Suku Bugis Memanusiakan Tamu dengan Tiga Lembar Sarung
Sarung dan orang Bugis, sebuah keniscayaan yang hakiki. Pada banyak tempat, orang yang senantiasa memakai atau memakai sarung pasti selalu diidentikkan dengan orang Sulawesi. Kata Sulawesi mewakili suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Tolotang, Kajang serta beberapa sub etnis lainnya di Sulawesi Selatan, berikut suku dan etnis di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Gorongtalo.
Memakai sarung memang identik dengan mereka, hampir semua aspek kehidupan dan aktifitas keseharian mereka lekat dengan sarung. Sarung dapat mereka pakai untuk acara resmi, semi resmi dan tidak resmi. Sarung dapat mereka pakai di dalam rumah, di luar rumah hingga di tempat umum. Sarung dapat juga mereka pakai untuk tidur, makan, bekerja di ladang, menggarap sawah, beribadah hingga bersenggama.
Seorang rekan penghuni asrama mahasiswa di Yogyakarta lebih memilih memakai sarung untuk mengeringkan badannya setelah mandi dibanding memakai handuk. Baginya dengan memakai sarung, maka “ritual” mandinya terasa lebih sempurna, betul-betul terasa telah mandi karena lembabnya kain sarung akibat resapan air mandi dalam sarung itu membuat kulitnya terus basah. Beda jika memakai handuk, dengan cara melapkan kesukujur tubuh, sehingga air mandi langsung hilang, dan kulitpun kembali kering.
Rekan lainnya yang berjenis kelamin perempuan bertutur, ia lebih merasa lebih aman jika mandi dengan berbalut kain sarung ditubuhnya, dibanding hanya menutupi bagian vitalnya dengan pakaian dalam apalagi tampa penutup sama sekali. Tidak hanya jika ia mandi di tempat terbuka, melainkan juga jika ia dalam kamar mandi sekalipun, meski kamar mandi itu berada dalam kamar pribadinya.
Seorang rekan perempuan lainnya yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Malang, sebut saja Ike. Saat berkunjung ke Bumi Galesong (Takalar) tahun lalu, ia mengaku terkaget-kaget dengan sambutan tuan rumah. Setelah ia diantar memasuki kamar istirahatnya, tak selang lima menit tuan rumah kembali datang menyodorkan tiga lembar sarung untuknya.
Gamang. Itulah yang dirasakannya saat itu, selain tidak terbiasa memakai sarung, sodoran tiga lembar sarung itu makin membuatnya mati kata. Gamang karena tidak tahu untuk apa sarung sebanyak itu. Ia mati kata, karena enggan bertanya pada tuan rumah, lidahnya keluh.
Melihat latar belakang Ike yang berdarah Maluku dan besar di Malang, maka wajar jika ia gamang. Menjadi tidak wajar jika yang gamang adalah orang Bugis sendiri baik itu yang telah merantau ataupun yang masih berkalang di tanah Sulawesi. Golongan yang disebut terakhir ini semoga tidak terlalu banyak jumlahnya.
Tiga lembar sarung yang disodorkan kepada para tetamu memiliki perbedaan baik dari segi bahan, ukuran dan peruntukan. Tiga sarung tersebut masing-masing sarung untuk tidur, sarung untuk mandi dan sarung untuk shalat (bagi tamu muslim). Sarung ketiga ditambahkan untuk melengkapi 2 jenis sarung sebelumnya seiring dengan diterapkan hukum syariat Islam sebagai bagian dari Pangaderengmasyarakat Bugis (Makassar: Pagadakkang), melengkapi empat komponen hukum adat sebelumnya yakni; adeq, bicara, wari dan rapang.
Sarung tidur (Lipa Tinro), merupakan sarung wajib dan menjadi prioritas utama untuk disodorkan oleh tuan rumah. Sarung ini biasanya berbahan (dominan) benang katun, sehingga kainnya luwes dan dapat dengan mudah melekat jatuh pada bentuk tubuh pemakainya. Motifnya sederhana hanya berupa permainan warna, corak atau berupa motif tumbuhan yang dibuat dengan tehnik cap, batik atau sablon. Sarung ini biasanya bukan hasil tenunan melainkan sarung tekstil (buatan pabrik).
Sarung mandi (Lipa Cemme), memiliki bahan, corak dan motif yang relatif sama dengan sarung tidur. Perbedaan terletak pada warna tampilan yang terlihat lebih kusam dibanding sarung lainnya. Warna kusam yang tampak adalah efek dari seringnya sarung ini dibasahi atau dicuci setiap kali sarung ini dipakai mandi oleh pemakainya. Adakalanya, sarung mandi tidak disodorkan bersamaan dengan dua sarung lainnya, biasanya tuan rumah sudah menempatkan sarung mandi ini didalam kamar mandi, terutama jika kamar mandi tersebut berada dalam ruang tidur tadi (kamar mandi dalam).
Sarung shalat (Lipa Sempajang) adalah satu-satunya sarung yang memiliki bahan, corak dan motif yang biasanya berbeda dengan dua sarung sebelumnya. Kebanyakan sarung ini terbuat dari benang katun dengan tambahan benang plastik sintetis berwarna (Bugis : Gengang) sebagai komponen utama yang memunculkan corak dan motif pada sarung tersebut. Adakalanya pula terbuat dari bahan benang sutera, untuk bahan sutera masih menajadi bahan perdebatan di masyarakat Bugis sendiri. Ajaran agama Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Bugis masih menempatkan keberadaan sarung sutera sebagai persoalan mutasyabihat, ada yang mengharamkan ada yang menghalalkan adapula yang memberi hukum jaiz. Bagi tuan rumah yang mampu, biasanya sarung shalat yang disodorkan adalah hasil tenunan. Bagi yang lain cukup dengan sarung pabrikan, tetapi yang masih baru atau relatif baru.
Diluar tiga sarung tersebut, boleh jadi dalam ruang tidur tamu terdapat tambahan satu sarung lagi. Sarung tersebut adalah sarung senggama. Hanya Anda yang memenuhi syarat berikut yang bisa memakai sarung tersebut. Syarat tersebut adalah; Anda sudah menikah, Anda mampu menahan malu untuk melakukan ritual suami istri tersebut di rumah orang lain dan terakhir Anda harus membawa sendiri sarung tersebut. Lebih lengkap tentang sarung senggama (red). Jika Anda adalah tamu yang tahu diri, maka hindari dan tahanlah untuk melakukan ritual tersebut di rumah orang lain.
Tiga lembar sarung yang disodorkan pada setiap tamu bagi orang Bugis menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk penghormatan dan memanusiakan tamu.
Siri na pessé (Bugis) adalah sebuah konsep yang sangat menentukan dalam identitas orang Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Konsep siri’ mengacu pada perasaan malu dan harga diri sedangkan pessé mengacu pada suatu kesadaran dan perasaan empati terhadap penderitaan yang dirasakan oleh setiap anggota masyarakat.
1. Sekapur Sirih
Bangsa Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya dikenal sebagai penganut adat-istiadat yang kuat. Meskipun telah berkali-kali menemui tantangan berat yang ada kalanya hampir menggoyahkan kedudukannya dalam kehidupan dan pikiran mereka, namun pada akhirnya adat-istiadat tersebut tetap hidup dan bahkan kedudukannya makin kukuh dalam masyarakat hingga kini
Keseluruhan sistem dan norma serta aturan-aturan adat tersebut dikenal dengan pangngadereng yang meliputi lima unsur pokok, yaitu ade’, bicara, rapang, wari, dan sara’. Unsur yang disebutkan terakhir ini berasal dari ajaran Islam, yaitu hukum syariah Islam. Kelima unsur pokok tersebut terjalin antara satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan organik dalam alam pikiran bangsa Bugis, yang memberi dasar sentimen dan rasa harga diri yang semuanya terkandung dalam konsep siri’. Hal ini tercakup dalam sebuah ungkapan dikalangan Bugis yang mengatakan “utettong ri ade’é najagainnami siri-ku”, artinya, saya taat kepada adat demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya.
Ungkapan di atas memiliki makna yang sangat dalam dikalangan Bugis. Dengan melaksanakan pangngadereng, berarti seorang Bugis sedang berusaha mencapai martabat hidup yang disebut dengan siri’. Menurut Mattulada (1985:108), siri’ inilah yang mendorong orang Bugis sangat patuh terhadap pangngadereng karena siri pada sebagian besar unsurnya dibangun oleh perasaan halus, emosi, dan sebagainya. Dari sinilah timbul berbagai penafsiran atas makna siri’ seperti malu-malu, malu, hina atau aib, iri hati, dan harga diri atau kehormatan.
Siri’ dalam pengertian orang Bugis adalah menyangkut segala sesuatu yang paling peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Siri’ bukan hanya berarti rasa malu seperti yang umumnya terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat suku lain. Istilah malu di sini menyangkut unsur yang hakiki dalam diri manusia Bugis yang telah dipelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini dan apa arti harga diri bagi seorang manusia (Abdullah, 1985:40-41). Begitu pentingnya siri’ dalam kehidupan orang Bugis sehingga mereka beranggapan bahwa tujuan manusia hidup di dunia ini adalah hanya untuk menegakkan dan menjaga siri’.
Pada hakikatnya budaya siri adalah produk kecerdasan lokal untuk membangun kembali tatanan sosial orang Bugis di masa lalu yang kacau balau. Secara historis, kondisi tersebut digambarkan dalam kronik-kronik Bugis dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia pada masa itu bagaikan kehidupan ikan di laut, yang besar memangsa yang kecil atau disebut dengan sianrè balè tauwè.
Bangsa Bugis juga mempunyai sebuah konsep lain yang disebut Pessé, yaitu semacam perangsang untuk meningkatkan perasaan setia kawan yang di kalangan mereka. Pessé adalah suatu perasaan ikut menanggung dan berbelas kasihan terhadap penderitaan setiap anggota kelompoknya, termasuk orang yang telah dibuat malu. Oleh karena itu, konsep pessé ini akan menjadi suatu sarana untuk memulihkan harga diri orang yang telah dibuat malu.
Konsep siri’ dan pessé hingga kini terus memberi pengaruh terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan orang Bugis. Situasi siri’ akan muncul ketika seseorang ri pakasiri’ atau dibuat malu karena kedudukan sosialnya dalam masyarakat atau rasa harga diri dan kehormatannya dicemarkan oleh pihak lain secara terbuka. Jika hal ini terjadi, maka orang yang ri pakasiri’ dituntut oleh adat untuk mengambil tindakan untuk menebus atau memulihkan harga dirinya di matanya sendiri maupun di mata masyarakat, yaitu dengan cara menyingkirkan penyebab malu tersebut.
Orang yang ri pakasiri (dibuat malu) tetapi tidak mampu melakukan pemulihan terhadap harga dirinya yang tercemar akan dipandang hina dan dikucilkan oleh masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka bagi orang itu pembuangan dianggap lebih baik daripada dikucilkan di tengah-tengah masyarakat. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya orang Bugis pergi merantau atau meninggalkan kampung halamannya karena tidak sanggup menanggung rasa malu di mata masyarakatnya. Berbagai pendapat, bahwa perkawinan adalah realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri ini. Jika pinangan seseorang ditolak, maka pihak peminang bisa merasa mate siri (kehilangan kehormatan) sehingga terpaksa menempuh siliriang (kawin lari). Tindakan ini merupakan perbuatan melanggar adat sehingga seluruh pihak keluarga laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri’ keluarga.
Orang yang ri pikasiri’ dapat melakukan jallo (amuk), yaitu membunuh siapa saja, bahkan orang yang tidak terlibat dalam masalah itu pun dapat menjadi sasaran amukannya. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal yang cukup ekstrem. Namun, sejak terintegrasikannya agama Islam ke dalam sistem pangngadereng bangsa Bugis, penebusan-penebusan siri berupa pembalasan dan penganiayaan tanpa pertimbangan kemanusiaan mulai berubah. Dengan kata lain, penebusan siri yang sering dianggap orang melampui batas tersebut menjadi lebih terarah penerapannya sejak kedatangan agama Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan maksiat seperti membunuh. Namun, jika terjadi kasus yang menyebabkan harga diri seseorang diinjak-injak, maka kasus tersebut diserahkan kepada pihak yang berwewenang, seperti lembaga adat atau pihak kepolisian.
2. Konsep Siri’
Siri adalah suatu hal yang abstrak dan berada di alam pikiran manusia Bugis. Pengertiannya hanya dapat diketahui melalui pengamatan dan observasi dengan melihat akibat konkret yang ditimbulkannya, yaitu berupa tindakan-tindakan. Oleh sebab itu terkandung pengertian-pengertian tertentu yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan masyarakat dalam kata siri’ ini. Para peneliti terdahulu telah mengkaji mengenai pengertian siri secara leksikal maupun pengertiannya secara luas menurut sudut pandang mereka masing-masing.
Batasan pengertian kata siri’ sebagai berikut:
1. Siri’ berarti malu, isin (Jawa), atau shame (Inggris).
2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang dapat menyinggung perasaan atau harga diri seseorang.
3. Siri’ juga merupakan daya pendorong yang dapat ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang dan bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau usaha.
4. Siri merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat.
5. Siri’ sebagai perasaan malu yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilanggar norma adatnya .
Selain pendapat para peneliti, berbagai ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusasteraan, paseng (nasehat), dan amanat-amanat dari leluhur dapat dijadikan petunjuk untuk memahami tentang pengertian siri’.Seperti ungkapan berikut:
a. Siriemmi ri onroang di lino, artinya hanya untuk siri-lah kita hidup di dunia ini. Pengertian siri’ dalam ungkapan ini merupakan hal yang memberikan identitas sosial dan martabat kepada seseorang. Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya terdapat martabat atau harga diri.
Dalam kehidupan bangsa Bugis, siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini selain daripada siri’. Bagi manusia Bugis, siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Oleh sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri yang tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka.”
b. Mate ri sirina, artinya mati dalam siri atau mati karena mempertahankan harga diri. Mati dalam keadaan demikian dianggap mati terpuji atau terhormat. Dalam bahasa Bugis ada juga ungkapan mate rigollai, mate risantangi, yaitu menjalani kematian yang bergula dan bersantan, atau dengan kata lain menjalani kematian yang manis.
c. Mate siri, artinya orang yang sudah hilang harga dirinya tak lebih dari bangkai hidup. Agar tidak dianggap sebagai bangkai hidup, maka orang Bugis merasa dituntut untuk melakukan penegakan siri walaupun nyawanya sendiri terancam. Menurut mereka, lebih baik mati ri risi-na daripada mate siri, artinya lebih baik mati karena mempertahankan harga diri daripada hidup tanpa harga diri.
Pengertian–pengertian siri di atas memperlihatkan bahwa keberadaan konsep siri dalam kehidupan bangsa Bugis dapat juga menjadi pemutus tali kekeluargaan dan persaudaraan di antara mereka. Namun, dalam realitas sosial, keadaan demikian tidak terjadi karena dapat dinetralisir oleh keberadaan sebuah konsep yang disebut dengan pessé. Secara leksikal, pessé berarti pedis atau perih, sedangkan pessé dalam pengertian luas mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial.
Pessé melambangkan solidaritas bukan hanya pada seseorang yang telah dipermalukan tetapi juga siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. Jadi, rasa saling pessé antaranggota sebuah kelompok adalah kekuatan pemersatu yang penting. Oleh sebab itu, ada pepatah orang Bugis yang mengatakan “iya sempugi’ku, rekkua de-na sirina, engka messa pesséna”, artinya “kalaupun saudaraku sesama Bugis tidak lagi menaruh siri’ atasku, paling tidak dia pasti menyisakan pessé”. Dengan demikian, antara siri’ dan pessé harus tetap ada keseimbangan agar bisa saling menetralisir keadaan-keadaan ekstrem yang dapat menjadi pemecah-belah persatuan dan kesatuan komunitas bangsa Bugis.
Peristiwa siri yang muncul dalam diri orang Bugis sebenarnya berasal dari aspek pangngadereng itu sendiri. Oleh karena itu, pemulihan siri tersebut dapat ditempuh melalui nilai-nilai pangngadereng juga. seperti ungkapan berikut:
1. Ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan (pergaulan hidup): (a) kasih sayang dalam keluarga, (b) saling memaafkan yang kekal, (c) tak segan saling memberi pertolongan/pengorbanan demi keluhuran, (d) saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan.
2. Bukankah dengan demikian berarti ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran, dan adanya wari buat mengingati perbuatan kebajikan?”
Tujuan hidup menurut pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan fitrah manusia guna mencapai martabatnya, yaitu siri. Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri, dan hidup tidak ada artinya bagi orang Bugis. Oleh karena itulah orang Bugis sangat patuh terhadap pangngadereng demi siri atau harga diri. Orang yang memiliki rasa siri yang tinggi berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku setiap individu harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian, berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini menunjukkan bahwa esensi siri’ hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan jujur, berani dan teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, konsep siri’ yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial,yaitu
a. Ketaatan kepada pangngadereng. Konsep siri merupakan tuntutan budaya terhadap setiap individu untuk mempertahankan kesucian pangngadereng sehingga keamanan, ketertiban, dan kesejahtaraan masyarakat tetap terjamin. Pangngadereng adalah sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib yang berfungsi sebagai kontrol sosial, baik bersifat preventif maupun represif, dalam mengatur seluruh tingkah laku manusia. Sebagai langkah preventif, dalam sistem ini diajarkan bagaimana manusia mengenal perbuatan yang baik dan buruk. Dengan demikian, seseorang yang akan berbuat sudah mengetahui akibat-akibat dari perbuatannya. Jika terjadi sebuah pelangggaran terhadap tata tertib masyarakat, maka sistem ini akan memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya kepada siapa pun pelakunya, termasuk penguasa.
Pangngadereng menunjung tinggi persamaan dan kebjiksanaan namun menolak segala bentuk kesewenang-wenangan, pemerkosaan, penindasan, dan kekerasan. Sistem pangngadereng mengandung esensi yang sangat bernilai bagi pendukungnya, yaitu menjunjung tinggi martabat manusia. Oleh karena itulah setiap individu dituntut untuk menjunjung tinggi dan menaati adat tata kelakuan atau sistem pangngadereng yang berlaku. Dengan melaksanakan pangngadereng, berarti seseorang telah berusaha mencapai martabat hidup yang disebut dengan siri.
b. Penegakan harga diri dan martabat. Siri pada diri manusia Bugis dapat muncul dari berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang lain yang dianggapnya tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan ikut merasa tersinggung dan melakukan pembalasan terhadap orang itu demi menegakkan harga diri keluarga. Salah satu realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri adalah perkawinan. Jika seseorang telah ri pakasiri’ atau dibuat malu karena anak gadisnya ilariang atau dibawa lari oleh seorang pemuda, maka seluruh pihak keluarga laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri’ keluarga.
c. Identitas sosial. Siri adalah unsur yang sangat prinsipil dalam diri orang Bugis. Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya terdapat martabat atau harga diri. Menurut mereka, tak ada satu nilai pun yang berharga untuk dibela dan wajib dipertahankan selain daripada siri’ karena hanya untuk siri’-lah kita hidup di bumi ini (siri’ emmi ri onroang ri lino). Ungkapan ini menjadi identitas sosial yang dianut secara bersama-sama oleh golongan-golongan tertentu dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
d. Tradisi merantau dan motivasi kerja keras. Keberadaan konsep siri dapat menjadi motif penggerak banyak orang Bugis pergi merantau. Seseorang yang tidak mampu melakukan pembelaan untuk menegakkan harga dirinya, maka ia akan dicap oleh masyarakat sebagai tau de’ gaga siri-na (pengecut, tidak terhormat, atau tidak memiliki harga diri). Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali meninggalkan kampung halamannya. Perantau yang berasal dari kelompok ini umumnya merupakan perantau abadi, artinya ia dan keluarganya tidak ingin kembali ke negeri asalnya.
Ada pula orang yang merantau terkait dengan masalah siri¸ yaitu para pemuda yang dibuat malu karena pinangannya ditolak akibat ketidamampuannya memenuhi mahar yang diminta oleh pihak keluarga perempuan. Dengan merantau, mereka akan berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya di perantauan, walau bagaimanapun keadaan yang dihadapinya. Mereka tidak akan mengeluh, memohon bantuan dan meratapi nasibnya sebagai perantau yang kalah dan cengeng dalam menghadapi berbagai tantangan berat. Mereka akan berusaha mencapai keberhasilan agar dapat memiliki kemampuan materi dan kemudian kembali ke negeri asalnya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemuda yang bertanggung jawab.
e. Kontrol sosial. Dalam realitas kehidupan orang Bugis, pengertian siri tidak melulu bersifat menentang dalam artian melakukan penebusan-penebusan demi tegaknya harga diri seseorang, tetapi siri’ juga dapat dimaknai sebagai perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan nasehat orang tua, suka mencuri dan merampok, tidak melaksanakan shalat, atau tidak tahu sopan santun juga dianggap sebagai orang yang kurang siri’-nya. Jadi, siri’ dapat menjadi sebuah kontrol sosial bagi setiap individu maupun masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pelanggaran-pelanggaran adat, hukum, maupun tata kesopanan dapat terjaga dengan baik.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Siri' yang dianut oleh orang Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun ketertiban, keharmonisan, dan keamanan kehidupan sosial sehingga harga diri dan martabat manusia menjadi bernilai. Hingga sekarang, konsep ini masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat Bugis sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-hari. Hanya saja, nilai-nilai yang terkandung di dalam konsep siri sudah mulai luntur. Nilai-nilai siri yang semestinya didasarkan pada “acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang SeuwaE” sudah banyak diabaikan oleh sebagian orang sehingga muncul berbagai multitafsir tentang mereka. Oleh karena itu, hendaknya pengertian siri tidak hanya dimaknai secara sempit sehingga dalam prakteknya tidak menyimpang dari makna yang sesungguhnya. Dengan demikian, tatanan kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi tertib, harmonis, dan aman.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bugis Makassar /
Sejarah dan budaya
dengan judul "Suku Bugis Memanusiakan Tamu Dengan Tiga Lembar Sarung". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2013/12/suku-bugis-memanusiakan-tamu-dengan_20.html.