ACARA MAPPACCI
Sebagai rangkaian suatu perkawinan, mappacci memiliki makna simbolik yaitu pembersihan diri atau mensucikan diri dari berbagai hal yang buruk sebelum memasuki acara perkawinan. Oleh karena itu, acara ini dianggap suatu hal yang sangat penting yang harus dilalui oleh baik calon mempelai laki-laki maupun calon mempelai perempuan.
Mappacci berasal dari kata “pacci” daun pacar atau inai (Latin ; Lowsonia inermis) yaitu semacam tumbuhan yang oleh orang Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk orang Mandar di Sulawesi Barat, biasa digunakan sebagai bélo kanuku (pemerah kuku) terutama pada saat memasuki bulan Ramadhan. Kemudian dari kata “pacci” tersebut dikonotasikan dengan kata “paccing” yang artinya bersih atau suci. Dengan demikian, acara mappacci memiliki makna simbolik yaitu kebersihan atau kesucian sebagai suatu unsur yang sangat diperlukan bagi calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan sebelum memasuki acara puncak dari prosesi perkawinan, atau sebelum keduanya resmi menjadi suami isteri.
Acara mappacci disebut juga tudampenni (duduk malam) karena dilaksanakan pada malam hari di rumah masing-masing calon mempelai. Acara ini dilaksanakan sebelum resepsi pernikahan (tudabbotting) pada malam berikutnya. Biasanya acara mapppacci hanya dihadiri oleh keluarga dekat, kerabat dan tetangga kedua calon mempelai.
Sebelum acara mappacci atau tudampenni dilaksanakan, pihak keluarga kedua calon mempelai melakukan kegiatan yang disebut mallékkek pacci (pengambilan daun pacci/pacar) pada sore harinya. Kalau calon mempelai tersebut adalah keturunan bangsawan, maka tempat untuk mallékkek pacci dilakukan di rumah pemangku adat dengan cara daun pacci yang dilékkek tersebut setelah diambil dari batangnya, dibawa ke rumah pemangku adat dan disitulah dilékkek. Sedangkan bagi calon mempelai dari orang kebanyakan (masyarakat biasa), maka tempat mallékkek pacci dilakukan di rumah kerabat terdekatnya saja.
Kalau calon mempelai berasal dari keturunan bangsawan, maka yang melakukan mallékkek pacci adalah keluarganya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat lengkap. Adapun iring-iringannya adalah sebagai berikut ;
1. Pembawa tombak satu orang
2. Pembawa tempat sirih satu orang
3. Pembawa bosara yang berisi kue-kue tradisional sekurang-kurangnya 2 orang
4. Pembawa daun pacci yang dinaungi dengan lelluk satu orang
5. Pembawa alat bunyi-bunyian seperti gendang, gong, anabbeccing dan lain-lain.
Sedangkan kalau calon mempelai tersebut berasal dari orang biasa (bukan bangsawan), maka yang melakukan acara mallékkek pacci cukup satu atau dua orang keluarga terdekatnya yang juga berpakaian adat lengkap. Mereka melakukannya di rumah kerabat mempelai atau langsung mengambil daun pacci tersebut pada pohonnya.
Dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar acara mappacci mengandung makna simbolik yakni suatu upaya pembersihan dan pensucian diri baik bagi calon mempelai laki-laki maupun bagi calon mempelai perempuan. Artinya, setelah melalui prosesi mappacci kedua calon mempelai dianggap telah bersih dan suci baik lahir maupun batin. Oleh karena itu, bagi calon mempelai yang berstatus janda atau duda tidak lagi melalui acara mappacci tersebut.
Seluruh perlengkapan acara mappacci dianggap memiliki makna simbolik yang diyakini dapat membawa berkah kepada kedua calon mempelai dalam melayarkan bakhtera rumah tangga yang mawaddah wa rakhmah. Misalnya. daun pacci yang mengandung makna kesucian dan kebersihan lahir batin. Begitu bermaknanya daun pacci bagi masyarakat Bugis sehingga dikenal ungkapan yang berbunyi ; “Duwami kuwala sappo – unganna panasaé – bélona kanukué” artinya ; “Hanya dua yang kujadikan pagar diri, bunga nangka dan hiasan kuku”. Bunga nangka dalam bahasa Bugis disebut lempu artinya jujur atau kejujuran, sedangkan hiasan kuku (daun pacci) yang dikonotasikan dengan kata paccing atinya suci atau bersih. Jadi makna ungkapan ini adalah hanya dua yang bisa dilakukan untuk mencapai kehidupan bahagia dan sejahtera yaitu kejujuran dan kesucian.
Adapun kelengkapan acara mappacci, adalah sebagai berikut ;
1. Daun pacci sebagai unsur utama, bermakna kesucian dan kebersihan diri bagi calon mempelai. Cara meletakkannya yaitu ; a) Cara pertama, daun pacci lengkap dengan tangkainya diletakkan didepan calon mempelai. Para pemberi pacci yang dipanggil memetik sendiri daun pacci dari tangkainya kemudian diberikan kepada calon mempelai. b) Cara kedua, daun pacci yang telah dipetik dari tangkainya ditumbuk halus dan disimpan dalam sebuah mangkuk putih dan para pemberi pacci mengambil sendiri dari mangkuk tersebut.
2. Bantal, sebagai alas kepala pada saat tidur mengandung makna kesuburan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Para keluarga kdua mempelai berharap agar setelah kedua mempelai resmi menjadi suami-isteri, dapat melayarkan bakhtera rumah tangganya dengan penuh ketenangan.
3. Sarung Bugis (lipak sabbé) sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis diatas bantal. Mengandung makna harga diri, karena sarung bagi masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar merupakan penutup aurat.
Tujuh lembar, mengandung makna kebenaran yaitu “tuju” dalam bahsa Bugis artinya benar, mattujui artinya berguna atau bermanfaat. Dari makna tersebut, para keluarga calon mempelai berharap agar setelah melangsungkan perkawinan, kedua calon mempelai berguna bagi dirinya sendiri ataupun bagi keluarganya.
4. Pucuk daun pisang diletakkan diatas bantal, bermakna kehidupan yang berkesinambungan, sebagaimana pohon pisang setiap saat terjadi pergantian daun. Disamping itu, pohon pisang tidak mengenal putus asa, artinya setiap ditebang, selalu saja muncul tunas baru.
5. Daun nangka (Bugis ; daun panasa) yang dihubung-hubungkan satu dengan lainnya sehingga terbentuk seperti tikar bundar. Diletakkan diatas sarung sutra tadi yang bermakna harapan atau cita-cita. Hal ini dihubungkan dengan kata “panasa” yang dikonotasikan dengan kata “ménasa” artinya harapan atau cita-cita. Artinya, kedua mempelai nantinya senantiasa memiliki pengharapan dan cita-cita dalam membina rumah tangganya.
6. Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat daun pacci. Benno memiliki makna agar kedua mempelai setelah membina rumah tangga yang bahagia, dapat berkembang dan berketurunan yang dilandasi cinta kasih dan kedamaian.
7. Pessek pelleng (lilin) yang merupakan alat penerang, diletakkan berdekatan tempat benno dan daun pacci. Makna yang dikandung adalah agar kedua mempelai dalam membina rumah tangga senantiasa mendapat petuunjuk dari Allah SWT.
8. Air yang ditaruh dalam sebuah mangkuk untuk mencuci tangan bagi pemberi pacci baik sebelum melakukan, maupun setelah melakukannya.
Setelah semua kelengkapan tersebut dipersiapkan, maka calon mempelai yang telah dirias sebagaimana layaknya pengantin, didudukkan diatas lamming (pelaminan). Calon mempelai didampingi oleh seorang “indok botting” bagi perempuan dan “ambok botting” bagi laki-laki menghadap ke bantal dengan segala kelengkapannya tadi. Kedua belah tangannya diletakkan diatas bantal dan menghadap keatas, sebagai tanda siap untuk menerima daun pacci dari para keluarga yang telah ditunjuk.
Nama-nama pemberi daun pacci biasanya dipilih dari pihak keluarga dekat mempelai yang dianggap layak. Biasanya mereka melakukan mappacci secara berpasangan (suami isteri) bagi yang sudah berkeluarga. Pada umumnya mereka dipanggil oleh pembawa acara dan dilékkek (dijemput) oleh satu atau dua orang pembawa lilin menuju ke tempat dimana calon mempelai duduk.
Dikutif dari buku ;
“Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone”
Karya Drs. Asmat Riady Lamallongeng
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bugis Makassar /
Sejarah dan budaya
dengan judul "Acara Mappacci ". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2014/08/acara-mappacci.html.