Cerita - Pesan Abu Nawas Untuk Para Hakim

Pesan Abu Nawas Untuk Para Hakim
 Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini

sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada

tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia

mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali

dengan orang-orang badui padang pasir.

Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang

Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya,

namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada

Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan

Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu

sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah

bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir

tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga

mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sultan bermaksud mengangkat Abu

Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun... demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas

itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang

pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu

sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi

terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk

pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak

bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu

Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui

Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan

Sultan.

"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu Nawas

dengan entengnya seperti tanpa beban.

"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."

"Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai

supaya bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang

yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. "Abu Nawas kau mau

apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir

"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.

"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.

"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas sembari

menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu

Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas

kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka

rela ataupun terpaksa."

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di

hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan

tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.

"Ya Baginda, tahukah Anda....?"

"Apa Abu Nawas...?"

"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"

"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"

"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para

pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara

yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia

dicegat oleh penjaga.

"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan

perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka

engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang

mana bagianku itu?"

"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang

diberikan kepada tadi?"

"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"

"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"

"Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering

menerima hadiah dari Baginda."

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu

orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit

kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia

terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al

Rasyid.

"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu

Nawas yang teiah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan.

Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda."

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu

Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah

memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"

Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia

menerima pukulan itu."

"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya

Baginda.

"Tuanku,"kata Abu Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan

perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi

dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima

hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali

pukulan kepadanya."

"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu

dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.

"Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."

"Hahahahaha Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda. "Abu

Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota

Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah

kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu!"

"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.

Abu Nawas berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba

diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi.

Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok

hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa

terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."

Baginda kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak

kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di

rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang

gila sungguhan.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya. "Apa

pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"

Wazir atau perdana meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah

otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu Nawas

telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."

"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati.

Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid

mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama

berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui

jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada

Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur

kepada Tuhan. "Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.

Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu

Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah

lunglai.

Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan

dan telinga kiriku."

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan

bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"

"Benar Bapak!"

"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku itu."

"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum

sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"

"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"

"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya

kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku

tak suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jia

kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai yang sama, namun jika kau

tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih

sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid

pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."

Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri

agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu

kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas tidak

menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu

perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab

pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.



Like This Article ?
Comments
0 Comments

0 komentar

 
 
Copyright © 2013 MANDAR LUYO - All Rights Reserved
Status Panel Admin
Jam Sekarang
Tanggal
Salam Sapa :
Status Admin :
User :
Free Backlinks