PROSESI PERKAWINAN ADAT BUGIS
(Sebuah Kajian Budaya dan Sejarah)
Oleh Drs. Asmat Riady Lamallongeng
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar BelakangPengkajian upacara adat yang bersifat tradisional bagi suku bangsa yang memiliki kebudayaan sendiri yang dan sebagai wujud informasi sejarah dan budaya guna diketahui oleh generasi berikutnya, merupakan masalah yang perlu dilakukan. Karena disamping sebagai upaya pelestarian sistem kebudayaan bagi suku bangsa yang berbeda-beda, juga menjadi suatu bentuk penonjolan identitas atau jatidiri suku bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mengetahui tentang bentuk dan corak kebudayaan dari satu kelompok etnis atau suku bangsa, perlu memahami sejauh mana keberadaan kebudayaan tersebut dalam masyarakat pendukungnya.
Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya akan dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan cara melestarikannya. Untuk melestarikan kebudayaan yang didalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat bersangkutan. Parsudi Suparlan (1981) mengemukakan ada tiga cara mempelajari kebudayaan, adalah ; (1). Melalui pengalaman hidup dalam lingkungannya sehingga dari pengalamannya itu manusia dapat memilih sesuatu tindakan yang setepat-tepatnya sesuai dengan lingkungan yang dihadapi dan keinginan yang akan dicapai. (2). Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial. (3). Melalui petunjuk-petunjuk simbolis atau melalui komunikasi simbolik. Dengan melalui ketiga cara tersebut diatas atau salah satu diantaranya, manusia akan banyak memahami atau mengetahui pesan-pesan atau simbol-simbol budayanya.
Dalam lontarak (catatan pada daun lontar) diketahui bahwa masyarakat Bugis pada awalnya hanya mengenal kepercayaan yang bersifat animisme yang kita kenal sebagai bentuk kebudayaan asli. Kemudian setelah masuknya kebudayaan India (Hindu), barulah masyarakat Bugis menjadi penganut agama monoisme. Selanjutnya Islam masuk sekitar awal abad – 14 yang menyebabkan terjadinya assimilasi antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu, bahkan tidak terlepas dari kepercayaan leluhur tradisional yang bersifat animisme sebagai kebudayaan asli.
Proses Islamisasi berlangsung secara intensif dengan pendekatan persuasif terhadap kepercayaan dan ajaran Hindu termasuk kepercayaan animisme. Oleh karena itu, penerimaan ajaran Islam oleh penganut kepercayaan animisme dan ajaran Hindu berlangsung dengan cepat dan cukup mudah. Hal ini terlihat dengan jelas pada berbagai acara tradisional diantaranya prosesi perkawinan adat Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan juga masyarakat Mandar di Sulawesi Barat.
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) yang berlaku secara universal bagi seluruh umat manusia dimuka bumi. Bahkan dapat dikatakan bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung sejak adanya manusia yang menghuni bumi ini, dalam arti bahwa sejak manusia ada dan melanjutkan keturunannya melalui perkawinan.
Dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, sebagaimana masyarakat lain di Nusantara ini, upacara perkawinan menandai dimulainya jalinan hubungan berdasarkan cinta kasih yang sah menurut adat (aturan-aturan duniawi) dan agama (aturan-aturan ukhrawi). Berawal dari pristiwa perkawinan itulah suami isteri dapat menapaki masa depannya, membina suatu rumah tangga dan melanjutkan keturunannya dengan aman penuh kebahagiaan.
Begitu pentingnya masalah perkawinan itu, sehingga dikalangan masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar dikenal beberapa ungkapan yang dialamatkan kepada orang yang tidak atau terlambat mendapatkan jodoh atau terlambat melangsungkan perkawinan. Misalnya, bagi anak yang mulai menanjak dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah, dikatakan ; “déppa nabbatang tau” (belum seutuhnya sebagai manusia). Sedangkan bagi laki-laki atau perempuan yang telah berusia lanjut dan tidak pernah kawin (menikah), dikatakan ; “lajo” (pohon atau tanaman yang tidak berbuah). Oleh karena itu, perkawinan dianggap bukan hanya bersifat duniawi, tetapi juga bersifat ukhrawi dan sakral.
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat penting bagi seseorang, karena merupakan babak baru dalam menempuh kehidupannya untuk membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, orang tua yang telah berhasil mengawinkan anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, selalu mengatakan ; “mabbatang tauni anakku” (anakku telah menjadi manusia sempurna). Berdasarkan ungkapan tersebut, sehingga timbul suatu kesan bahwa bagi anak yang mulai dewasa dan belum menikah dianggap belum menjadi manusia sempurna.
Sebenarnya prosesi perkawinan adat dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, pada dasarnya memiliki persamaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Hanya saja dalam segi-segi kecil sering ditemukan perbedaan yang tidak terlalu prinsipil. Misalnya, acara “ripaddupai” yang masih sering ditemukan di daerah Sidenreng Rappang, Soppeng dan daerah-daerah sekitarnya, merupakan hal yang tidak ditemukan di daerah lain. Acara “ripaddupai” ini dilaksanakan di rumah mempelai perempun yang dipandu oleh seorang indok botting (juru rias pengantin), yaitu pada saat mempelai laki-laki selesai membuka pakaian pengantin, disiapkan sembilan lembar sarung untuk dipakai. Kesembilan lembar sarung tersebut dipasangkan kepada mempelai laki-laki oleh indok botting yang dimulai dari kepala hingga kaki. Satu lembar yang terakhir diikatkan dipinggangnya untuk dipakai tidur, sedangkan yang lainnya dilepas kembali untuk disimpan.
Menurut berbagai sumber, makna dari pada acara “ripaddupai’ tersebut adalah agar mempelai laki-laki kelak dapat mengetahui bahwa diantara banyak sarung yang ada dalam rumah isterinya, hanyalah sarung isterinya yang bisa dipakainya. Artinya, banyak perempuan lain yang merupakan keluarga dan kerabat isterinya, tetapi hanyalah isterinya yang telah dinikahinya sebagai miliknya.
Contoh lain adalah acara “jaik kamma” yang sampai sekarang masih sering dijumpai di daerah Wajo dan sekitarnya. Acara ini juga dilaksanakan di rumah mempelai perempuan setelah selesai acara “mappasikarawa” (saling menjamah) atau acara “mappasiéwa ada” (saling bertegur sapa). Acara “jaik kamma” ini adalah selembar kain putih yang dililitkan kepada kedua mempelai, kemudian kedua ujungnya dijahit. Hal ini mengandung makna bahwa keduanya diharapkan untuk sehidup semati, menjalani kehidupan rumah tangga sampai tua.
Acara “jaik kamma” yang mengandung makna simbolik tentang kerukunan dan kedamaian bagi masa depan kedua mempelai, walaupun masih sering ditemukan di daerah Wajo, namun menurut berbagai sumber di Bone terutama bagian utara pernah juga dilakukan seperti itu. Mungkin karena sebagian orang ingin mempersingkat prosesi acaranya sehingga hal tersebut ditinggalkan.
BAB II
JENIS-JENIS PERKAWINAN
Melihat dari proses pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, maka dapat dibedakan jenis-jenis perkawinan, antara lain ;
1. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan.
Jenis perkawinan seperti ini dalam bahasa Bugis disebut “massuro/madduta”, telah berlaku secara turun temurun dan bersifat umum dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, baik golongan bangsawan maupun golongan masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya, yaitu bagi golongan bangsawan atau orang yang mampu, melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu. Sedangkan bagi masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Untuk menuju kepada suatu perkawinan bagi masyakat Bugis, Makassr dan Mandar, tidak segampang membeli barang di pasar. Tetapi melalui beberapa tahap dengan rentang waktu yang agak panjang serta melibatkan orang tua, keluarga dan kerabat. Perkawinan dianggap ideal apabila tahapan-tahapan yang telah menjadi ketentuan adat dan agama telah dilalui.
Sesuai dengan watak dan sifat pada etnis yang mendiami jazirah selatan pulau Sulawesi yang religius dan mengutamakan kekeluargaan, maka untuk merintis suatu perkawinan sangat diperlukan partisipasi pihak keluarga, kerabat, untuk merestui rencana perkawinan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar perkawinan berjalan lancar, aman dan tetap mengikuti ketentuan adat dan agama.
Begitu pentingnya perkawinan dalam kehidupan seseorang, maka bagi orang tua yang memiliki anak laki-laki yang sudah dewasa, merasa terbebani oleh suatu kewajiban untuk mengawinkannya. Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan, mulai dari masalah pendanaan sampai kepada masalah siapa nantinya yang bakal menjadi jodoh dari anak tersebut.
Dalam hal cari mencari jodoh (pasangan) yang kelak akan berlanjut ke jenjang perkawinan dikalangan orang Bugis, Makassar dan Mandar, pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh pihak kerabat atau keluarga laki-laki. Sementara pihak wanita hanya menunggu datangnya lamaran dari seorang laki-laki yang bakal menjadi jodoh anaknya dan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Namun beban psykologis berupa kekhawatiran tentang ada tidaknya jodoh bagi seorang anak, dirasakan bukan hanya orang tua anak laki-laki, tetapi juga orang anak perempuan.
Sudah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar bahwa seorang anak laki-laki barulah bisa memasuki jenjang perkawinan apabila telah mampu ; “mengelilingi dapur tujuh kali” dalam bahasa Bugis ; “naullépi mattuliliwi dapurengngé wékka pitu”. Kalimat ini mengandung makna simbolis yang penekanannya pada “dapur” artinya segala yang menyangkut kebutuhan dalam rumah tangga, mulai dari pakaian (sandang), makanan (pangan) dan rumah sebagai tempat bernaung (papan). Jadi mengelilingi dapur tujuh kali mengandung arti “memiliki kemampuan untuk melengkapi kebutuhan rumah tangganya” setelah menjadi nakhoda dalam melayarkan bakhtera rumah kehidupannya.
Untuk menuju ke jenjang perkawinan bagi masyarakat Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan dan masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, ternyata bukanlah suatu hal yang boleh dianggap remeh. Tetapi harus melalui beberapa fase dengan rentang waktu yang cukup panjang. Disamping itu, harus melibatkan orang tua, kerabat dan keluarga lainnya. Perkawinan dianggap ideal apabila fase-fase yang telah menjadi ketentuan adat dan agama dan telah berlaku secara turun temurun tersebut dilalui.
Perkawinan dianggap memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena merupakan babak baru dalam membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Bagi orang tua yang mempunyai anak laki-laki yang sudah mulai dewasa, merasa terbebani oleh suatu kewajiban untuk mengawinkannya. Oleh karena itu pihak orang tua atau keluarga, nantilah merasa lepas dari tanggungjawabnya setelah mampu mengawinkan anak laki-lakinya.
Pada masa lampau, masalah pemilihan jodoh (pasangan hidup) bagi masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar selalu dilakukan oleh orang tua atau keluarga. Jadi biasanya kedua mempelai nanti saling mengenal setelah duduk di pelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian pengantin yang ditandai dengan suatu upacara yang disebut “ripasiéwa ada” (disuruh saling menyapa). Upacara ini dipandu oleh seorang “indok botting” (inang penganting) yang disaksikan oleh sanak keluarga kedua belah pihak.
Pada masa lampau setelah kedua belah pihak (mempelai laki-laki dan mempelai perempuan) membuka pakaian pengantinnya dan menggantinya dengan pakaian biasa di rumah mempelai perempuan, indok botting menyiapkan bahan berupa makanan ringan berupa kue-kue tradisional. Bahan tersebut disajikan pada suatu tempat kemudian memanggil kedua mempelai untuk menghadapi hidangan tersebut. Kalimat pertama harus diucapkan oleh mempelai perempuan yang dijawab oleh mempelai laki-laki. Contoh ; “anréki daéng !(perempuan), “Iyyék ndik” (laki-laki). Begitu pula sebaliknya dimulai oleh laki-laki dan dijawab oleh perempuan. Setelah doalog seperti itu berlangsung, maka keduanya dianggap telah bertegur sapa.
Walaupun sekarang upacara “mappasiéwa ada” sudah dianggap tidak lagi penting dengan alasan bahwa pada umumnya pasangan pengantin telah saling mengenal sebelum mereka melangkah ke jenjang perkawinan. Bahkan menjadi salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan harus didasari rasa cinta kasih, minimal saling mengenal antara keduanya. Namun karena hal ini telah menjadi salah satu adat kebiasaan, maka upacara “ripasiéwa ada” tetap harus dilaksanakan.
Dalam hal memilih jodoh (pasangan hidup) bagi masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, biasanya memperhatikan fakor-faktor sebagai berikut ;
- Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan bagi kedua calon mempelai untuk berumah tangga baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Faktor ini dititik beratkan pada kedewasaan, masalah ekonomi, mental, kecerdasan dan lain-lain sebagainya. Faktor tersebut tercermin dalam sebuah “élong” (syair) Bugis yang berbunyi ;
Tau loloni La Baso
Tappikni gajang
Mola toni pallawangeng
Anak darani Wé Bessé
Pasanni waju
Taro toni leppek lipak
Artinya ;
(Telah dewasa La Baso
Telah menjepit keris
Juga telah menempuh kembara
Telah gadis Wé Bessé
Telah memakai baju
Dan telah menyimpan sarung)
Dari syair Bugis diatas, menggambarkan bahwa kedewasaan seorang laki-laki ditandai pada dua hal ; Pertama, apabila sudah menjepit keris yang artinya dia sudah sanggup membela dirinya dan keluarganya dari segala ancaman. Kedua apabila telah sanggup menempuh kembara (merantau) untuk mencari rezeki dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Artinya, ia sudah memiliki pekerjaan tetap, apakah petani, nelayan, pegawai atau pedagang dan lain-lain yang dianggap halal.
Begitu pula kedewasaan seorang perempuan ditandai pada dua hal ; Pertama, apabila telah memakai baju yang artinya telah dapat membenahi dirinya sebagai mana mestinya. Kedua, telah menyimpan sarung artinya telah mampu menenun kain sarung yang arti konotatifnya telah mampu mengatur rumah tangganya, yaitu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menjahit dan sebagainya.
- Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling mencintai antara laki-laki dan perempuan termasuk antara keluarga keduanya. Pada masa lampau, faktor ini lahir setelah terlaksananya perkawinan, karena pada umumnya kedua mempelai dijodohkan oleh orang tua atau keluarganya dan tidak saling mengenal.
Faktor subyektif yang berdasarkan usia perkawinan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu usia miniml 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam berumah tangga, pada gilirannya dapat memenuhi tujuan luhur suatu perkawinan yaitu mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
Disamping itu, dalam hal cari mencari jodoh (pasangan) berdasarkan pula pertimbangan kewajaran yang dalam bahasa Bugis disebut “siputattongkok” artinya cocok untuk jadi pasangan. Perkawinan yang berdasarkan pertimbangan kewajaran, merupakan perkawinan ideal yang menurut pandangan orang Bugis adalah perkawinan dalam lingkungan kekerabatan, seperti ;
a. Perkawinan antara sepupu satukali (sappo siseng) yaitu perkawinan antara dua orang yang salah satu dari orang tuanya (ayah atau ibu) bersaudara kandung. Perkawinan seperti ini oleh masyarakat Bugis disebut “siala madécéng” merupakan perkawinan yang paling baik.
b. Perkawinan antara sepupu duakali (sappo wékkadua) yaitu perkawinan antara dua orang yang salah satu dari orang tuanya (ayah atau ibu) masih bersepupu satukali. Perkawinan seperti ini, dalam masyarakat Bugis disebut “siakkalureng”.
c. Perkawinan antara sepupu tigakali (sappo wékkatellu) yaitu perkawinan antara dua orang yang salah satu dari orang tuanya (ayah atau ibu) masih bersepupu duakali. Perkawinan seperti ini, dalam masyarakat Bugis disebut “siparéwekenna” artinya mengembalikan hubungan keluarga yang sudah mulai jauh.
Perkawinan berdasarkan kewajaran “sipupattongkok” bukan hanya dalam hubungan vertikal seperti diatas, melainkan juga ditemukan perkawinan antara paman yang bukan saudara kandung dari salah satu orang tua (ayah atau ibu) dengan kemanakan, atau antara bibi yang bukan saudara kandung dari salah saatu orang tua (ayah atau ibu) dengan kemanakan.
Pada masa lampau terutama sebelum masuknya agama Islam di Sulawei Selatan, usia perkawinan tidak ada pembatasan. Oleh karena itu, sering terjadi anak dibawah umur sudah dikawinkan oleh orang tuanya. Perkawinan seperi itu disebut “botting anak anak” (kawin anak-anak). Perkawinan semacam ini dalam masyarakat Bugis disebut “kawing sorok”, yaitu keduanya telah dianggap sebagai “suami isteri” tetapi belum diperkenankan untuk hidup bersama. Nanti setelah mereka berdua memcapai usia dewasa (balig) barulah dipertemukan.
Biasanya pada saat dipertemukan, melalui lagi suatu upacara sederhana yang disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Upacara-upacara yang dilakukan dalam mempertemukan kedua pengantin nak-anak yang telah dianggap dewasa tersebut, adalah hal-hal yang belum dilakukan pada saat keduanya dinikahkan, antara lain adalah ; a) mappasikarawa, yaitu laki-laki dengan dibimbing oleh “ambok botting” menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan yang dianggap memiliki makna, b) ripasiéwa ada, c) sumkan kepada kedua orang tua dan keluarga masing-masing. d) dan lain-lain yang dianggap perlu.
2. Tahapan-tahapan perkawinan berdasarkan peminangan
Untuk menuju ke jenjang perkawinan berdasarkan peminangan ada beberapa tahap yang harus dilalui, sebagai berikut ;
a) Mammanuk manuk
“Mammanuk manuk” adalah merupakan langkah awal yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh (pasangan) anaknya yang akan berlanjut ke jenjang perkawinan. “Mammanuk manuk” artinya melakukan kegiatan seperti burung yang terbang kesana kemari dengan tujuan mencari dan menemukan seorang anak perempuan yang dianggap cocok sebagai pasangan anak laki-lakinya. Mammanuk manuk yang pada masa lampau merupakan faktor yang sangat penting, karena dari kgiatan tersebut sehingga dapat ditemukan seorang perempuan yang akan dijodohkan dengan anak laki-laki yang sementara dicarikan jodoh (pasangan).
Dalam penelusurannya, setelah menemukan seorang anak perempuan yang dianggap bisa menjadi pasangan anaknya, maka orang yang bertugas sebagai manuk manuk (penelusur), melanjutkan dengan menyampaikan kepada segenap keluarga untuk mendapatkan persetujuan. Kegiatan ini biasanya masih dilakukan dalam keadaan rahasia, artinya belum bisa diketahui oleh banyak orang, kecuali keluarga dekatnya. Hal ini dimaksudkan siapa tahu rencana tersebut tidak jadi atau ada diantara keluarga yang tidak merestui.
b) Mabbalwo cicik atau meppések pések
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data tentang berbagai hal mengenai gadis atau perempuan yang telah ditemukan dan akan dilamar tersebut. Hal ini dilakukan oleh pihak laki-laki agar setelah dilanjutkan ke jenjang berikutnya (massuro atau madduta), tidak sampai menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, adanya salah satu pihak yang tidak merestuinya dengan berbagai alasan.
Biasanya orang yang melakukan kegiatan “mabbalawo cicik” atau mappések pések, adalah orang yang memiliki kedekatan dengan keluarga perempuan yang akan dilamar. Dalam kegiatan “mappések pések” ini, yang menjadi fokusnya adalah ; Pertama, bagaimana asal usul keturunan perempuan tersebut. Karena dalam masyarakat Bugis dikenal adanya stratifikasi sosial, seperti ; golongan bangsawan tinggi, bangsawan menengah, golongan to décéng (orang biasa) dan golongan hamba (ata). Kedua, bagaimana tingkah lakunya dalam rumah tangganya. Ketiga, apakah tidak mengidap penyakit berbahaya, seperti lepra, TBC dan lain-lain. Keempat, apakah salah satu dari orang tuanya tidak memiliki ilmu hitam yang oleh orang Bugis dikenal dengan istilah ; parakang (pallipak puté), poppok dan sebagainya.
Setelah persyaratan tersebut dimiliki oleh perempuan tersebut, maka dibuatlah suatu pertemuan keluarga dari pihak laki-laki untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu meminang yang dalam bahasa Bugis disebut “massuro” atau “madduta”. Dewasa ini, kgiatan “mabbalawo cicik/ mappések pések” jarang lagi dilakukan, karena pada umumnya orang yang akan dinikahkan telah menjalin hubungan atau sudah saling kenal jauh sebelum rencana pernikannya.
c) Meminang (massuro/madduta)
Untuk melakukan peminangan (massuro/madduta), sebelumnya diutus satu atau dua orang untuk merintis jalan (Bugis ; mabbaja laleng). Mereka datang ke rumah perempuan yang akan dilamar dan menyampaikan kepada orang tua atau keluarga dekatnya tentang maksud peminangan tersebut.
Dalam kegiatan “mabbaja laleng” biasanya utusan yang dipercayakan melakukan hal itu, membicarakan tentang ;
a. Apakah anak perempuannya yang akan dilamar tersebut belum dijodohkan dengan orang lain, dalam bahasa Bugis disebut “tessappo teeppabbatang” artinya belum ada pagar dan belum memiliki penghalang.
b) Apakah rencana pelamaran yang akan dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap anak perempuannya dapat diterima.
c) Kapan kesediaan pihak orang tua atau keluarga perempuan untuk menerima pelamaran tersebut.
d) Dimana akan diterima, apakah dirumahnya sendiri atau di rumah keluarganya.
e) Dan lain-lain yang dianggap perlu.
Dari orang tua atau keluarga pihak perempuan yang akan dilamar, tidak serta merta menerima dan membuat keputusan tentang maksud peminangan tersebut. Tetapi terlebih dahulu ia harus pula membicarakan dengan segenap keluarga dekatnya. Biasanya yang akan dipertimbangkan bersama keluarga, adalah penelusuran tentang siapa laki-laki yang akan melamar anaknya tersebut.
Oleh karena itu, pihak keluarga perempuan harus pula melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh pihak laki-laki pada saat “mappések pések”. Kegiatan yang dinamakan “mattuttung lampek” atau “mattuttumpélareng” (menelusuri akar), yang menjadi obyek penelusuran dalam kegiatan ini, antara lain ; Pertama, keturunan laki-laki yang akan melamar itu apakah bukan dari keturunan yang berpenyakit berbahaya, seperti lepra (pallipak cellak), Kedua, apa pekerjaan tetapnya,. Ketiga, bagaimana tingkah lakunya, Keempat, apakah belum memiliki isteri, Kelima, apakah dia berasal dari keturunan yang baik-baik, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan.
Meminang yang dalam bahasa Bugis disebut “massuro/madduta” yaitu mengutus beberapa orang ke rumah perempuan yang akan dilamar. Biasanya orang-orang yang diutus tersebut, ditetapkan salah seorang diantaranya yang mengetahui tentang seluk beluk dan tata cara meminang. Pertama, ia harus menyampaikan maksudnya dengan penuh sopan santun agar orang tua dan keluarga perempuan yang akan dilamarnya tidak akan merasa tersinggung perasaannya. Kedua, ia tidak menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh keluarga laki-laki, karena hal itu bisa membuat orang tua dan keluarga perempuan merasa tersinggung.
Salah seorang dari rombongan to madduta mengemukakan maksud kedatangannya dengan kalimat-kalimat yang halus dan bersifat ungkapan-ungkapan yang bermakna simbolis. Sementara keluarga perempuan yang menerimanya tentu akan menjawabnya dengan kalimat-kalimat yang halus pula dan penuh dengan makna-makna simbolis.
Berikut ini adalah salah satu contoh dialog antara “to madduta” (orang yang membawa lamaran) dengan “to riaddutai” (orang menerima lamaran) yang dilakukan pada masa lampau. Dialog dalam bentuk sastera bertutur dibawakan oleh wakil dari “to madduta” (orang yang melamar) dan dijawab oleh yang mewakili keluarga “to riaddutai” (yang dilamar).
- to riaddutai ; to ménrék laoki tatudang
tejjalik tettappéré
sangadinna masémasé
(wahai tetamu silahkan duduk
tampa alas duduk tampa tikar
kecuali kesederhanaan)
- to madduta ; masémasé mémemmi
lolangeng tekkéwiring
sipuppureng lino
(memang hanya kesederhanaan
hubungan yang tak berujung
untuk selama-lamanya)
- to riaddutai ; makkutanawak sagala
agangngarék mai biritta
tapucora cora lolang
(aku bertanya wahai keluargaku
mungkin ada berita penting
sehingga kita datang)
- to madduta ; kupucora cora lolang
uni mattengnga benni
manuk manuk parukkuseng
(kami semua datang
membawa bunyi tengah malam
burung “parukkuseng”)
- to riaddutai ; manuk pékkugi onimmu
moni malalempenni
paréwek sumangek
(burung, bagaimana bunyimu
berbunyi tengah malam
mengembalikan semangat)
- to madduta ; éngkalingani onikku
tulingngi ménasakku
ri masagalaé
(dengarkan bunyiku
simak keinginanku
yang sangat suci)
- to riaddutai ; décéng laleng nakutokkong
décéng topa kijokkang
mattuppu sapana
(kebaikan sehingga kami bangun
kebaikan pula kita bawa
menaiki tangga)
- to madduta ; engkakak taniya suro
polékak taniya paseng
watang majjajareng
(kami datang bukan suruhan
tidak pula membawa pesan
tapi kami semua datang bertamu)
- to riaddutai ; engkata tudang majjajareng
polisek riyo rennu
ri masagalaé
(kita yang duduk berjajar
berisi kegembiraan
dan kebahagiaan)
- to madduta ; makkutawak sagala
bunga sellek renritta
engkaga sappona
(aku bertanya wahai keluargaku
bunga dibalik dindingnya
sudah adakah pagarnya)
- to riaddutai ; bunga sellek renrikku
tessappo teppallawa
lappa maneng muwa
(bunga dibalik dindingku
tidak berpagar dan tidak ada pembatas
semuanya rata)
- to madduta ; mamménasawak sagala
ménasa iya muwa
pasisompung wélareng
(kami bermaksud baik
yaitu kami ingin
menyambung akar)
- to riaddutai ; ménasa tatiwik é
kibali riyo rennu
mattunrung mattakké
(maksud yang kita bawa
dibalas dengan gembira
bertandan bertangkai)
- to madduta ; La …………. riéllaungeng
tudangeng massibali
paddaik tengkennek
(La ……….. dimintakan
tempat bersanding
penambah kekurangan)
- to riaddutai ; dékga pasa rilipummu
balanca ri kampommu
mulincok mabéla
(apakah tidak ada pasar di negerimu
belanja di kampummu
sehingga pergi jauh-jauh)
- to madduta ; engka pasa ri lipukku
balanca ri kampokku
nyawami kusappak
(ada pasar di negeriku
belanja di kampungku
kami hanya mencari jiwa)
- to riaddutai ; rékkuwa nyawa tasappak
engkani talolongeng
mattunrung mattakké
(kalau anda mencari jiwa
anda sudah dapatkan
bertandan dan bertangkai)
Setelah pihak perempuan (to riaddutai) mendengar bahwa pihak laki-laki (to madduta) benar-benar punya niat yang suci untuk menyambung kekeluargaan (mappasisompung wélareng), maka dengan segala kerendahan hati ia berkata ; “marékko makkoitu adatta – sorokni ta tangngakak – nakubali tangngak tokki” (kalau begitu maksud anda, maka kembalilah mempelajari keluarga kami dan kami juga akan mempelajari keluarga anda”. Maksud dari pada kalimat itu adalah agar keduanya mempelajari keadaan masing-masing yang dalam bahasa Bugis disebut “mattuttung pésaluk” yaitu semacam penelusuran tentang asal muasal laki-laki yang melamar.
Dari kata-kata terakhir to riaddutai (yang menerima lamaran) menandakan bahwa lamaran diterima dengan senang hati. Oleh karena itu, to madduta (orang yang melamar) kembali untuk selanjutnya merundingkan dengan keluarganya tentang tahap selanjutnya yang disebut “mappasiarekeng”.
Dewasa ini dialog seperti diatas sudah jarang ditemukan, karena pada umumnya baik wakil dari “to madduta” (yang melamar) maupun wakil dari “to riaddutai (yang dilamar) melakukannya dengan bahasa bebas, yang penting tetap pada perinsip “sipakatau” dan “sipakalebbik” sesuai adat istiadat orang Bugis, Makassar dan Mandar di jazirah selatan pulau Sulawesi.
Berikut ini salah satu contoh dialog antara “to madduta” dengan “to riaddutai” yang dibawakan dengan bahasa bebas ;
d) Mappasiarekeng
Mappasiarekeng artinya mengukuhkan kembali apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada saat madduta (melamar). Dalam pelaksanaan mappasiarekeng, belum melibatkan banyak orang. Walaupun sekarang acara mappasiarekeng sudah dianggap tidak terlalu penting, tapi sebagian besar masyarakat Bugis masih melakukannya.
Pada masa lampau, mappasiarekeng yang juga diistilahkan “sianré inanré” (saling makan bersama), yaitu beberapa orang dari pihak keluarga laki-laki mengunjungi rumah perempuan dengan membawa kue-kue tradisional untuk dimakan bersama. Pada saat itu pulalah ditentukan hari pelaksanaan “mappettu ada” yaitu untuk memutuskan segala sesuatunya yang akan dilakukan termasuk kelengkapan-kelengkapan pesta pernikahan nantinya.
Dewasa ini pada saat mappasirekeng dirangkaikan pula dengan suatu acara yang disebut “mappaénrék lékok caddi” yaitu bentuk persembahan pihak laki-laki kepada mempelai perempuan. Mappaénrék lékok biasanya diadakan dua kali yaitu ; pertama pada acara mappasiarekeng, kedua pada acara mappaénré botting (mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan).
Lékok (bahasa Makassar) artinya daun sirih yang pada zaman dahulu sangat dibutuhkan oleh orang-orang Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Mengunyah daun sirih yang dicampur dengan buah pinang, gambir, kapur serta gulungan tembakau sebagai penyeka, merupakan kebiasaan dan kebutuhan bagi masyarakat di jazirah selatan pulau Sulawesi sebelum adanya rokok. Kebiasaan seperti itu berlangsung hingga pertengahan abad ke – 20, bahkan hingga kini masih sering dijumpai orang-orang tua yang mengunyah daun sirih, terutama didaerah pedalaman.
Oleh karena itu, pada zaman dahulu daun sirih dengan segala kelengkapannya tadi, merupakan seperangkat bahan yang sangat istimewa dan bernilai tinggi. Menyuguhkan daun sirih yang dalam bahasa Bugis disebut “mappaota” kepada seseorang, adalah bentuk penghargaan yang bernilai budaya “sipakatau – sipakalebbik” yang merupakan ciri khas sifat-sifat orang Bugis, Makassar dan Mandar.
Dalam perkembangannya, menyuguhkan atau mmpersembahkan sesuatu kepada seseorang, dianggap tidak memiliki nilai “sipakatau sipakalebbik” tanpa diikuti dengan daun sirih beserta kelengkapannya yang disebut sirih-pinang. Begitu pula persembahan calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang diantarkan sebelum acara pelaksanaan akad nikah yang kemudian dikenal dengan istilah “mappaénré lékok”. Dahulu, dalam masyarakat Bugis persembahan yang diantar oleh keluarga calon mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan sebelum pelaksanaan acara pernikahan (tudabbotting), disebut “mappaénré ota” atau “mappaota” Tetapi seiring dengan perkembangan dimana antara masyarakat Bugis dengan masyarakat Makassar semakin tidak ada batas, maka ada kecenderungan masyarakat Bugis ikut-ikutan memakai istilah “mappaénré lékok” (sirih pinang).
Bagi orang yang mampu mappaénré lékok biasanya dilakukan dua kali, yaitu pertama pada acara mappasiarekeng (pengukuhan kesepakatan) disebut lékok caddi, kedua pada acara “mappaénré botting” disebut lékok lompo. Perbedaannya hanya dari segi jumlah atau kelengkapan barang yang dibawa. Misalnya, kalau calon mempelai perempuan adalah dari keturunan bangsawan tinggi, maka jumlah bosara yang berisi kue-kue tradisional sebanyak 14 buah. Sedangkan bagi calon mempelai perempuan dari orang biasa, jumlahnya hanya 10 atau 12 buah.
Adapun kelengkapan yang diantar ke rumah calon mempelai perempuan, adalah benda yang menurut pandangan orang Bugis, Makassar dan Mandar memiliki makna simbolis (sennusennuangeng) yang disesuikan dengan perjalanan hidup kedua calon mempelai, antara lain ;
1. Daun sirih beberapa ikat,
2. Buah pinang satu tandan,
3. Tembakau beberapa gulung,
4. Gambir beberapa biji,
5. Kapur secukupnya,
6. Gula merah beberapa biji,
7. Kelapa muda satu tandan,
8. Pisang satu tandan,
9. Tebu satu batang,
10. Buah srikya,
11. Buah nenas,
12. Buah jeruk,
13. Ayam satu pasang (jantan dan betina)
14. Dan beberapa jenis buah-buahan lainnya
Disamping itu, bosarak yang berisi kue-kue tradisional seperti ; onde-onde, cucuruk tékné, dodorok, bajék, dokokdokok utti, dan sebagainya. Selanjutnya alat-alat kecantikan, kelengkapan untuk mandi, pakaian dan perhiasan sesuai dengan kemampuan pihak laki-laki.
Para pembawa lékok terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat lengkap, diiringi bunyi-bunyian seperti ; gong, puikpuik, gendang dan lain-lain yang dapat memeriahkan acara mappaénré lékok tersebut. Setelah sampai di rumah calon mempelai perempuan, semua bawaan tersebut diserahkan kepada keluarga calon mempelai perempuan.
e) Mappettu ada (membuat kesepakatan)
Setelah terjadinya kesepakatan bahwa lamaran pihak laki-laki diterima oleh pihak perempuan, maka tahap selanjutnya adalah acara “mappettu ada” yaitu memutuskan segala sesuatu yang diperlukan dalam acara puncak yang disebut “tudang botting” (duduk pengantin).
Berikut ini adalah salah satu contoh dialog antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan dalam acara “mappettu ada” yang dibawakan secara bebas ;
Punna Bola (pihak perempuan) ;
• Bismillahir Rahmanir Rahiem.
• Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
• Alhamdu lillahi rabbil alamin, Upari palek limai alebbiretta maneng pada siujuk rupa ri bola tudangenna to malebbikkeng ………. silisek.
Adapun yang menjadi kesepakatan dalam acara mappettu ada tersebut, adalah antara lain ;
a) Tanra esso (hari pernikahan).
Penentuan hari pernikahan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan selalu mempertimbangkan tentang waktu-waktu yang luang bagi keluarga. Misalnya, kalau keluarga kebanyakan dari petani, maka biasanya disepakati waktu selesai panen tahunan. Tetapi kalau waktu tersebut dianggap terlalu lama, maka dipilihlah waktu yang tidak terlalu banyak kesibukan.
Dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, waktu-waktu pernikahan biasanya mengikuti “kutika bilangeng duwappulo” yaitu suatu penanggalan tradisional yang diyakini memiliki makna (sennusennuang) dalam melakukan hajatan yang ditentukan oleh orang pintar di kampung itu.
Kutika Bilangeng Duappulo memiliki jumlah hari sebanyak 20 dan akan berulang kembali setelah sampai pada hitungan duapuluh. Dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, kutika bilangeng duappulo merupakan pedoman dalam menentukan hari pernikahan yang diyakini memiliki maksa (sennusennuangeng) bagi kelangsungan hidup rumah tangga.
Kutika Bilangeng Duappulo (kalender hitungan 20 hari), nama-namanya adalah sebagai berikut ;
1.Pong 2. Pang 3. Gumawa (Lumawa) 4. Wajing 5. Wunga wunga 6. Tellettuk 7. Angnga 8. Webbok (Bebbok) 9. Wage 10. Cempa (Ceppa) 11. Tullé 12. Ariyéng 13. Béruku 14 Pnirong 15. Mauwa 16. Dettiya 17. Soma 18. Langkarak (Lakkarak) 19 Jempati 20. Tumpakalé (Polébola).
Kepercayaan orang Bugis, Makassar dan Mandar tentang “kutika bilangeng duappulo” bila dihubungkan dengan hari pernikahan, antara lain, adalah sebagai berikut ;
1. Apabila hari pernikahan jatuh pada Gumawa (Lumawa), maka pasangan ini selalu berbahagia dan sehidup semati.
2. Apabila hari pernikahan jatuh pada Webbok (Bebbok), maka isteri tidak bisa bertahan dan menunggu bila ditinggalkan. Tidak pandai mengurus rumah tangga dan memelihara anak-anaknya.
3. Apabila hari pernikahan jatuh pada Wage, pasangan ini cepat memiliki keturunan, banyak rezeki dan hidup berbahagia.
4. Apabila hari pernikahan jatuh pada Cempa (Ceppa), pasangan ini cepat meningkat satu sama lain, gelora cinta selalu terasa oleh keduanya.
5. Apabila hari pernikahan jatuh pada Tullé, maka pasangan ini selalu memiliki kepastian hidup, tidak mudah berputus asa.
6. Apabila hari pernikahan jatuh pada Ariyéng, maka pasangan ini banyak mendapat kebahagiaan, rezekinya selalu meningkat.
7. Apabila pernikahan jatuh pada Béruku, maka pasangan ini cepat mendapat keturunan, selalu berbahagia.
8. Apabila pernikahan jatuh pada Panirong, maka pasangan ini selalu diliputi kebahagiaan dan keberuntungan. Isteri pandai bergaul dengan tetangga.
9. Apabila pernikahan jatuh pada Mauwa, maka pasangan ini selalu saling mengasihi, cepat memiliki keturunan, isteri pandai dalam hidup bertetangga.
10. Apabila pernikahan jatuh pada Dettiya, maka pasangan ini selalu diliputi oleh suasana yang kurang baik dan selalu mengalami permasalahan dalam rumah tangga, karakter keduanya panas.
11. Apabila pernikahan jatuh pada Soma, maka pasangan ini saling mencintai, sakinah, penuh gelora asmara, seperti yang jatuh pada Tullé
12. Apabila penikahan jatuh pada Jémpati, maka pasangan ini cepat memiliki keturunan dan selalu diliputi rasa bahagia.
(Wallahu a’lam bissawab)
Biasanya yang paling banyak menentukan hari pernikahan (tudang botting) adalah dari pihak perempuan, sementara pihak laki-laki hanya mengikuti saja. Oleh karena itu, pada saat mappettu ada selalu diadakan dirumah perempuan dan yang hadir kebanyakan adalah dari keluarga pihak perempuan.
b) Sompa (mahar)
Sompa atau mahar adalah bentuk pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Pemberian tersebut bisa berupa uang, tanah, atau benda lain, sebagai salah satu syarat sahnya suatu pernikahan dalam masyarakat Bugis. Pada masa lampau sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, sompa itu diberikan kepada perempuan pada saat “marola” yaitu ketika selesai acara tudang botting di rumah mempelai perempuan, ia mengikuti pengantin laki-laki ke rumahnya. Pemberian ini dinyatakan oleh orang tua laki-laki pada saat memanggil mempelai perempuan naik ke rumah. Pada saat memanggil mempelai perempuan naik ke rumah, biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti ;
- kalau pemberian itu berupa sebidang tanah, maka orang tua laki-laki mengucapkan kalimat ; “O, anu (menyebut namanya) énréko mai ribola tudangemmu – laloko ri lompok anu (nama sebidang tanah)”.
- kalau pemberian itu berupa benda, maka orang tua laki-laki mengucapkan kalimat ; “O, anu (menyebut namanya) énréko mai ribola tudangemmu – akkatenniko ri (nama benda yang diserahkan)
- kalau pemberian itu berupa hewan ternak, maka orang tua laki-laki menucapkan kalimat ; “O, anu (menyebut namanya) énréko mai ri bola tudangemmu mutonangiwi …………….. (menyebut jenis hewan yang diserahkan). Misalnya, kerbau, kuda dan sebagainya.
Sompa yang berlaku dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, dinilai dengan mata uang lama (Portugal) yang disebut real (orang Bugis menyebutnya “rellak”). Bagi bangsawan tinggi sompa atau maharnya dinyatakan dengan “kati” senilai 88 real, ditambah orang (ata) senilai 40 real dan satu ekor kerbau senilai 25 real.
Sompa dikalangan perempuan bangsawan tinggi disebut “sompa bocco” (sompa puncak) yang bisa mencapai 14 kati. Sedangkan perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah, hanya satu kati, bagi orang baik-baik (to décéng) setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati.
Adapun tingkatan-tingkatan sompa menurut adat Bugis, adalah sebagai berikut ;
- Bangsawan tinggi = 88 real
- Bangsawan menengah = 44 real
- Arung Palili = 40 real
- To décéng = 28 real
- To maradéka = 20 real
- Hamba (ata) = 10 real
c). Doik Ménrék atau Uang Belanja
Setelah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal yang juga paling penting untuk disepakati bersama, adalah besarnya uang yang akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pada masa lampau doik ménrék atau uang belanja itu dibebankan kepada laki-laki yang harus membeli darah, yaitu apabila pihak laki-laki lebih rendah derajat kebangsawanannya dari pada perempuan. Misalnya pihak perempuan berasal dari bangsawan tinggi, sementara pihak laki-laki hanya dari golongan bangsawan menengah, maka pihak laki-laki dibebani “pangelli dara” yang besarnya bervariasi.
Akan tetapi dewasa ini, istilah doik ménrék atau uang belanja dibebankan secara umum kepada laki-laki tanpa melihat derajat kebangsawanan. Dengan demikian istilah doik ménrék diartikan sebagai uang belanja semata-mata dari pihak laki-laki. Dalam menetaokan besarnya uang belanja, biasanya pihak keluarga perempuan selalu melihat harga yang berlaku di pasaran. Kalau pihak perempuan menghndaki pesta pernikahannya ramai, maka biasanya juga minta uang belanja yang tinggi.
c) Pakaian pengantin
Dewasa ini selain ketiga faktor tanra esso, mahar/sompa dan doik ménrék, sering juga menjadi perdebatan tentang pakaian pengantin yang akan dipakai, sebab pada umumnya pengantin itu menggunakan pakaian yang harus seragam, baik bagi pengantin maupun bagi anak bottingnya. Oleh karena itu, kedua belah pihak biasanya membuat kesepakatan bahwa sewa pakaian tersebut ditanggung bersama.
Pada masa lampau masalah pakaian pengantin tidak pernah dipermasalahkan, sehingga sering terjadi pakaian mempelai laki-laki termasuk anak bottingnya berbeda dengan pakaian mempelai perempuan termasuk anak botiingnya. Namun dewasa ini, keseragaman pakaian mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan sepertinya merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, pada saat mappettu ada, masalah ini juga menjadi bahan pembicaraan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan.
Adapun pakaian bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adalah sebagai berikut ;
1. Untuk mempelai laki-laki terdiri atas ;
- Baju bella dada
- Topé yaitu sejenis sarung yang modelnya sama dengan rok wanita yang pinggirnya dihiasi dengan emas atau perak.
- Sigarak yaitu hiasan penutup kepala.
- Passapu dengan ambarak yaitu sapu tangan dengan hiasannya.
- Keris pasattimpo/Tattarapeng, yaitu senjata tradisional orang Bugis yang hulu dan sarungnya terbuat dari emas atau perak.
- Potto naga, yaitu gelang tangan yang berbentuk naga.
- Sémbang atau selempang.
- Saluarak (celana)
- Talibennang (pengikat keris)
- Maili yaitu sejenis mainan yang digantung pada keris.
2. Sedangkan untuk mempelai perempuan terdiri atas ;
- Waju poncok (baju bodo) yang dihiasi dengan ranté patimbang dan toboro.
- Topé dengan ranténya.
- Passapu ; selendang dengan mainannya.
- Sularak (celana).
- Salépé (ikat pinggang).
- Bossak atau kalaruk ; gelang bersusun atau getangan panjang.
- Lola ; gelang tangan yang dipasang pada bagian bawah atau atas bossak atau kalaru.
- Géno mabbulék yaitu kalung berantai.
- Ranté koték yaitu kalung panjang yang diikatkan bila dipakai.
- Géno sibatu yaitu kalung yang mainannya hanya satu.
- Simak taiyyak ; pengikat lengan baju.
- Bangkarak ; anting-anting panjang.
- Saloko ; makhkota.
- Pinang goyang ; hiasan sanggul berup kembang yang goyang.
- Bunga éja ; sunting rambut.
- Bunga simpolong ; hiasan sanggul.
- Poddo simpolong ; pembungkus sanggul.
2. Perkawinan Silariang (kawin lari)
Jenis perkawinan ini dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan, tetapi dilakukan karena kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) sepakat untuk lari ke rumah penghulu untuk minta perlindungan dan selanjutnya dinikahkan. Sebenarnya dalam masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, peristiwa “silariang” (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan terjadinya “sirik” bagi keluarga perempuan (to masirik).
Pada masa lampau apabila terjadi peristiwa seperti itu, maka pihak keluarga dekat perempuan (to masirik) selalu berusaha untuk menegakkan “sirik” dengan cara membunuh laki-laki yang melarikan keluarganya tersebut. Namun menurut ketentuan adat (norma hukum), apabila keduanya telah berada di rumah penghulu (pemerintah), atau sekurang-kurangnya telah dapat melemparkan pakaiannya di pekarangan anggota adat, maka keduanya tidak bisa lagi diganggu, karena dianggap telah dilindungi oleh adat (hukum).
Begitu tabunya peristiwa silariang bagi masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar, maka sering terjadi pihak keluarga perempuan bertegas tidak akan memberikan restu (persetujuan) untuk dinikahkan. Bahkan sering terjadi orang tua yang ripakasirik (dipermalukan) itu menganggap anaknya yang melarikan diri itu, sudah meninggal dunia dalam bahasa Bugis disebut “ripaoppangi tana” dan tidak lagi mengakuinya sebagai anaknya. Sebagai bukti bahwa pihak orang tua tidak lagi mengakui anaknya, maka diadakanlah upacara kematian yang disebut “mattampung” yaitu upacara bagaimana layaknya orang yang telah meninggal dunia dan dibuatkan tanda, seperti dipancangkan batu nisannya.
Tentang pelaksanaan perkawinan kedua orang yang silariang tersebut, diurus oleh penghulu dengan cara minta persetujuan dari pihak keluarga perempuan, seperti orang tua, saudara kandung dan lain-lain yang dianggap sebagai to masiri (orang yang merasa dipermalukan). Namun apabila pihak orang tua atau keluarga perempuan tidak memberi restu atau tidak mau menerimanya, maka pihak pemangku adat (penghulu) dapat menikahkannya dengan istilah “wali hakim”
Tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, namun hubungan antara orang tua dan keluarga perempuan dengan laki-laki yang melarikan tersebut tetap berbahaya dan tidak aman. Oleh karena itu, selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang dalam bahasa Bugis disebut “ maddécéng” (minta maaf), kedua orang silariang tersebut harus selalu menghindarkan diri untuk bertemu dengan pihak tomasirik (orang yang dipermalukan)
Tiap orang yang melakukan pelanggaran adat yang dinamakan silariang (kawin lari) selalu berusaha untuk berdamai dengan pihak keluarga (to masirik) perempuan. Oleh sebab itu, apabila sudah punya kesempatan untuk “maddécéng”, maka keduanya minta bantuan kepada penghulu atau pemerintah untuk memediasi rencananya tersebut. Dalam hal ini, oleh penghulu atau pemerintah mengutus seseorang untuk menyampaikan kepada pihak orang tua atau keluarga perempuan agar dimintakan “addécéngeng” (permintaan damai).
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Bugis Makassar /
Sejarah dan budaya
dengan judul "Prosesi Perkawinan Ala Adat Bugis". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://luyokita.blogspot.com/2014/08/prosesi-perkawinan-ala-adat-bugis.html.