PENGARUH SYARIAT ISLAM DALAM PERKAWINAN TRADISIONAL MANDAR
I. PENDAHULUANPerkawinan adalah Sunnahtullah (hukum alam) yang dianjurkan oleh Allah SWT. Perkawinan itu tidak hanya memenuhi keinginan, kebutuhan biologis oleh ummat manusia, tetapi perkawinan itu adalah cara yang halal dan diridhhoi oleh Yang Maha Pencipta, untuk melanjutkan keturunan.
Mandar sebagai salah satu etnis di Sulawesi Selatan dan sekarang sudah menjadi Sulawesi Barat disamping etnis bugis, Makassar dan Toraja mempunyai kebudayaan tersendiri yang khas Mandar. Daerah pendukung kebudayaan Mandar ini dulunya dikenal dengan istilah Pitu Baqbana Binanga (PBB) dan Pitu Ulunna Salu (PUS) sekarang terpecah beberapa kabupaten.
Kebudayaan Mandar Adalah keseluruhan dari penjelmaan jiwa manusia Mandar turun temurun dalam arti yang seluas-luasnya, dalam bentuk cipta, rasa dan karsa yang terwujud dalam hidupnya. Pembinaan kebudayaan Daerah menunjang pembinaan kebudayaan Nasional.
Perkawinan di Mandar, merupakan salah satu perwujudan hasil cipta, rasa dan karsa leluhur orang Mandar yang lestari dengan segenap variasi perkembangannya sampai sekarang, yang olehnya, adalah bagian dari kebudayaan Mandar.
Jadi yang dimaksud dengan kebudayan Mandar dalam judul tulisan ini adalah, menjurus pada perkawinan tradisional/adat Mandar menyangkut tata caranya dalam arti yang luas.
II. PEMBAHASAN
1. Perkawinan Menurut Islam adalah :
Perjanjian pengikat antar seorang pria dengan seorang wanita yang ikatan itu membolehkan untuk bersenggama dengan kata nikah atau tazwij. (As'ad Fqih Al Ampily BA- 1978:155)
Nikah;akad yang menghalalkan pergaulan/percampuran antara laki-laki dengan perempuan, dengan kalimat-kalimat yang ditentukan dan dengan pernikahan tersbut, maka dibatasi hak dan kewajiban keduanya, sesuai dengan ajaran Islam. (Drs. Shodiq SE dkk. 1983 : 254).
A. Hukum dan syarat-syaratnya :
1. Suami :
Seorang calon suami harus beragama Islam, bukan mahram, dengan kemauannnya sendiri tanpa paksaan, tidak sedang dalam mengerjakan ihram haji atau umrah, kalau ia sedang ada isteri, isterinya saat itu belum cukup empat.
2. Isteri :
Seorang calon isteri harus bukan mahram, tidak dalam keadaan bersuami (bukan isteri orang), tidak dalam keadaan iddah (kalau ia janda), tidak dalam keadaan mengerjakan ihram atau umrah.
3, Wali :
Seorang wali harus : mukallaf (bukan anak-anak), sehat fikiran(tidak gila), merdeka, laki-laki, dengan kerelaan(tidak sah jika dipaksa), terpelihara dari dosa besar dan tidak berbekalan dalam mengerjakan dosa kecil (tidak fasik) serta tidak dalam mengerjakan ihram haji atau umrah.
4. Dua saksi :
Saksi harus bergama Islam, mukallaf, merdeka, adil(bukan fasik) kecuali tidak diketahui fasiknya, kesaksian tetap sah, melihat dan mendengar, tidak bisu, normal akal fikirannya dan tidak terlibat pada pihak-pihak yang kompeten yaitu wali dan saksi.
5.Sighat (ijab dan Qabul) :
Harus dengan lapaz : "inkah" atau "tazwij", dengan persyaratan-persyaratannya.
B. Hukum Nikah :
1. Jaiz (diperbolehkan).
2. Sunnat, bagi orang yang mau dan mampu.
3. Wajib, bagi orang berkecukupan dan seksnya normal, apalagi super, untuk menghindari perbuatan zina.
4. Makruh, bagi yang belum mampu.
5. Haram, bagi orang yang dengan perkawinannya itu berniat balas dendam atau menganiaya wanita yang dinikahinya.
C. Wali
Perkawinan dalam Islam mutlak harus mempunyai wali dan tanpa wali, perkawianan tidaklah sah. Jika wali nasab tidak ada , gunakan wali hakim dan kalau misalnya wali hakim pun tidak ada , biasa tahkim.
D. Mahar (Mas Kawin)
Mahar merupakan pemberian wajib dari laki-laki kepada wanita yang dinikahinya dan lazimnya mahar ini disebut dalam awad nikah. Jumlahnya tidak tertentu, tergantung kepada kemampuan laki-laki dan kesepakatan kedu belah pihak. Mahar bukan saja benda konkrit, tetapi benda abstrakpun atau dalam bentuk jasa dibolehkan sepanjang disetujui kedua belah pihak.
E. Jamuan Perkawinan
Pada hakekatnya, walimah hanya dianjurkan orang-orang yang ammpu mengadakannya dan tidak jadi halangan bagi yang tidak mampu untuk tidak mengadakannya. Anjuran Rasulullah SAW untuk mengadakan jamuan pada Abdul Rahamn bin Auf karena ia kelihatan amapu untuk melaksanakan. Ternayata Abdul Rahaman bin Auf dalam perkawinannya membayar mahar dengan emas. Sedang perkawinan orang lain yang hanya memberi mahar dengan mengajarkan salah satu ayat Al-Qu'ran, Rasulullah SAW tidak menganjurkan untuk mengadakan jamuan.
F. Kufu(Sekupu/Setarap)
Dasar kufu dalam perkawinan Islam, didasarkan pada iman dan taqwa, ahklak dan budi pekerti yang luhur.
2. Menurut Tradisi/Adat Mandar
Dalam bebrapa Lontar Mandar yang sempat ditemukan tidak ada defenisi nikah secar gamblang dituliskan. Penulis-penulis kitapun masih terlalu jarang menulis defenisi nikah di Mandar dalam uraian-uraiannya tentang perkawinan adat Mandar.
Salah satu defenisi yang penulis ingin cobakan karena penulis belum menemukan yang lain, hanyalah sebagai berikut :
Nikah adalah : Ikatan hidup bersama antara laki-laki dan wanita, sebagai hasil kesepakatan rumpun keluarga kedua belah pihak dengan dasar sekufunya kedua belah pihak, ditinjau dari segi martabat dan keturunan.
Defenisi ditas disusun dalam imajinasi zaman lampau di Mandar, dimasa pemilihan jodoh bagi setiap anak, gadis atau janda, jejak amaupun duda, masih ditentukan secara mutlak oleh orang tua dan rumpun keluarga(defenisi perkawinan tradisional Mandar).
Dengan kata lain, defenisi itu dibuat dalam imajinasi masih berkembangnya "kawin paksa" di Mandar dan sebelum menjamurnya "terpaksa kawin" seperti akhie-akhir ini.
a. Tata Cara Pelaksanaan
Proses terjadinya suatu perkawinan normal menurut tradisi Mandar dari awal sampai akhir (sampai lahirnya seorang anak) dari hasil suatu perkawinan adalah sebagi berikut :
1. Tahap Petama
Naindo Nawanawa (Jatuh Hati)
Di zaman tradisional, jatuh hati yang dimaksud adalah orang tua, karena status anak di zaman ini, hanya menerima pilihan orang tua secara mutlak. Pemuda yang bersangkutan jarang sekali bisa melihat gadis yang pukul rata terpingit saat itu. Yang bisa mel;ihat secara bebas anak gadis hanyalah para orang tua.
Para orang tua setelah anaknya menapak remaja secara diam-diam meneliti gadis-gadis yang dianggapnya sekufu dengan dia. Setelah ada yang dilihatnya dan disetujui perangainya baru kemudian dibicarakan dengan rumpun keluargaas untuk diminta persetujuannya dan jika sudah semuanya mufakat, barulah kemudian meningkat pada pemilihan yang terbaik diantara beberapa orang calon.
Mulai sesudah kemerdekaan, hak naindo nawanawa ini dilakukan sendiri oleh oleh sang anak, kemudian melaporkannya kepada orang tuanya lalu orang tua akan memusyawarakan dengan segenap keluarga.
2. Tahap Kedua
Mambalaqbaq (Rencana Penetuan Calon)
Mambalaqbaq adalah musyawarah rumpun keluarga untuuk memilih seorang diantara sekian calon yang disetujui dalam musyawarah naindo nawanawa . Dalam menentukan calon persetujuan sang anak diminta (sesudah zaman merdeka samapai sekarang), tetapi sebelumnya tanpa persetujuan sang anak.
3. Tahap Ketiga
Messisiq (Melamar)
Utusan pihak orang tua laki-laki datang pada orang tua wanita untuk menanyakan apa ada jalan atau lowongan untuk melamar atau tidak. Dalam istilah Mandar "mettuleq dimawayana tangngalalang" (bertanya apakah jalan tidak beronak/tidak berduri maksudnya, apakah putri yang dimaksud belum ada yang melamar ?). Jika jawabannya jalan bersih tidak berduri, maka lamaran dilanjutkan, jika beronak, lamaran dihentikan dan mencari calon lain.
4. Tahap Keempat
Mettumae (Melamar)
Upacara kunjungan resmi rumpun keluarga laki-laki kepda keluarga wanita untuk melamar, sambil menanyakan jumlah uang belanja, paccanring serta segala sesuatunya kecuali sorong (mas kawin). Biasanya pembicaraan disini tidak final, karena jumlah uang belanja dan sebagainya harus dimusyawarakan lagi oleh kedua belah pihak antar rumpun keluarga masing-masing.
5. Tahap Kelima
Mattanda Jari (Mappajari)
Pertemuan dan musyawarah resmi di rumah pihak wanita utnuk menetukan jadi/tidaknya pertunangan dan sekaluigus meresmikan pertunangan jika telah dicapai musyawarah mufakat.
6. Tahap Keenam
Mappande Manuq
Sejak resminya pertunangan, pihak laki-laki harus memperhatiakn tunangannya yang dilakukan oleh orang tua laki-laki dengan jalan memberi sesuatu pada situasi tertentu, misalnya pada hari lebaran, mau memasuki bulan Ramadhan (puasa) dan sebagainya.
7. Tahap Ketujuh
Mattanda Allo
Musyawarah utnuk menetukan hari "H" perkawinan untuk dilaksanakan serta berbagai hal sehubungan dangan tiu.
8. Tahap Kedelapan
Maccanring
Mengantar seluruh bahan yang akan dipakai dalam pesta perkawinan kepada pihak wanita, termasuk bebrapa hal yang telah jadi persetujuan bersama. Maccanring dilakukan semeriah mungkin, diikuti oleh rumpun keluarga dan handai tolan, tua ataupun muda, laki-laki dan wanita. Bawaan dan caranya, punya aturan tertentu menurut tradisi dan waktu pelaksanaanya, biasanya dari jam 14.00 siang samapai dengan jam 16.30 sore hari (tergantung tradisi setempat).
9. Tahap Kesembilan
Mappaqduppa
Pemberian satu stel pakaian laki-laki lengkap kepada mempelai laki-laki dari mempelai wanita yang diantar oleh keluarganya. Mulai dari zaman sesudah Indonesia merdeka, pelaksanaan mappaqduppa ini dilakukan pada malam atau siang hari sebelum perkawinan dilaksanakan dan pappaqduppa ini dipakai saat nikah.
Di zaman dahulu, hal ini hanya terjadi bagi bangsawan Hadat atau bangsawan Raja.
10. Tahap Kesepuluh
Maqlolang
Kunjungan resmi calon mempelai laki-laki bersama sahabat-sahabatnya ke rumah calon mempelai wanita untuk bermah tamah secara kekkeluargaan. Maqloalang ini paling sempurna diadakan mulai tujuh hari sebelum pernikahan dilaksanakan, atau tiga hari sebelumnya, tetapi boleh juga satu kali saja, yakni pada malam sehari sebelum hari "H" perkawinan dilaksanakan.
11. Tahap Kesebelas
Metindor
Arak-arakan pengantin dengan pakaian adat mengantar mempelai laki-laki ke rumah sang mempelai wanita untuk melaksanakan pernikahan.
12. Tahap Keduabelas
Melattigi
Upacara pemberian daun pacar kepada kedua mempelai oleh para Anggota Hadat (Anaq Pattola Adaq) secara tersusun menurut level tradisi setempat, yang selalu dimulai oleh Qadhi setempat. Upacara ini hanya terjadi bagi bangsawan Hadat ataupun bangsawan Raja bila ia atau anak-anaknya nikah. Bagi tau samar dan batua tidak boleh melakukan di zaman dahulu, tetapi sekarang palaksanaanya sudah berbeda dari zaman sebelumnya. Hampir sudah tidak ada orang yang melaksanakan pernikahan normal tidak melaksanakan prosesi melattigi ini. Pelakunya juga kelihatan bangsawan Raja sudah turut campur, bahkan kaun Hadat yang punya hak, sudah jarang tampil sebagai pelaku.
13. Tahap Ketigabelas
Likka/Kaweng (Nikah/Kawin)
Sesudah acara Pelattigian, maka akad nikah dilaksanakan dengan terlebih dahulu pihak wali menyerahkan kewalian pada qadhi yang akan menikahkannya. Pernikahan disaksikan oleh aparat agama setempat, yang ditunjuk oleh Qadhi atau aparat Kantor Urusan Agama setempat yang kompteten.
14. Tahap Keempatbelas
Mappiqdei Sulung
Suatu tradisi yang tak dapat dilalaikan ialah sesudah mempelai laki-laki menemui mempelai wanita dari kamarnya bersalaman, dan setelah menenpuh beberapa pintu memasuki kamar istilah Mandarnya Pambuai Baqba dan Pambuai Bocoq, maka mempelai laki-laki keluarlah dari kamar dan langsung menuju tempat yang telah ditentukan untuk meniup sekaligus api yang sedang menyala/obor api yang sedang menyala ini. Ini syaratnya menurut tradisi Mandar harus sekali tiup dan apinya padam, mungkin ada makna tersendiri yang terselubung dibaliknya yang dimaknai oleh leluhur kita.
15. Tahap kelimabelas
Maqande Ande kaweng
Acara tradisi Mandar yang tak dapat diabaikan ialah sesudah melaksanakan prosesi Mappiqdei Sulung maka sang pengantin baik pria maupun wanita diramaikan dengan keluarga dekat dan handai tolan secara bersama-sama Maqande Ande Kaweng, biasanya yang ada dalam hidangan ande kaweng ini adalah : cucur, sokkol (ketan), pisang ambon dan lain sebaginya mungkin inipun mengandung makna tersendiri.
16. Tahap Keenambelas
Siuleq/Mangino
Acara gembira pad palam pengantin dalam menghormati para tamu, baik itu di rumah mempelai laki-laki maupun mempelai wanita pad waktu marola. Mempelai wanita dengan menutup muka tampil ke tengah hadirin yang diikuti mempelai pria berkeliling.
17. Tahap Ketujuhbelas
Marola
Kunjungan pengantin wanita dan keluarganya ke rumah pengantin laki-laki, dengan membawa bermacam -macam kue sesuai tradisi. Pihak keluarga laki-laki pun memberikan sesuatu sebagi imbalan pada pihak mempelai wanita.
18. Tahap Kedelapanbelas
Baru
Suatu tradisi pengantin Mandar zaman dahulu, bertahun-tahun atau setidaknya berbulan-bulan baru bisa berbaikan secara nyata pada suami. Masa ini adalah masa bertahan bagi isteri untuk tidak cepat menyerahkan mahkotanya kepada suaminya. Wanita jadi tertawaan saat itu jika terlalu cepat berbaikan dengan suaminya, mereka dianggap wanita murahan.
19. Tahap Kesembilanbelas
Melipo Ku'bur
Sementara masih dalam keadaan baru, pengantin pria maupun pengantin wanita bersama-sama dengan keluarga dekat berziarah ke kuburan (Massiarai Ku'bur) keluarga sambil membawa Al-Qur'an untuk mengaji, air untuk menyiram kuburan, wangi-wangian, minyak atau kembang untuk ditaburkan di atas pusara keluarganya.
20. Tahap Keduapuluh
Melipo Anaq (Keluarga)
Selama masa baru, pihak keluarga laki-laki harus selalu membezuk menantunya untuk mengantarkan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari, bila sudah tidak serumah.
21. Tahap Kedualuhsatu
Dipande Mangidang
Upacara menghidangkan bermacam-macam kue tradisional dan buah-buahan kepada sang isteri yang sedang mengidam.
22. Tahap Keduapuluhdua
Diuriq
Upacara ini dilaksanakan pada saat sang isteri hamil tua. Diuriq (diurut) oleh seorang dukun (pemeriksaan bayi yang sedang dikandung)
23. Tahap Keduapuluhtiga
Massaulaq
Suatu upacara menyambut bayi yang telah lahir. Upacara ini dipimpin oleh dukun bekerja sama dengan para penghulu agama.
24. Tahap Keduapuluhempat
Dipadaiq di Toyang
Dipadaiq di Toyang (menaikkan ke ayunan) sang bayi yang baru lahir, minimal 7 hari setelah sang bayi lahir.
25. Tahap Keduapuluhlima
Disunnaq
Upacara ini disebut juga khitanan. Bagi anak wanita paling lambat usianya menginjak 1 tahun dan bagi anal laki-laki usianya sampai 12 tahun.
Kesemua rangkaian upacara diatas, masuk dalam rangakaian perkawinan di Mandar dan masih termasuk tanggung jawab orang tua kedua belah pihak (suami isteri).
Masalah mahar(sorong) di Mandar merupakan hal yang paling mutlak harus ada dan tidak boleh kurang atau lebih dari kriteria sesuai stratifikasi sosial seseorang. Tanpa sorong, perkawinan tak mungkin terjadi, kecuali seorang budak yang diperisterikan tuannya, istilah Mandarnya ; mappessawei pikelluqna/saeyyanna).
Itulah sebabnya ada ungkapan yang mutawatir di seluruh Mandar mengatakan : "Dza mualai pennannaranna anaq tandi sorong" (jangan kembang-biakkan anak yang lahir tanpa mas kawin)
Sorong adalah : Benda atau uang yang dinilai dalam perhitungan kati, taiq, atau real yang diberikan laki-laki kepada wanita sebagi ikatan perkawinan dalam jumlah tertentu sesuai kriteria yang ditetapkan oleh tradisi untuk tiap kelas dalam masyarakat.
Untuk membicarakan kriteria mahar (sorong), harus terlebih dahulu kita ungkap sepintas tentang stratifikasi sosial masyarakat Mandar serta periode-periodenya.
Namun demikian, ada beberapa periode yang kita lalui, karena penulis anggap, bahwa tidak terlampau penting kita ketahui, sebaiknya kita langsung saja ke zaman penjajahan, inipun sekedar diketahui, utamanya generasi muda Mandar sebagi generasi pelanjut, bahwa pada periode ini manusia terbagi atas empat golongan yakni :
- Golongan Puang (Bangsawan Raja)
- Golongan Tau Pia (Bangsawan Hadat)
- Golongan Tau Samar (Orang Kebanyakan)
- Golongan Batua (Golongan Budak)
Nanti setelah datangnya penjajah Belanda, maka Sigar diambil alih oleh bangsawan Raja dan bangsawan Hadat diberikan Sokkoq Biring (kopiah anyaman berbentuk bundar berpinggir emas atau perak). Kopiah/sokkoq biring bukan pakaian adat Mandar, melainkan kopiah yang didatangkan dari luar Mandar yang mulai dipakai di zaman penjajahan Belanda. Konon, para bangsawan Hadat diberi pertama kali oleh Belanda melalui raja-raja yang bekerja sama denagn Belanda, ketika akan menghadiri konferensi Hadat di Bone. Konferensi itu didakan setiap tahun di Bone, atas persetujuan Bone dengan Belanda saat itu, karena Bonelah yang membantu Belanda, hingga berhasil menjajah di Sulawesi Selatan saat itu.
Pustaka : Bunga Rampai Kebudayaan Mandar Dari Balanipa
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Sejarah Dan Budaya Mandar
dengan judul "Pengaruh Syariat Islam Dalam Perkawinan Tradisional Suku Mandar ". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2014/03/pengaruh-syariat-islam-dlm-perkawinan.html.