MENELUSURI SEJARAH MATTELUMPOCCOE
(Aliansi tiga kerajaan ; Bone, Wajo dan Soppeng)
PengantarJazirah selatan pulau Sulawesi yang didiami oleh empat etnis besar, yaitu ; Bugis, Makassar, Tator dan Mandar, mencatat banyak sejarah sebagai karya historiografi daerah yang perlu dan menarik untuk diteliti. Upaya penelitian dan pengkajian terhadap sumber-sumber sejarah daerah tersebut, seyogianya terus dilakukan dan ditingkatkan, mengingat masih banyaknya yang belum digali dan diteliti. Sumber-sumber sejarah lokal tersebut, termasuk perjanjian “Mattellumpoccoe” yang merupakan aliansi tiga kerajaan Bugis, yaitu ; Bone, Wajo dan Soppeng dalam tahun 1582.
Seperti diketahui bahwa penulisan sejarah (histriografi) lokal tentang kerajaan-kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi, terutama sebelum datangnya bangsa-bangsa asing dengan nafsu penjajahannya, memang belum banyak dilakukan. Namun kesadaran tentang betapa pentingnya pengungkapan fakta-fakta sejarah lokal bagi eksistensi masyarakat dalam rangka memperkaya khasanah sejarah nasional, telah dirasakan oleh pemerhati sejarah daerah sejak lama.
Sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi cukup banyak yang walaupun belum sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti arkeologi berupa bekas yang telah ditinggalkan oleh kejadian, perubahan dan peristiwa masa lalu. Tetapi apa yang telah ditemukan selama ini, sedikitnya dapat memperkaya fakta sejarah di wilayah ini, yang pada gilirannya akan memperkaya kepustakaan sejarah nasional.
Dipenghujung abad ke – 16, pada masa sebelum mencuatnya peran kerajaan-kerajaan besar di jazirah selatan pulau Sulawesi seperti Gowa, Bone dan Luwu, dapat dikatakan bahwa wilayah ini mengalami keadaan yang tidak tenang. Masing-masing kerajaan besar tersebut berupaya untuk merebut hegemoni kekuasaan terhadap kerajaan lain. Dengan demikian, terjadilah peperangan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lainnya.
Dalam episode sejarahnya yang panjang, disamping ketiga kerajaan besar tersebut, di jazirah selatan pulau Sulawesi terdapat puluhan kerajaan yang menonjol ketika itu, seperti ; Wajo, Soppeng, Bantaeng, Bulobulo, Persekutuan Limae Ajattappareng, Balannipa (Mandar) dan lain-lain. Kerajaan-kerajaan tersebut telah merupakan suatu unit politik yang berdaulat dan merdeka. dalam arti telah memiliki wilayah, pemerintahan dan rakyat.
Kronologi Mattelumpoccoe
Dalam Lontarak Akkarungeng Bone (Matthes, Boeg. Chretomathie) sebagai salah satu sumber sejarah lokal, diketahui bahwa latar belakang terjadinya perjanjian “mattelumpoccoé “ merupakan bentuk kekhawatiran dari tiga kerajaan bertetangga (Bone, Wajo dan Soppeng) tentang akan terjadinya serangan dari luar, terutama dari dua kerajaan besar yaitu Gowa dan Luwu. Oleh karena itu, La Tenri Rawe Bongkangé Raja Bone ke – 7 (1568 – 1584) meminta kepada penasihatnya yang bernama Kajao Laliddong untuk menghubungi kedua kerajaan tetangganya (Wajo dan Soppeng) agar menyampaikan maksud untuk mempersaudarakan ketiga kerajaan (Bone, Wajo dan Soppeng).
Seperti diketahui bahwa pada zaman pemerintahan Raja Bone ke – 7 La Tenri Rawé Bongkangé, kerajaan Bone serta kerajaan tetangganya (Wajo dan Soppeng) mengalami peperangan silih berganti. Walaupun kerajaan Bone dibawah pemerintahan La Tenri Rawé Bongkangé senantiasa keluar sebagai pemenang, namun Baginda tetap berpikir untuk membentengi kerajaannya dengan jalan ; menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan terdekat, terutama kerajaan yang senantiasa mendapat tekanan dari kerajaan Gowa, seperti Wajo dan Soppeng.
Aliansi tiga kerajaan bertetangga yang dicetuskan di Kampung Bunne dalam wilayah Wanuwa Timurung yang sekarang berada dalam wilayah Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone, lazim disebut Mattelumpoccoé. Ikrar bersama ketiga raja, yaitu ; La Tenri Rawé Bongkangé (Mangkauk Bone), La Mungkace To Uddamang (Arung Matowa Wajo) dan La Mappaleppe Patolaé (Datu Soppeng) ditandai dengan menenggelamkan tiga buah batu, sehingga kemudian lebih dikenal dengan nama “Lamumpatué ri Timurung”.
Diriwayatkan bahwa sebelum perjanjian “mattelumpoccoé” berlangsung, Kajao Laliddong selaku Duta Keliling kerajaan Bone melakukan serangkaian pertemuan dengan utusan-utusan dari kedua kerajaan tetangga yaitu Wajo dan Soppeng. Pertemuan pertama yang diadakan di Baruga Maccoppok Tellué ri Cenrana, dihadiri oleh ; (1) Utusan dari Soppeng yaitu Arung Belo bersama dengan La Waniaga Arung Bila, (2) La Mungkace To Uddamang Arung Matowa Wajo dan (3) To Salu Arung Kaju dari Bone.
Hasil dari pertemuan di Baruga Maccoppok Tellué ri Cenrana adalah bahwa pertemuan puncak akan diadakan di Kampung Bunne dalam wilayah Wanuwa Timurung. Pemilihan tempat tersebut adalah dengan dasar pertimbangan bahwa wilayah Timurung merupakan tempat yang mudah untuk dikunjungi oleh utusan ketiga kerajaan yang akan melakukan pertemuan.
Menurut Lontarak Akkarungeng Bone, sebelum perjanjian dilakukan, Datu Soppeng La Mappaleppe Patolaé merasa keberatan untuk menjalin persaudaraan dengan alasan wilayah Soppeng sangat kecil. Oleh karena itu, Arung Matowa Wajo La Mungkace To Uddamang menyerahkan tambahan wilayah yaitu Baringeng dan Lompulle. Sedangkan Mangkauk Bone La Tenri Rawé Bongkangé memberinya tambahan wilayah yaitu Citta dan Gowagowa. Tentang Gowagowa yang sepertinya hilang dari peta pemerintahan sekarang, menurut berbagai sumber adalah Lamuru dan sekitarnya yang sekarang telah menjadi sebuah kecamatan dalam Kabupaten Bone.
Adapun yang disepakati dalam perjanjian “mattelumpoccoé” adalah mepersaudarakan ketiga negeri (Bone, Wajo dan Soppeng) dalam bentuk aliansi. Ketiganya duduk sama rendah, berdiri sama tegak, tak ada melebihi yang lain. Bagaikan orang bersaudara, Bonelah yang tertua, Wajo anak tengah dan Soppeng sebagai anak bungsu.
Teks Perjanjian Lamumpatue’ ri Timurung
- Tanata mattulu parajo – teppettu siranrengi – sanrék tessibelléang – tessi luppek macékoangngi.
- Makkeda siatepperengngi – malilu sipakaingek – siala pakaingeki – tessiajeng alilungngi.
- Tessiredduk taneng-taneng – tessi attaneng tanengi – tessi saringeng roppok roppok – tessi akkalekkalengi – tessi tangeng tollariwi – tessi tangeng to pasalai.
- Sirekkokeng to matojoi – silasekeng tedong laiwi.
- Tessi tonrong atai – tessi rebbang adeki – tessi lawa bicarai – tessi peddéng arajangngi.
- Pada makkadawang risaliwengngi – temmakkadawang rilaleng.
- Tessi bicara musuki – temmappasisalai to bongngok – tenna pangkagaki to kanna – tenna bicara to risaliweng.
- Tessi polo tajengngi – tessi bola waramparangngi – riwéréngngi anu mallaletta.
- Tessi pakkéane tawangngi – tessi wawai ritéyata – tessi elli atai – tessi ateppekengngi rékko engka akkeda atangetta nataniya suro ribateng mpawai – tomateppek tomate nallai tedong mauni anak arung muna.
- Siatuwo bakké manukki – nnangé siampaéki – malemmek siéwangngi.
- Padai madécng padai majak – padai maté padai tuwo.
- Tennanr api tennanré jak tana – tennatiwik to maté asséyajingenna – mauni maruttung langik é mawottong peretiwié temmalukato asséyajingenna tanata.
- Niginigi mpélai ulu ada – mareppak pinceng – maressak ittellok – tana tudangenna – nasabbiwi déwata séuwwaé.
Terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia
- Tanah kita bagaikan tulu parajo (tali bajak kerbau) – tidak akan putus selembar – tak akan saling mengecewakan – tak akan saling menipu.
- Berkata saling percaya mempercayai – khilaf saling mengingatkan – saling memperhatikan peringatan – tidak saling mencari kekhilapan.
- Takkan saling merusak usaha – takkan saling melanggar hak – takkan saling melemparkan kejelekan satu sama yang lain – takkan saling merahasiakan – takkan saling melindungi pelarian – takkan saling menahan orang bersalah.
- Saling membantu menunjukkan anak buah yang kepala batu dan saling membantu memberantas pemberontak atau yang menentang diantara kita.
- Takkan menghukum rakyat dari salah satu negeri kita – takkan saling melanggar adat kebesaran antara kita – takkan saling menolak bicara (keputusan peradilan) – takkan saling menghina satu sama lain.
- Saling berusaha memperluas negeri keluar dan bukan dalam negeri kita masing-masing.
- Tak ada persoalan perang antara negeri kita bertiga.
- Kita tidak akan dipertengkarkan orang yang bodoh – kita tidak akan dipertikaikan orang bermusuhan – takkan diadili oleh orang luar.
- Tak akan saling menghalangi antara kita terhadap penundaan sesuatu yang diperlukan – takkan saling menyembunyikan harta benda – takkan saling merintangi hak milik seseorang.
- Takkan ada pembahagian hamba sahaya – takka ada paksaan antara kita bila salah satu dari kita keberatan – takkan ada jual-beli hamba sahaya – tak akan segera mempercayai sesuatu berita kalau bukan utusan resmi yang datang menyampaikan dan orang yang mempercayai akan mati sia-sia walaupun ia anak bangsawan.
- Kita akan saling menyelamatkan hidup walaupun negeri kita hancur, kita saling mengulurkan tangan jika kita dalam kesusahan – kita bersedia saling berkorban bila ada diantara kita terancam bahaya maut.
- Antara kita senasib sepenanggungan – takkan ada diantara kita yang membiarkan kematian seseorang tanpa pembelaan dari kita bertiga.
- Takkan hangus oleh api – takkan rusak oleh tanah – takkan terbawa serta oleh kematian seseorang akan perjanjian luhur negeri kita.
- Walaupun langit akan runtuh – dan bumi akan terbelah – namun takkan memutuskan persaudaraan kita.
- Barang siapa yang ingkar dari janji – maka hancur bagaikan beling – dan pecah bagaikan telur negeri kediamannya – ikrar ini disaksikan oleh Dewata Yang Tunggal.
Setelah perjanjian “mattelumpoccoé” yang lebih dikenal dengan nama “lamumpatué ri Timurung” berlangsung di Kampung Bunne dalam wilayah Wanuwa Timurung, maka suatu perubahan nanpak pada ketiga kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng). Kerajaan Gowa yang pada masa itu senantiasa berusaha untuk melakukan ekspansi ke daerah-daerah Bugis, maka setelah perjanjian “mattellumpoccoé” Gowa memandang ketiga kerajaan Bugis tersebut sebagai suatu kekuatan baru yang membuat Gowa harus berpikir panjang untuk melakukan penyerangan.
Keberhasilan tiga kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) menjalin kerja sama dalam bentuk aliansi, membuat Raja Gowa sangat marah. Ikrar dan sumpah setia Lamumpatué ri Timurung yang pada intinya bermakna ; siapa yang diserang, yang lain ikut membantu, membuat Gowa harus merubah strategi. Bahkan Raja Gowa melihat ketiga kerajaan Bugis tersebut sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahayya dimasa yang akan datang.
Penutup
Perjanjian Mattellumpoccoé sebagai suatu hasil pemikiran dari pemimpin tiga kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) adalah merupakan wujud dari sifat dan karakter orang Bugis yang dikenal dengan “penegakan harga diri” atau lebih lazim disebut “sirik dan pessé”. Sikap mental orang Bugis seperti yang tergambar dalam lontarak yang berbunyi ; akkai padammu rupa tau natanréréko (hormatilah sesamamu manusia supaya ia menghormatimu pula.
Sebenarnya lahirnya perjanjian Mattellumpoccoé bukan berarti ketiga pemimpin kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) sengaja untuk menciptakan permusuhan, tetapi merupakan upaya untuk tetap mempertahankan negerinya dari serangan musuhnya. Karena penyerangan terhadap negerinya dianggapnya sebagai bentuk penindasan yang berarti harga dirinya terinjak-injak. Selain itu, perjanjian Mattellumpoccoé merupakan upaya menciptakan kekuatan yang bertujuan mempertahankan kedaulatan negerinya.
Hal ini tergambar dalam dialog antara Arumpone La Tenri Rawé Bongkangngé dengan Kajao Laliddong sebagai berikut ;
- Arumpone ; Aga kaminang mawatang Kajao – engkaga sauk watangngi éwangengng (Apa yang paling kuat Kajao, adakah yang paling kuat dari pada senjata ?
- Kajao Laliddong ; Madodong lanrek iyatu muasengngé Arumpone. (Terlalu lemah yang engkau maksud itu. Arumpone !
- Arumpone ; Pauni Kajao muasengngé mawatang (Katakanlah Kajao yang dimaksud paling kuat)
- Kajao Laliddong : Dék gaga sauk watangngi asséddingengngé (Tidak ada yang paling kuat selain persatuan)
Untuk meyakinkan Arumpone tentang maksud Kajao Laliddong, maka ia mengambil sebatang lidi lalu dipatahkan didepan Arumpone. Begitu enteng dan mudahnya Kajao Laliddong mematahkannya. Tetapi setelah lidi tersebut terkumpul dalam satu ikatan, maka tidak seorangpun yang dapat mematahkannya dengan menggunakan tangan.
Inilah salah satu illustrasi mengapa perjanjian Mattellumpoccoé dilakukan oleh tiga kerajaan Bugis yang senantiasa menerima serangan dari kerajaan lainnya utamanya Gowa. Tentang apakah substansi perjanjian tersebut masih terus dijunjung tinggi oleh generasi masa kini, tentu saja arahnya bukan lagi terhadap kerajaan-kerajaan masa lalu yang sekarang ini telah menjadi milik kita bersama. Tetapi tentu terhadap faktor lain yang sifatnya menghambat pembangunan kita di Sulawesi Selatan yang sedang kita galakkan.
Dibawakan pada Seminar Mattellumpoccoé
yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan
Provinsi Sulawesi Selatan
pada tanggal 28 Oktober 2013 di Sengkang
Kabupaten Wajo.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bugis Makassar /
Sejarah dan budaya
dengan judul "Menelusuri Sejarah Mattelumpoccoe". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2014/08/menelusuri-sejarah-mattelumpoccoe.html.