Adat Budaya dalam Perkawinan Suku Bugis

Adat Budaya Perkawinan Suku Bugis

Hamidah (Antropologi)

A. Pendahuluan
         
  Kita sering diajarkan masalah kebudayaan yang diajarkan kepada kita ini telah membentuk suatu
keyakinan bahwa budaya itu merupakan aktivitas rutin yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia juga menjadi pedoman dalam tingkah laku, pandangan tentang adat budaya perkawinan suku bugis ini menyebabkan agar para peneliti merunut terus menggali adat istiadat yang ada didalamnya, karena itu semua berkelanjutan pada ekspresi simbolik baik antara individu dengan individu maupun pada kelompok.

            Terutama dan paling utama kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut, dan kita bisa melihat bagaimana proses pelaksanaan adat istiadat tersebut ini juga merupakan historis dari dahulu yang dilakukan nenek moyang kita dan diwariskan kepada anak cucunya agar bisa melanjutkan adat-adat tersebut.

            Di indonesia banyak sekali adat-istiadatnya karena di indonesia banyak sekali suku-suku. Sejak anak yang masih didalam kandungan saja sudah mempunyai upacara adat sampailah kepada kematian, upacara perkawinan diceritakan dari sejak orang tua pria meminang sampai dengan upacara mandi-mandi dengan banyaknya adat-istiadat ini, kita dapat mengetahui adat-istiadat yang lain di dalam adat bugis sangat banyak ritual yang harus kita lakukan.
            Makna dalam hal ini dibangun dan bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai, dan suatu kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing actor dengan tingkat jenjang yang sangat berbeda-beda kebudayaan pada saat ini sudah jarang dalam kehidupan masyarakat apalagi pada generasi muda dan bahkan jika ritual tidak dilakukan maka akan mendapatkan bala’, istilahnya mereka melakukan ritual tersebut untuk menghindar atau dijauhkan oleh bala’ yang tidak diinginkan.
            Di dalam melakukan ritual ini memakan waku yang cukup lama karena ini sudah aturannya dan tidak boleh dirubah lagi, disetiap komunitas pasti memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Di desa teluk Pak Kedai memiliki adat-istiadat perkawinan suku bugis yang sangat kental dan juga masih melakukan ritual dari nenek moyangnya, bahkan ia sangat menjaga dan melestarikan hingga sekarang, karena di desa tersebut orang tua-tua masih ada, di desa teluk Pak Kedai malah banyak melakukan perjodohan, tapi kalau kita teliti lebih lanjut di kota sudah tidak lagi system perjodohan tapi menggunakan system pacaran, karena remaja sekarang ini adalah remaja yang mempunyai keinginan dan pilihan sendiri ia tidak mau diatur oleh orang tuanya.
            Kalau adat-istiadat orang bugis ia tidak mau tidur dengan suaminya sebelum mencapai tujuh hari, apabila acara ritual sudah dilakukan maka sudah sah suami-istri, kalau orang bugis sangat banyak barang antaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan baik dari shalat hingga keperluan yang lainnya.
            Masyarakat suku bugis sangat kental sifat kebersamaan dan rasa solidaritasnya sangat kuat, apabila di suatu kampung ada yang melakukan acara perkawinan, maka semua masyarakat turun ikut andil agar acara tersebut berjalan dengan lancar tanpa ada halang rintangan. Didalam proses pelamaran hanya diwakili oleh orang-orang yang dituakan bukan orang tuanya, dan bahasanya aga’ sindiran misalnya perempuan di ibaratkan bunga yang mekar di taman dan laki-lakinya sabagai kumbang yang menghampiri bunga tersebut.
            Adat-istiadat didalam perkawinan ini sudah jarang dijumpai di perkotaan, karena kita sering mendengar dipedesaan saja bahkan dikampung pun sudah meminimalisirkan upacara-upacara yang dilakukan, adapun bila acaranya sudah selesai semua acara terakhir adalah Al-Barzanji, apabila ini sudah dilakukan berarti acaranya sudah selesai semua, istilahnya mengadakan acara keselamatan dan orang kampung pun ikut serta dalam acara Al-Barzanji tersebut.
            Di dalam suku bugis ada upacara kain sarung, yaitu mempelai cewek dan laki-laki disatukan dalam satu sarung yaitu proses mempertemukan kedua mempelai untuk pertama kali sebelum disanding dipelaminan.
            Salah satu orang yang dituakan itulah yang memimpin acara tersebut. Adat-istiadat yang khusus dan yang harus dilakukan ialah madduta (melamar) merola (Pulang kerumah pihak laki-laki) disini yang menjadi propokator utama dalam mempersiapkan acara-acara adalah pihak laki-laki, baik itu memanggil, perlengkapan dan yang lainnya karena kalau di kampung itu tidak menggunakan undangan tetapi hanya menggunakan memanggil ke rumah-rumah masyarakat atau biasa disebut dengan (maddupa).
B. Tradisi Bugis
            Tradisi adat bugis sebelum proses perkawinan itu sangat banyak sekali adatnya, salah satunya harus ada proses yang biasa disebut madduta (melamar) awal mulanya sehabis shalat Isya sudah ramai tamu berkumpul dirumah fuang (kakek) ada Daeng side iskandar dan lainnya, malam itu mereka akan berkunjung kerumah Ambo tentri atas dari utusan fuang, untuk meminang putri beliau, lalu perwakilan dari pihak laki-laki berangkat menuju kerumah mempelai.
            Setelah rombongan tiba dirumah calon wanita, tuan rumah pun mempersilakan untuk masuk dan duduk bersila diatas tikar permadani lalu Daeng side yang diutus oleh fuang sebagai perwakilan dari pihak laki-laki untuk menanyakan apakah kembang ditaman sudah ada yang memetiknya? Lalu ayah dari mempelai istri pun menjawab “memang sudah banyak kembang yang kami tunjukkan pada anak kami, namun belumlah ia berkenan untuk menggapainya” lalu Daeng side berkata” kalaulah Pak Ambo berkenan putra fuang yang yang berkenaan untuk memetik kembang itu.
            Keadaan hening sejenak, lalu Ambo tenri berkata sebenarnya kembang kami belumlah ada yang memetik dan belum mekar masih perlu dipupuk dan disiram, tapi kalau si penyiram orangnya bijaksana, Insya Allah kembang itu akan mekar mewangi, jawab Ambo tentri, kalau begitu permintaan Pak Ambo, Insya Allah anak kami akan berusaha segenap tenaga untuk merawatnya.
            Adat yang kedua yaitu mempenre doi’ (mengantar uang) setelah proses pelamaran acara selanjutnya ialah mengantar uang. Adapun barang antaran itu terdiri dari seperangkat perhiasan Emas yang terdiri dari kalung, gelang, cincin dan uang tunai dan jumlahnya biasanya ganjil-ganjil misalnya Rp: 5.175.325,- tergantung dari bulan, tahun, dan tanggal pernikahan. Pakaiannya biasanya kain tenun selendang dan bahan baju, semua barang-barang ini dipersembahkan untuk calon istri dari calon suami.
            Calon mempelai laki-laki kedua orang tuanya tidak ikut serta “Ia hanya diwakilkan kepada seorang juru bicaranya” Assalamualaikum kata Daeng side, lalu dijawab oleh tuan rumah waalaikum salam dengan serempak.
            Barang-barang antaran diletakkan berjejer diruang tengah tamu undangan duduk bersandar pada kedua belah dinding, ruang sambil berbincang-bincang menunggu penyerahan dimulai.
            Daeng side kemudian mulai membuka pembicaraan setelah tamu-tamu telah duduk. Lalu Daeng side memulai untuk bicara “terlebih dahulu marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt atas Nikmatnya dan karunianya terutama nikmat Islam dan Nikmat Iman. Salam takzim dikirimkaan fuang lalu pada Bapak Ambo tentri keluarga beliau berhalangan hadir maka dalam acara penyerahan antaran ini diserahkan kepada saya.
            Barang antaran itu dapat kita saksikan bersama yang ada dihadapan kita, nanti akan kami serahkan daftarnya saja. Antaran yang kami serahkan ini tidaklah seberapa nilainya, namun itu merupakan satu tanda ikatan kasih sayang antara anak dengan calon istrinya anak kami Fatima, dengan harapan semoga dapat diterima dengan senang hati sebagai tanda ikatan kasih sayang.
            Barang antaran kemudian di bawa masuk ke dalam hidangan berupa sup kentang dihidangkan oleh pelanggan, sirih pinang biasanya dibagikan untuk perempuan dengan harapan semoga mendapat berkah bagi yang punya anak gadis semoga dapat jodoh.
            Ceper yang tadi berisi barang biasanya dibalas dengan di isi kue-kue bugis untuk calon mempelai laki-laki di berikan seperangkat pakaian seperti jas, kain sarung dan peci disebut Faduppa “Setelah selesai mengantar uang asap kesibukan semakin nampak di kedua belah pihak, pihak laki-laki mempersiapkan tukang arak pengantin yang terdiri dari 6 sampai 7 orang yang ahli dalam menabur beras.
            Bunga telur dibuat dari kertas warna yang terdiri dari berbagai macam warna, ada hijau, kuning, dan merah, bunga diukir berbentuk empat pesegi atau motif lainnya. Telur direbus dan diberi warna merah atau kuning, kemudian ditusuk dengan belahan kecil dari bambu dan diujungnya diberi putik pinang dan untuk menjaga agar bunga dan telur tidak terlepas dari tusukan tadi.
            Setelah siap segalanya, mempelai laki-laki pada malam hari maka keesokan harinya datang malam ke tempat mempelai wanita kedatangannya untuk memasang pacar dikuku atau menre’ meppaci-pacci. Sebelum menggunakan pacar kuku keduanya disuapkan ketam yang sudah dimasak dan empat warna.
            Ada warna hitam, merah, kuning dan putih, istilahnya manre dewata setelah selesai acara selanjutnya kedua mempelai masuk ke dalam kain tenun diletakkan, kemudian berlomba keluar dari sarung tadi, biasanya dilakukan sampai tiga kali.
            Daun pacar yang sudah ditumbuk halus disodorkan pada ibu tadi dengan cetakan jari-jari tangan kedua mempelai dibalut dengan pacar sehingga tidak kelihatan lagi kuku tangan dan kuku kaki setelah selesai berinai atau meppaci-pacci, malam itu tidak ada lagi acara. Rombongan mempelai kembali ke rumahnya, karena besok harus hadir lagi sebagai puncak acara atau hari maka dalam bahasa bugis essa matang, setelah melakukan megattung-gattung atau menggantung alat-alat.
            Kamar mempelai seperti biasa dihiasi sedemikian rupa agar menyenangkan baik dekorasi maupun cat, Adat bugis tempat tidur bukan seprti kebanyakan dikota, tapi dibuat seperti pentas namanya pundai, pundai ini diukir sedemikian indah oleh pemahat yang terampil dengan hiasan kaca yang beraneka warna.
            Adapun kelambu yang digunakan berukuran empat persegi panjang ditepinya dipasangkan reng empat buah dan pada waktu yang akan dipasang diadakan lagi acara adat-istiadat yang disebut maggattung lalu dimasukkan tali dan dikerek keatas.
            Kue-kue terbuat dari beras ketan dicampur parut kelapa dan gula-gula merah siap dipiring kue tersebut dinamakan dalam bahasa bugis ialah lana-lana, sebelum kelambu dipasang kue lana-lana disuapkan kepada calon istri, sebagai tanda mulainya, dengan sempurna kelambu dipasang, kemudian diikat dengan kokoh beras ketan pun dilambangkan sebagai kelengketan antara mempelai. Jangan sampai keduanya berpisah (bercerai) gula sebagai pemain kata sejoli dan kelapa pelambang kesuburan agar kelak hidup berkecukupan, selesai acara tersebut Ambo tenri membaca doa selamat.
            Setelah selesai acara selanjutnya adalah mendirikan tarub (memasang tenda) pelaksanaan pernikahan tinggal beberapa hari lagi. Keluarga kedua belah pihak telah berkumpul untuk membantu-bantu. Ayo tancapkan lagi tiang yang satu itu tinggal lima tiang lagi yang belum ditancap, baiklah kata warga setempat.
            Memang kebiasaan masyarakat kampung, kalau ada acara pasti semua ikut membantu selalu bergotong-royong dalam mendirikan tarub setelah acara selesai tarub atau tenda itu di bongkar kembali.
            Ibu-ibu sibuk untuk menyiapkan makan siang bagi para pekerja dan keluarga yang telah beberapa hari datang menginap di rumah Ambo Tenri, calon mempelai wanita tidak boleh lagi keluar ia harus dibuatkan kamar khusus, makanan semua diantarkan, kalau mau kebelakang harus tunggu malam hari jika orang sudah sepi karena itu sudah merupakan adat-adatnya malam harinya biasanya calon mempelai bertangas untuk mencegah bau keringat.

            Pekerjaan pun tak  henti-hentinya dan terus bersemangat, Imran sambil  beranjak mengambil daun nipah yang tersusun dipinggir parit, karena kerjanya bersifat gotong royong hanya dalam waktu singkat telah berdiri sebuah tarub atau sebuah tenda.

            Ambo tenri bisa saja menyewa tenda, tapi karena sudah adat yang telah membudaya, mereka tetap mempergunakan tarub, yang terbuat dari batang pinang dan beratap daun nipah yang didirikan secara gotong royong penuh persahabatan dan kekeluargaan karena sudah menjadi tradisi warga setempat.

            Esso matang (atau hari besarnya) perkawinan suku bugis yang mengantar mempelai laki-laki terdiri dari kaum laki-laki dan kaum remaja orang tua mempelai laki-laki biasanya tidak ikut serta cukup diwakilkan saja, ia akan berkunjung kerumah besannya nanti malam yang disebut mappemeco atau jamu baisan.

            Dengan menghamburkan beras kuning, mempelai yang berpakaian berkebesaran yaitu igal dan jubah panjang berdiri mendatangi kedua orang tuanya sambil bersimpuh mencium tangannya, calon suami pun sujud keharibaan orang tuanya.

            Setelah siap segala sesuatunya dengan membentuk barisan panjang di barisan depan mempelai yang didampingi tukang payung, kemudian yang membawa mahar, kembang telur dan manggar, barulah kaum ibu disebut “fada” barulah kemudian bapak-bapak dan pengiring lainnya memukul tar. Dengan membacakan shalawat atas junjungan Nabi besar Muhammad Saw sebanyak tiga kali, rombongan bergerak perlahan-lahan.

            Sesampai rombongan tidak langsung naik tetapi berdiri sebentar dimuka tangga dua orang nenek menghamburkan beras kuning kepada mempelai, sementara pemukul tak berhenti mengumandangkan pujiannya kepada Allah.

Dirumah wanita, rombongan disambut dengan musik tanjidor ada enam orang sebagai penyambut tamu, terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan setengah baya. Kembang manggar di tancapkan dikiri, kanan tangga sedangkan kembang telur dibawa masuk ke ruang tengah.

            Assalamualaikum jawab Tuan Rumah dengan serempak, penyambut tamu mempelai menuju ke ruang tengah dan duduk disamping pelaminan yang masuk ke ruang utama adalah pihak laki-laki dan beberapa orang tua dari pihak mempelai perempuan , bagi ibu-ibu atau “fada” tempatnya terpisah, mereka khusus menempati ruang bagian utama dalam.

            Sementara menunggu acara ijab kabul tanjidorpun tak henti-hentinya mengumandangkan lagu, melayu arab, dan yang utamanya lagu bugis acaranya pun dimulai, Pak Ambo, siapa Tanya petugas KUA dari pihak kami Bapak H. Agani kata Ambo tentri, lalu dari pihak laki-laki Pak Bakran, kata Daeng side, setelah itu kedua saksi mendatangi kedua lembar kertas tersebut, setelah selesai menandatangani, petugas minta agar mempelai maju mendekat karena acara ijab kabul segera dimulai.

            Semua kegiatan berhenti sejenak tanjidor pun tidak lagi terdengar demikian juga suara hiruk lainnya. Acara yang di laksanakan adalah acara yang sakral, yang bertindak untuk menjadi wali calon istri ayahnya Ambo tentri.

            Lalu Ambo tentri memegang tangannya seperti orang bersalaman kemudian dengan suara lantang ia berkata “Ya anaknda kunikahkan engkau dengan anak kandungku bernama Fatima dengan mas kawin sebentuk cincin mas, tunai, jawab calon suami tersebut kedua saksipun manggut-manggut menandakan akad nikahnya sudah selesai tidak perlu diulangi lagi.

C. Tradisi Perkawinan

            Banyak terjadi dalam masyarakat orang Bugis peristiwa bunuh-membunuh dengan Jallo atau brontak dengan latar belakang “siri” atau, secara lahir sering tampak seolah-olah orang Bugis makassar itu merasa “siri” sehingga rela membunuh atau dibunuh karena alasan-alasan yang sangat sepele atau biasa terjadi apabila ada pelanggaran adat perkawinan, dalam perkawinan Bugis, perkawinan merupakan pala’ saling mengambil satu sama lainnya, jadi perkawinan adalah ikatan timbal balik.

            Walaupun keduanya dari status dan kalangan yang berbeda setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra, hanya saja perkawinan bukan sekedar penyatuan dan persekutuan dari dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya, dengan maksud saling mempereratkan (mappasideppe mebela-e).

            Perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi bukan orang lain (tennia tau laeng). Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.

            Idealnya perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri, perkawinan antar sepupu, sepupu parallel keduanya melalalui sisi Ibu atau melalui sisi Bapak) ataupun sepupu silang yaitu dari sisi Ibu dan dari Ayah dan dianggap sebagai perjodohan yang terbaik.

            Ada juga yang mengatakan bahwa, jika perkawinan pada sepupu sekali maka akan terasa “terlalu panas” (siala merola), sehingga perkawinan seperti ini jarang terjadi kecuali bagi kaum bangsawan, dan yang lebih disukai bagi masyarakat Bugis perkawinan antara sepupu dua kali dan sepupu tiga kali.

            Dengan syarat, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari generasi atau angkatan yang berbeda pasangan yang hendak menikah, sebaiknya berasal dari generasi atau angkatan yang sama dalam proses perkawinan pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan yang pertama sumpa (persembahan) yang kedua dui menepe’ atau uang antaran.

D. Pandangan Masyarakat Terhadap Budaya tersebut

            Bagi masyakat dipedesaan ritual seperti ini sudah lumrah bahkan saat sekarang ini tradisi di dalam perkawinan masih juga dilakukan, dan sangat membingungkan bagi masyarakat dikota, karena dikota hal seperti ini jarang sekali kita jumpai, hal itu ada jika ada orang pedesaaan yang urbanisasi ke kota, jadi tradisi kampung masih dilakukannya.

Ritual-ritual seperti ini ada yang beranggapan bahwa seperti itu tidak dilakukan, karena ada kalangan masyarakat yang telah memahami kebudayaan yang lebih dalam ia tidak mau melakukan hal-hal seperti itu.

            Kebudayaan dapat terjadi, dikarenakan adanya masyarakat tanpa masyarakat kebudayaan pun tidak bisa terjadi dizaman sekarang in sudah banyak kebudayan versi barat yang masuk

E. Penutup

Kesimpulan:

            Tradisi budaya perkawinan suku bugis mengangkat beberapa hal seperti: Madduta (melamar) mendirikan tarub (memasang tenda) magattung-gattung (menggantung-gantung) mempenre doi sumpa (mengantar uang ) mepacci-paci (memakai pacar kuku/ inai) merolah (pulang kerumah mempelai laki-laki) esso matang (puncak acara) ini semua dilakukan pada saat perkawinan orang-orang suku bugis.

            Didalam upacara-upacara yang dilakukan kita dapat menyimpulkan bahwa sifat solidaritas masyarakat sangat tinggi ia saling bahu-membahu dalam bekerja dan saling bergotong-royong dalam membangun hal apapun.

            Dikampung sifat kekeluargaan sangat erat sekali, bila dibandingkan dengan masyarakat kota, dikota sudah minim sekali sifat kekeluargaannya, ini dipengaruhi oleh masyarakatnya sendiri tidak bisa membangun dan menggoyangkan hati penduduknya.

Saran:
            Bagi para pembaca sudihlah kiranya untuk mengkritik tulisan-tulisan kritik-kritik yang membangun, agar untuk kedepan bisa menjadi penulis yang baik, akurat dan terpercaya. Bagi kaum remaja sebaiknya melestarikan budaya leluhur kita, jangan sampai diabaikan karena budaya asing selalu menggoyang hati kita yang tak menentu.

Sumber : http://gitalara.blogspot.com/2013/08/adat-budaya-perkawinan-bugis.html

http://luyokita.blogspot.com/

Like This Article ?
Comments
0 Comments

0 komentar

 
 
Copyright © 2013 MANDAR LUYO - All Rights Reserved
Status Panel Admin
Jam Sekarang
Tanggal
Salam Sapa :
Status Admin :
User :
Free Backlinks