Oleh Drs. Asmat Riady Lamallongeng
Dibawakan pada Sosialisasi temuan arkeologi oleh Tim Arkeologi Nasional
di Hotel Wisata Watampone
Latar Belakang
Catatan lokal Sulawesi Selatan yang dikenal dengan sebutan lontarak cukup banyak menggambarkan keadaan dan pengalaman masyarakat masa lampau. Catatan yang banyak tersebut pada umumnya bercorak kronik ataupun surek bilang (catatan harian) seorang raja. Tradisi menulis kronik dan catatan harian ini tanpaknya terhenti setelah memasuki abad – XVII dan informasi kesejarahan pada priode selanjutnya dapat diketahui dari karya pejabat kolonial Belanda, dalam bentuk laporan perjalanan dan arsip dokumen pemerintahan. Tentang apa yang menyebabkan tradisi menulis kronik dan catatan harian tersebut tidak berlanjut, sampai kini masih merupakan pertanyaan yang belum menemukan jawaban yang memadai.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengungkapkan betapa tak ternilainya makna dan nilai budaya Bugis ditengah konfigurasi budaya bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan, kenegaraan termasuk kepemimpinan. Namun masih harus digali, dikaji melalui pendokumentasian, pengumpulan bukti-bukti arkeologi hingga penerbitan.
Khusus mengenai kerajaan Bone yang oleh banyak kalangan menganggap mulai terbentuk pada awal abad – XIV yang ditandai dengan munculnya sosok To Manurung tahun 1330, dapat dikatakan bahwa kerajaan ini banyak menyimpan tinggalan masa lalu yang patut untuk diteliti. Interpretasi kesejarahan tentang kerajaan Bone memang telah dilakukan oleh banyak pihak, berupa rekaman masa silam melalui berbagai tulisan dan pemaparan. Namun perolehan data lapangan melalui penggalian arkeologi untuk mendapatkan data faktual sebagai pendukung dalam mengungkap segala aspek dari aktivitas manusia di wilayah ini dimasa lampau, boleh dikata masih kurang dilakukan.
Walaupun kronik dan catatan harian penulisannya tanpak masih diliputi oleh rasa kritis dan ragu-ragu yang tergambar pada pernyataan awal ketika naskah kronik dan catatan harian itu ditulis. Seperti dijumpai pada awal naskah terdapat kalimat ; ajak kumabusung – ajak kumatula – rampe’ rampe’ aseng to le’ba (jangan kiranya aku menjadi busung – jangan kiranya aku mendapat laknat – menyebut dan menghitung nama raja terdahulu). Penulisan seperti ini tentunya dilakukan karena dikhawatirkan akan dilupakan oleh generasi kemudian tentang keadaan pendahulunya.
Pernyataan seperti ini menunjukkan bahwa penulis lontarak sejarah memiliki kesadaran kritis tentang catatan kelampauan yang obyektif. Pertanyaan yang dapat kita ketengahkan sekarang adalah sejauh mana kesadaran kritis dari masyarakat masa lampau (khusus Bone) masih tercermin dalam kehidupan masa kini, seperti apa yang dinyatakan oleh Edward Hallet Carr, bahwa sejarah adalah percakapan yang tiada berakhir antara masa kini dengan masa lampau, suatu dialog yang tiada berkesudahan antara sejarahwan dengan dengan sumber-sumber sejarahnya. Oleh karena itu, kita berharap semoga usaha penelitian dan penulisan sejarah dan menempatkan diri terlibat dan turut bertanggung jawab dalam penelusuran sejarah.
Dari sudut geografi budaya, Bone yang merupakan bekas kerajaan besar di jazirah selatan pulau Sulawesi memiliki tempat khusus dalam perjalanan sejarah daerah di Sulawesi Selatan. Walaupun masih indikatif, Bone dapat dikatakan telah menyediakan data-data sejarah dan kebudayaan yang patut untuk dikaji.
Kebutuhan yang Mendesak
Pengkajian tinggalan kebudayaan dan sejarah masa lampau merupakan kebutuhan yang mendesak bagi generasi kini dan sekaligus merupakan konfigurasi sumber prilaku masyarakat sebagai nilai-nilai yang mengakar pada komunitas pendukungnya. Namun nilai-nilai yang merupakan akar budaya masyarakat Bugis (khususnya Bone), belum sepenuhnya digali dan diinventarisir dalam rangka pelestariannya. Nilai-nilai budaya yang terpendam sebagai tinggalan masa lalu, terasa masih belum mendapat perhatian yang memadai dari masyarakat dimana nilai-nilai tersebut pernah tumbuh dan berkembang. Adalah suatu kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat Bone utamanya generasi mudanya belum mengetahui tentang sejarah daerahnya, apalagi mengetahui perkembangan kebudayaannya dari masa ke masa.
Secara turun temurun, Bone dipandang sebagai salah satu kerajaan Bugis yang dapat disejajarkan dengan Luwu dan Gowa yang masa keemasannya diperkirakan pada kisaran abad ke - 14 hingga abad 18. Dasar pandangan ini bersumber dari catatan “lontarak” sebagai salah satu sumber kajian sejarah di Sulawesi Selatan. Pertanyaan-pertanyaan tentang kronologis terbentuknya kerajaan Bone, tidak terlepas dari suatu asumsi bahwa Bone sejak terbentuknya pada awal abad – XIV (1330), merupakan kerajaan besar dan memegang hegemoni politik hingga akhir abad 18.
Dari sudut pandang ini, kita berharap bahwa penelitian arkeologi dapat memberi banyak data bagi rekonstruksi sejarah Bone, terutama kajian tentang bukti-bukti kehidupan dimasa lampau. Dari hasil penelitian arkeologi kita berharap dapat memberikan suatu indikasi tentang bagaimana tinggi dan kayanya nilai-nilai kepurbakalan kerajaan Bone dimasa lampau dan dapat mengungkapkan rahasia yang terkandung yang selama ini menjadi sesuatu misteri.
Penelitian mengenai kehidupan masa lalu tentunya akan membuka peluang yang lebih luas untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan manusia beserta hasil-hasil budayanya. Hasil budaya yang merupakan peninggalan masa lalu, tidak dapat dipisahkan dengan pola pikir manusia pendukungnya. Oleh karena itu, kesaksian-kesaksian arkeologi Bone semoga dapat memperlihatkan daya tarik dalam arti tidak hanya mengandalkan sejarah budaya, tetapi juga merupakan sebuah paradigma yang mencoba memahami masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, agama dan aspek-aspek kemanusiaan lainnya.
Menurut catatan lontarak dan sumber-sumber lisan, diketahui bahwa sebelum terbentuknya kerajaan Bone pada awal abad – XIV dengan raja pertamanya Manurunge ri Matajang Mata Silompoe, di wilayah ini telah ada kerajaan-kerajaan tua yang telah memiliki tatanan kehidupan yang memadai. Kerajaan-kerajaan tersebut, antara lain ; Kerajaan Mampu, Kerajaan Palakka, Kerajaan Awampone, Kerajaan Cina dan lain-lain.
Data ini memberi gambaran bahwa Bone mempunyai sejarah dan budaya yang tetap bertahan dari masa ke masa. Pola tingkah laku masyarakatnya terbentuk secara akumulatif pada zamannya, sementara generasi berikutnya memperolehnya sebagai warisan sosial yang dipandangnya sebagai ide-ide tradisional yang mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika menghadapi situasi tertentu.
Lontarak Sebagai Referensi
Lontarak sebagai referensi utama yang dapat digunakan untuk menelusuri segenap aspek kehidupan masyarakat Bone dari masa ke masa, dimana lontarak menjadi saluran resmi penyampaian nilai kebudayaan Bugis. Selain itu, saluran lain bersifat non manuskrip berupa prilaku individual dan kolektif. Hal ini biasa terefleksi dalam bentuk ritual adat atau kebiasaan adat yang hidup sebagai implementasi sebuah kepercayaan.
Dalam catatan lontarak diketahui bahwa pada awal terbentuknya kerajaan Bone disebutkan setelah keturunan Sawerigading tidak ada, terjadilah kekacauan yang luar biasa yang dalam bahasa Bugis disebut “sianre’ bale’”. Situasi sianre’ bale’ menggambarkan bahwa tidak ada lagi aturan hukum, yang kuat menguasai yang lemah, atau lebih tepat dikatakan hukum rimba.
Keadaan yang demikian tersebut berakhir setelah munculnya seorang yang tidak diketahui asal usulnya, sehingga orang banyak menyebutnya “to manurung” artinya manusia yang turun dari kayangan. Pandangan tentang “to manurung” tentu saja sesuai dengan stadia berpikir masyarakat pada waktu itu yang masih banyak dipengaruhi oleh paham animisme.
Karena tidak diketahui asal usulnya, maka orang banyak menamakannya Manurunge’ ri Matajang dan itulah yang kemudian dianggap sebagai Raja Bone – I yang diperkirakan memerintah dari tahun 1330 – 1358. Manurunge ri Matajang inilah yang menjadi juru selamat bagi masyarakat Bone yang wilayahnya terdiri dari Wanuwa Ujung, Wanuwa Tibojong, Wanuwa Ta’, Wanuwa Tanete Riattang, Wanuwa Tanete Riawang, Wanuwa Ponceng dan Wanuwa Macege.
Melihat letak geografi ketujuh wanuwa yang membentuk kerajaan Bone tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pada mulanya kerajaan Bone tidak seluas apa yang kita saksikan sekarang. Menurut lontarak pada mulanya ketujuh wanuwa tersebut mendiami wilayah yang disebut “laleng bata” (dalam benteng) yang apabila diukur, maka luasnya tidak lebih dari 4 (empat) kilo meter persegi. Bekas benteng yang mulai dibangun pada masa pemerintahan raja Bone ke – 6 La Uliyo Bote’e’ Matinroe’ ri Itterung (1543 – 1568) dan dilanjutkan oleh raja Bone ke – 7 La Tenri Rawe Bongkange’ (1568 – 1584).
Sekedar informasi bahwa makam La Uliyo Bote’e’ yang sekarang ini terletak di Desa Itterung Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone, merupakan makam raja Bone yang kurang diperhatikan. Padahal dalam lontarak disebutkan bahwa La Uliyo Bote’e’ memiliki andil dalam menciptakan perjanjian persahabatan dengan raja Gowa yang bernama Daeng Matanre Tu Maparrisik Kalonna. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama “Sitettongenna Sudenge’ na La teya Riduni” yang berbunyi sebagai berikut ;
“Kalau ada kesulitan yang menimpa Bone, Gowa akan menaungi lautan untuk datang mmbantu dan kalau ada kesulitan yang menimpa Gowa, Bone akan melintasi pegunungan untuk datan membantu. Saling berniat baik, pantang mengadu prajurit, saling menghormati hak milik masing-masing. Perjanjian ini ditaati kedua kerajaan secara turun temurun. Barang siapa yang tidak mengindahan perjanjian ini, akan mendapat kutukan yang berakibat kehancuran kerajaannya”
Atas upaya dari raja-raja yang memerintah di kerajaan Bone pada masanya, berangsur-angsur kerajaan-kerajaan tersebut menggabungkan diri dan menjadi bagian dari kerajaan Bone. Tentang bagaimana cara raja-raja Bone untuk menarik kerajaan-kerajaan tersebut untuk bergabung, dalam lontarak disebutkan bahwa penggabungan kerajaan-kerajaan lain dalam kerajaan Bone adalah dengan taklukan (Bugis ; riala bessi), dengan suka rela dan dengan melalui hubungan perkawinan. Selanjutnya pada masa pemerintahan raja Bone ke – 5 La Tenri Sukki Mappajunge’ (1516 – 1543) raja-raja dari Sibulue’ datang menggabungkan daerahnya sebagai bagian dari kerajaan Bone.
Menelusuri Jejak Akkarungeng
Menelusuri nilai ajaran budaya Bugis, tentu harus diawali dengan menemukan jejak akkarungeng (kerajaan) dan sebaran pengaruhnya terhadap kepemimpinan di wilayah tersebut. Pengaruh kerajaan-kerajaan di Bone masa lalu termasuk ajaran pangaderengnya dapat kita lihat terutama pada masa pemerintahan La Patau Matanna Tikka Matinroe’ ri Nagauleng raja Bone ke – 16 (1696 – 1714) sebagai pengemban amanah dari Arung Palakka Malampe’e’ Gemmekna Matinroe’ ri Bontoala raja Bone ke – 15.
Konsepsi Arung Palakka yang diemban oleh La Patau Matanna Tikka melalui politik perkawinan dengan sejumlah anak raja di Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Gowa dan lain-lain, sehingga tidak lagi terjadi peperangan atau perselisihan antara kerajaan-kerajaan besar. Faktor ini pulalah yang membuat kerajaan Bone muncul sebagai kerajaan pemegang hegemoni di jazirah selatan pulau Sulawesi dipenghujung abad – 18.
Jika pendekatan sompung lolo passeajingeng ini dipertahankan, maka akan bangkit kembali komunitas masyarakat yang menyatu dalam tradisi yang sama (manguruk adek – manguruk sirik). Pendekatan ini sewajarnya diolah dalam satu konsepsi sehingga dapat menumbuhkan jiwa dan semangat sipakatu – sipakalebbi (saling menghormati dan memuliakan sesama manusisa).
Budaya lokal Bone yang juga sering disebut budaya daerah karena terjadinya peleburan identitas menjadi Bone, dibangun dengan konsep “kawerang” (ikatan kekerabatan) tetap menyisakan ciri khas masing-masing di wilayah Bone dengan segala identitas yang sampai sekarang masih perlu dilestarikan.
Penutup
Sebagai simpulan dari tulisan singkat tentang penelusuran Bone dalam lintasan sejarah dan budaya, maka dapatlah diketengahkan bahwa sesungguhnya kerajaan Bone yang terbentuk pada awal abad ke – 14 (1330) merupakan kerajaan Bugis yang telah memiliki konsepsi “pangadereng” (tatanan adat) yang berfungsi mengatur prilaku masyarakatnya.
Dalam menguraikan tentang sejarah kebudayaan Bone, rasanya tidak lengkap tampa ditunjang oleh bukti-bukti non manuskrip seperti penggalian-penggalian tinggalan masa lampau. Oleh karena itu, melalui pertemuan ini, tentunya warga masyarakat Bone berharap agar upaya-upaya pengungkapan sejarah budaya masa lampau tetap dilakukan terutama dalam bentuk penggalian arkeologi.
Ditengah proses perubahan yang terjadi dan tanpak begitu cepat dengan skala jangkauan yang sangat luas, maka sangatlah bijaksana jika kita kembali menoleh ke warisan luhur kebudayaan kita. Sebab disana tersimpan nilai-nilai yang universal yang sesungguhnya tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Apabila hal yang demikian kita abaikan, maka akhirnya posisi kita ditengah arus perubahan domestik dan global yang kelihatannya tak lebih dari konsumen belaka, tidak akan mampu kita hindari. Secara sistemik dan sistematis kita akan mengalami interdependensi pada pusat-pusat kebudayaan yang hegemoni itu. Sehingga suatu saat masyarakat Bugis (khususnya Bone) akan tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri. Tentunya hal seperti itu, bukan impian kita dan semoga tidak menjadi kenyataan.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bugis Makassar /
Sejarah dan budaya
dengan judul "Bone dalam Lintasan Sejarah dan Budaya". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2014/08/bone-dalam-lintasan-sejarah-dan-budaya.html.