Km2

Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang : Km2

Nilai Budaya atau Kesenian

         Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitiantentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai.Namun, dalam batas pengantar diskusi atau pemicu, hal ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghidupkan kembali nilai-nilai substansi, yang tetap relevan menembus peradaban dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan.Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan.Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.

           Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimental,apakah ini pengaruh daerah mandar yang notabenya adalah para pelaut – pelaut ulung maksudnya wilayah mandar adalah wilayah maritime kelautan dan berdampak pada irama dan eksotik lirik lagu Mandar. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan.Bandingkan lagu “Tengga Tenggang Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.

            Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.

            Tari “Pattuqdu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penariyang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang.Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari.

Bahasa

          Seperti suku-suku atau etnis lainnya yang ada pada suatu bangsa termasuk yang ada di Indonesia, dipahami bahwa bahasa merupakan identitas yang menunjukkan suatu bangsa, etnis atau suku tersebut.Tak pelak Mandar sebagai sebuah etnis atau bahkan yang lebih besar dari itu, sebuah suku bangsa juga berlaku hal yang serupa.Artinya Mandar juga dapat dipahami dan dimengerti bahkan dikenal melalui bahasa dan dialeknya.

         Konon masih sama dengan etnis lainnya di Indo­nesia, bahasa Mandar juga berasal dari rumpun bahasa Malayu Polinesia atau bahasa Nusantara atau yang lebih acap disebut sebagai bahasa ibunya orang Indo­nesia. Oleh Esser (1938) disebutkan, seperti yag dikutip Abdul Muttalib dkk (1992), bahwa mandfarsche dialecten yang awal penggunaannya berangkat dari daerah Binuang bagian utara Polewali hingga wilayah Mamuju Utara daerah Karossa.

            Walau hingga kini tidak jelas benar sejak kapan penggunaan bahasa Mandar dalam keseharian orang Mandar.Namun dapat diduga, bahwa penggunaan bahasa Mandar sendiri bersamaan lahirnya orang atau manusia pertama yang ada di tanah Mandar.Hal yang lalu dapat dijadikan rujukan adalah adanya bahasa Mandar yang telah digunakan dalam lontar Mandar sekitar abad ke-15 M. Ibrahim Abas (1999).

            Sehingga kuat dugaan bahwa bahasa yang digunakan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan masa lalu di daerah Mandar telah menggunakan bahasa Mandar, yang untuk itu dapat dicermati dalam beberapa lontar yang terbit pada masa-masa pemerintahan kerajaan Mandar.

         Sedang menilik area penyebaran bahasa Mandar sendiri, hingga kini masih dengan mudah bisa di temui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti, Polman, Mamasa, Majene, Mamuju dan Mamuju Utara. Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan bahasa lain, seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan bahasa Bugis, sebagai bahasa Ibu dari etnis Bugis yang berdiam dan telah menjadi to Mandar (orang Mandar-pen) di wilayah Mandar. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar.Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat difemui banyak masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to Mandar di daerah tersebut.Kecuali di beberapa tempat di Mandar, seperti Mamasa. Selain daerah Mandar-atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat-tersebut, bahasa Mandar juga dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang dan daerah Tuppa Biring

Struktur Pemerintahan

       Selama limatahun terakhir, saat tuntutan pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar yang telah berhasil di perjuangkan.Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa sekarang.

        Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi “KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk masyarakat Toraja Barat sebab Mandar dan Toraja bukanklah etnis yang sama. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa.Kata Toraja menunjukkan etnis budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa adalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar meskipun provinsi Sulbar di cetuskan oleh masyarakat Mandar dan Mamasapun termasuk wilayah territorial Mandar PUS dan PBB(Sulawesi Barat)

         Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakang dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat Nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan Nusantara yang bertaaburan diatas samudra.Mayarakat Nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil.Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat Nusantara.

          Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan daerah yang meniru-niru pusat menjadikan wilayah yang kini menjadi Sulawesi barat sebagai anak tiri Sulawesi selatan.Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar) terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekarannya.

          Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbar yang sudah lama ditunggu follow-up Hukum undang-undang dan politiknya adalah “Demokrasi, keadilan, dan kemajemukan.”Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.

       Sehingga  sekarang ini begitu kencangnya wacana pemekaran kabupaten baru yaitu kabupaten Balanipa Mandar yang di rancang bersama pemekaran Sulsel menjadi Sulbar dan konsep wacana ini bermula di Tinambung.Ini adalah rancangan yang pemecahan dari kabupaten Polman sebagai salah satu dasar Balanipa adalah pusat pederasi kerajaan yang ada di Mandar yang ada di Pitu Ulunna Salu Pitu Ba’bana Binanga dan Arrua Tapparittinna Uwai paku sampai suremana yang sekarang adalah wilayah Sulawesi Barat yang kini hanya sekelumit kecamatan Balanipa saja.

Umber : http://suryabalanipamandar.blogspot.com/
Like This Article ?
Comments
0 Comments

0 komentar

 
 
Copyright © 2013 MANDAR LUYO - All Rights Reserved
Status Panel Admin
Jam Sekarang
Tanggal
Salam Sapa :
Status Admin :
User :
Free Backlinks